Oleh : Zarkasyi Yusuf (Alumni Dayah, ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh)
Dunia Pesantren (Aceh;Dayah) kini semakin terkenal dan viral, apalagi setelah disindir dan dicibir oleh tayangan salah satu Stasiun Televisi swasta di Republik ini. Akibatnya, semua reaktif dengan tayangan tersebut, apalagi yang disindir adalah salah satu pesantren terbesar dan tertua di Indonesia.
Sisi positif dari “insiden” ini bahwa mata manusia kini tertuju pada dunia Pesantren dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya.
Bagi sebahagian orang mungkin sulit membayangkan bagaimana hidup di sebuah tempat dengan ratusan bahkan ribuan santri di dalamnya yang datang dari berbagai latar belakang keluarga.
Di tempat itulah (pesantren) santri tumbuh dan berkembang, serta siap menjalani kehidupan pada level terendah sekalipun.
Santri pesantren hidup dalam kondisi berbagi dalam segala hal, sehingga kisah makan sepiring berlima, baju tertukar, sandal dan peralatan mandi hilang menjadi hal biasa dan sangat indah dikenang oleh mereka yang pernah menjadi santri, sehingga pertemanan dan silaturrahmi para santri begitu kuat dan mendalam.
Saya yakin para santri pasti memiliki kisah persahabatan yang dimulai dari pesantren dan tetap bertahan sampai sekarang. Salah satu kisahnya akan saya bagikan dalam tulisan ini, yaitu kisah persahabatan Genk Sufi.
Sebenarnya, tema persahabatan santri telah banyak ditulis, baik fiksi maupun non fiksi. Diantara buku-buku fiksi tersebut Adalah Negeri 5 Menara – Ahmad Fuadi, temanya tentang persahabatan santri di Pondok Madani, penuh semangat belajar dan mimpi besar.
Pesantren Impian-Asma Nadia, temanya tentang kisah misteri dan persahabatan di Pesantren khusus perempuan. Santri Pilihan Bunda-Ali Imron, temanya perjalanan santri dan nilai-nilai persahabatan serta perjuangan. Cinta di Atas Sajadah-Habiburrahman El Shirazy, temanya kisah cinta dan persahabatan di lingkungan Pesantren.
Sementara buku non-fiksi diantaranya, Pendidikan, Persahabatan dan Perjuangan-Pesantren At-Tin UMP, temanya dokumentasi kisah nyata santri tentang perjuangan dan solidaritas.
Santri dan Modernitas–Tim Penulis, temanya kajian sosiologis tentang kehidupan santri dan relasi sosial mereka. Dari Pesantren ke Dunia–Tim Penulis, temanya memoar dan refleksi santri tentang persahabatan dan transformasi diri.
Dalam dunia akademik diajarkan bahwa segala sesuatu itu harus bersifat eviden based, artinya pernyataan atau argumen harus didasarkan pada bukti atau data yang telah teruji dan terdokumentasi.
Begitu pula terkait persahabatan para santri, bagaimana berteman dengan segala konsekuensinya telah diajarkan kepada santri dengan referensi kitab-kitab turast yang ditulis para Ulama.
Salah satu kitab pokok yang dipelajari para santri di Pesantren adalah kitab Ta’lim al-Muta’allim, kitab ini boleh dibilang begitu fenomenal meski ia ditulis pada periode awal abad pertengahan Islam (945-1250), bahkan ilmuwan seperti Khalil A. Totah dan Mehdi Nakosteen menyebutkan bahwa kitab ini adalah kitab paling terkenal dalam bidang pendidikan, demikian disebutkan keduanya dalam buku “The Contribution of the Arabs to Education” dan “History Of Islamic Origins of Western Education”.
Syekh Az-Zarnuji (wafat 645 H/1247 M) yang mengarang kitab tersebut telah memberikan solusi terhadap pergaulan para santri, beliau memandang bahwa memilih teman dalam bergaul merupakan perkara penting yang harus menjadi perhatian sehingga ilmu menjadi bermanfaat.
Beliau menganjurkan supaya seseorang memilih teman yang tekun, wara’, bertabiat jujur dan mudah memahami masalah, serta menghindari teman pemalas, penganggur, banyak bicara, suka mengacau dan gemar memfitnah.
