Oleh: Dr. Budiyono (Penggiat Agroforestri Berbasis Tanaman Unggulan Lokal, Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian – Universitas Gajah Putih)
Kopi Arabika Gayo bukan sekadar komoditas ekspor. Ia adalah denyut kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo, khususnya Kabupaten Aceh Tengah—tumbuh di antara kabut, tanah vulkanik, dan harapan petani yang tak pernah padam.
Namun hari ini, kami menghadapi kenyataan pahit: produksi kopi terus menurun, hama penyakit seperti Helopeltis semakin tak terkendali dan diduga telah mencapai imunitas, kemurnian varietas terancam, dan pasar global menuntut standar ketelusuran yang belum sepenuhnya kami pahami.
Di tengah situasi ini, Program FOLUR (Food Systems, Land Use and Restoration) hadir sebagai harapan baru.
Digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Pangan RI bersama kementerian teknis terkait seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan, serta didukung oleh UNDP dan FAO, FOLUR membawa semangat regeneratif dan keberlanjutan lanskap.
Dana global yang digelontorkan mencapai lebih dari USD 300 juta, dan Aceh Tengah menjadi salah satu titik fokus untuk komoditas strategis seperti kopi Gayo. Program ini dirancang untuk berjalan dari tahun 2024 hingga 2027.
Namun sebagai bagian dari komunitas petani kopi Arabika Gayo, kami bertanya: apakah program sebesar ini benar-benar menyentuh akar persoalan kami di ladang?
Dari Forum ke Ladang: Realita yang Terungkap
Kunjungan Tim FOLUR ke Desa Telege Sari dan Gegarang pada 6–8 Agustus 2025 membuka mata banyak pihak. Di sana, perempuan bukan hanya menyortir kopi, tetapi memimpin rumah tangga dan komunitas.
Mereka adalah tulang punggung produksi, namun tetap berada di pinggiran sistem formal. Sementara itu, pemuda mulai menggagas merek kopi lokal seperti Alas Linge Coffee, mengangkat kembali nilai budaya dan keberlanjutan.
Kokowagayo menjadi bukti bahwa ketika perempuan diberi ruang untuk memimpin, rantai pasok kopi menjadi lebih kuat, inklusif, dan tangguh. Ini bukan simbolisme. Ini adalah regenerasi yang hidup.
Namun di luar titik-titik inspiratif itu, kami petani di ladang masih bergulat dengan kenyataan: hama yang semakin agresif, tanah yang lelah, varietas yang tercampur, dan sistem ketelusuran yang belum bisa kami akses. Kami melihat perubahan, tetapi belum memiliki alat untuk merespons.
Lima Seruan Petani Gayo untuk FOLUR yang Bermartabat
1. Forum yang Menyatu dengan Ladang
Kegiatan FOLUR harus hadir di kebun kami, bukan hanya di hotel. Kami ingin belajar langsung, berdiskusi terbuka, dan menyusun solusi bersama.
2. Varietas yang Ditempatkan dengan Bijak
Gayo 1, Gayo 2, dan Gayo 3 adalah identitas kami. Kami butuh zonasi varietas berdasarkan ketinggian dan karakter lahan agar kemurnian tetap terjaga. Jika memungkinkan, dibuat demplot varietas sesuai kesesuaian lahan dan elevasi.
3. Ketelusuran Lahan yang Bisa Kami Akses
Kami siap mendukung EUDR, asal ada sistem yang bisa kami pahami dan teknologi yang bisa kami jangkau. Ketelusuran tidak boleh menjadi beban administratif, tetapi harus menjadi alat pemberdayaan.
4. Ruang Suara Petani dalam Desain Program
Kami ingin dilibatkan sejak awal, bukan hanya saat evaluasi. Kami memiliki pengetahuan lokal yang tak bisa digantikan oleh data semata.
5. Program Pemulihan yang Terpadu
Kami butuh solusi untuk hama, tanah lelah, dan fragmentasi varietas. Kami ingin ada kampung varietas, sekolah lapang, dan regenerasi yang menyatu dengan kehidupan kami.
Bukan Laporan yang Indah, Tapi Program yang Nyata
Keberhasilan pembangunan tidak ditentukan oleh estetika laporan, melainkan oleh keberadaan intervensi nyata yang berdampak langsung terhadap produktivitas dan kesejahteraan petani di tingkat tapak.
Sebagai akademisi dan penggiat agroforestri, saya memandang bahwa keberhasilan program seperti FOLUR tidak dapat diukur semata dari kelengkapan dokumentasi atau jumlah forum yang telah diselenggarakan.
Keberhasilan sejati terletak pada sejauh mana program tersebut mampu menjawab persoalan mendasar: regenerasi tanah, pengendalian hama, pemulihan varietas lokal, dan sistem ketelusuran yang dapat diakses dan dioperasikan oleh petani itu sendiri.
Kami tidak menolak laporan. Kami memahami pentingnya akuntabilitas dan transparansi. Namun kami menolak jika laporan dijadikan indikator utama keberhasilan, sementara petani tetap bergulat dengan realitas yang tidak berubah. Kami menuntut program yang konkret, terukur, dan berbasis kebutuhan lokal.
Dari Inspirasi ke Sistem
Koperasi Kokowagayo dan kelompok petani milenial bukan hanya cerita inspiratif. Mereka adalah model regeneratif yang bisa direplikasi. Tapi agar transformasi ini menyebar, FOLUR harus berani melangkah lebih jauh: dari teori ke praktik, dari partisipasi ke kepemimpinan, dan dari forum ke ladang. Masih ada waktu hingga Desember 2027 untuk membuktikan bahwa regenerasi lanskap bukan hanya wacana, tetapi kenyataan.
Kami tidak menolak perubahan. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan. Kami percaya bahwa sinergi antara petani, pemerintah, akademisi, dan mitra pembangunan bisa menjadi kekuatan besar untuk menyelamatkan kopi Gayo—bukan hanya sebagai komoditas, tapi sebagai warisan hidup Indonesia.
Mari kita bangun regenerasi yang bukan hanya hijau di atas kertas, tapi juga subur di ladang. Karena kopi Gayo bukan hanya soal ekspor. Ia adalah soal martabat kami. []