Imam Al-Ghazali (450 H – 505 H) dalam Kitab Bidayatul Hidayah memberikan solusi untuk memilih sahabat, ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam mencari sahabat. Pertama, akal.
Imam Al-Ghazali menempatkan akal pada urutan pertama dengan pertimbangan bahwa sahabat yang bodoh atau dungu berpotensi lebih banyak mencelakai kita karena kebodohannya meskipun ia bermaksud baik.
Kedua, berakhlak baik. Jangan bersahabat dengan orang yang berakhlak buruk yang tidak sanggup menguasai diri ketika sedang marah atau syahwat (berkeinginan). Sebab, indikator akhlak bukan hanya dilihat dalam situasi normal, tetapi juga dalam kondisi marah atau syahwat.
Ketiga, Imam Al-Ghazali melarang bersahabat dengan orang fasik yang terus menerus melakukan dosa besar. Orang yang tidak takut kepada Allah tidak bisa dipercaya perihal kejahatannya. Ia dapat berubah seketika seiring perubahan situasi dan kondisi. Keempat, jangan bersahabat dengan orang rakus dan gila dunia.
Persahabatan dengan orang rakus adalah racun mematikan, sebab kecenderungan seseorang itu meniru dan meneladani, tabiat itu mencuri tabiat orang lain secara tidak disadari.
Bersahabat dengan orang serakah akan menambah keserakahan, berteman dengan orang zuhud akan menambah kezuhudan. Kelima, Jujur. Jangan bersahabat dengan pendusta. Imam Ghazali mengibaratkan pendusta seperti fatamorgana.
Dua referensi di atas adalah kitab yang selalu dipelajari santri di Pesantren. Lebih jauh lagi, ketika belajar Tarikh (sejarah) santri juga mempelajari bagaimana Rasulullah menjadi sahabat sejati bagi para sahabatnya, serta bagaimana para sahabat setia dan rela berkorban demi sahabat sejati mereka yaitu Rasulullah.
Persahabat Santri, Dari Genk Menjadi Sufi
Genk Sufi (GS) adalah nama sebuah komunitas pertemanan yang dibangun oleh enam orang alumni Pesantren (santri), mereka semua dilahirkan di Kabupaten Pidie dengan latar belakang orang tua yang berbeda-beda.
Mengapa komunitas ini diberi nama GS, padahal genk dan sufi adalah dua kata yang bertolak belakang? Mereka beralasan bahwa anak muda meskipun mereka pernah jadi santri pasti ada sifat tercelanya yang identik dengan istilah genk.
Berteman dan bersahabat bukanlah untuk memperkuat sifat genk, tetapi untuk mengurangi sifat-sifat yang tercela satu sama lainnya dengan cara saling mengingatkan dalam kebaikan, sebagaimana pepatah arab sebutkan “Khairul ashab man yadulluka a’la khair” (sebaik-baik teman adalah yang menunjukkan jalan kebaikan).
Jadi, GS sebagai simbul runtuhnya semangat genk dan melebur dalam tradisi sufi sebagaimana dipelajari di Pesantren, satu diantaranya adalah saling menasehati dalam kebaikan.
Sekarang, anggota GS telah menikah dan menjalani profesi masing-masing. Enam sahabat ini dulunya belajar di Pesantren yang berbeda-beda, even Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) telah menyatukan mereka menjadi tim yang solid dan bersahabat sampai saat ini.
Dari persahabatan mereka tersambung silaturrahmi keluarga besar yang saling mengenal satu dengan lainnya.
Meskipun mereka telah sama-sama belajar bagaimana bersahabat, persahabatan mereka tidak luput dari dinamika juga. Diantara dinamika itu adalah perbedaan pandangan dan nilai hidup, sehingga lahir perbedaan pendapat bahkan berujung perdebatan.
Kesibukan dan jarak menjadi salah satu tantangan persahabatan GS, rutinitas dan jarak geografis kadang sering membuat komunikasi mereka renggang dan saling menjaga jarak.
Namun, sahabat sejati akan tetap mencari cara untuk selalu terhubung. Kesalahpahaman pun tidak dapat dielakkan dalam kisah persahabatan GS, mereka menganggap bahwa muncul konflik dalam sebuah komunitas adalah hal wajar.
Hal pentingnya adalah bagaimana cara menyelesaikannya dengan dialog terbuka dan hati yang lapang. Ketika ditanya bagaimana GS menyelesaikan persoalan dan dinamika yang terjadi? Mereka memberikan tiga solusi.
Pertama, niat baik dalam menjalin persahabatan. Niat merupakan pembeda antara amalan biasa dengan amalan syariat, semua amalan sangat tergantung dari niat. Banyak amal perbuatan yang bercorak amal dunia, tetapi karena baiknya niat menjadi amal akhirat.
Dalam menjalin persahabatan sejatinya didasari oleh landasan untuk saling melengkapi, saling membantu satu sama lain serta untuk menebar manfaat dan kebaikan. Jangan pernah selipkan kepentingan yang hanya akan mengotori niat, niat baik pasti akan dibantu oleh Allah.
Kedua, menjaga silaturrahmi. Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitab hikmatut-tasyri wa falsafatuh menyebutkan bahwa ada beberapa ayat yang berkenaan langsung dengan menyambung silaturrahmi dan berbuat baik dengan kerabat, diantaranya adalah al-Anfal ayat 75, an-Nisaa ayat 1, al-Baqarah ayat 27, dan ar-Raad ayat 20 sampai dengan ayat 25.
Menjaga silaturrahmi bermakna ikut menjaga keseimbangan dalam kehidupan ini. Silaturahim berasal dari dua kata, yaitu silah yang artinya tali atau hubungan dan rahim yang artinya kasih sayang.
Sederhananya, silaturrahmi diartikan dengan menyambung tali kasih sayang atau tali persaudaraan. Silaturrahmi akan menepis segala desas desus yang akan merenggangkan persahabatan, semakin kuat dan terjaga silaturrahmi maka hubungan pertemanan akan semakin erat, sehingga tidak akan timbul celah celah yang bisa mempengaruhi rusaknya hubungan dua orang yang telah bersahabat.
Ketiga, membangun kepercayaan. Mengapa kita memilih seseorang untuk menjadi sahabat. Jawabannya, sebab kita percaya dengan yang bersangkutan untuk saling berbagi dalam kelebihan dan menutupi dalam setiap kekurangan.
Membangun kepercayaan adalah tameng untuk melawan suuddhan (buruk sangka). Jika suuddhan telah hinggap di hati seorang manusia, maka akan membuka celah bagi syaithan untuk merusakan persahabatan dengan merusak niat atau merenggangkan silaturrahmi.
Husnuddhan (baik sangka) dalam persahabatan dan pertemanan adalah keniscayaan, sehingga tidak akan ada trik dan intrik politik dengan sahabat dan teman. Tiga solusi di atas mengantarkan GS melewati semua dinamika dalam persahabatan mereka dengan indah, sehingga kepercayaan satu sama lain tetap tumbuh dan bertahan.
Menariknya, mereka tidak lagi mempersoalkan panggilan nama lengkap mereka. Setiap mereka punya nama sebutan masing-masing yang tidak lagi dipersoalkan dan seolah-olah menjadi konsensus untuk diterima dan dilaksanakan bersama.
Satu hal menarik dan menjadi motto persahabatan GS yaitu, “orang pintar harus lucu”. Alasannya sederhana, jika orang pintar tidak lucu maka dia akan susah bergaul dengan orang lain, kepintaran yang dimilikinya hanya akan mengantarkan dirinya menjadi sombong, berprinsip one man show dan tidak dapat berkerja dalam tim yang solid.
Semoga Persahabatan GS menginspirasi para santri untuk menjaga persahabatan dan menjauhkan diri dari bullying yang kini juga masuk dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Wahai para santri, mari bersama dalam melakukan kebaikan. Ingat kaidah khairul muta’addi afdhalu minal qashir (Kebaikan yang berdampak luas lebih utama daripada kebaikan yang terbatas pada diri sendiri). Selamat hari santri, kontribusi santri untuk kedamaian dunia. []






