Oleh : Marah Halim*
Narasi yang indah tanpa substansi hanyalah gema kosong. Begitu pula kebijakan yang hanya mengandalkan romantika, pada waktunya akan layu dan basi.
Jika “kurikulum cinta” yang dicanangkan Menteri Agama ingin menjadi sebuah keniscayaan, bukan sekadar mainan politik, maka ia harus dijiwai oleh “administrasi cinta”—sebuah implementasi yang terstruktur dan tegas oleh seluruh jajaran Kemenag, dari tingkat pusat hingga daerah. Ini tentang bagaimana sebuah gagasan brilian bisa benar-benar mengubah wajah pendidikan.
Lalu, cinta kepada siapa? Yang diceramahkan masih konsepnya, yakni cinta pada Pencipta dan ciptaan-nya alam semesta. Tanpa bermaksud menyalahkan, itu masihlah klise dan melangit; bukan salah, tapi hanya cocok untuk ceramah.
Visi dan aksinya harus mendarat: cinta kepada anak didik. Ini cinta yang bukan sekadar simpati, melainkan sebuah aksi nyata untuk mempersenjatai mereka agar siap menantang persaingan global. Ini adalah cinta yang mempersiapkan anak-anak untuk bertarung di medan peradaban masa depan, di dunia yang semakin borderless.
Lalu apa senjata utama yang harus diberikan untuk semua lulusan madrasah dari ibtidaiyah hingga aliyah? Ada tiga; Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab.
Bekali dengan Matematika: Senjata Berpikir Sistematis
Selama ini, kita keliru menempatkan matematika hanya sebagai ilmu berhitung. Padahal, esensi utamanya adalah melatih cara berpikir sistematis dan logis. Tanpa fondasi ini, sulit bagi sebuah bangsa untuk menguasai ilmu-ilmu eksak dan alam.
Sejarah membuktikan, kejayaan peradaban Islam di masa lalu dibangun di atas penguasaan matematika yang kokoh. Sebaliknya, saat matematika mulai terpinggirkan, peradaban kita jatuh terperosok.
Saat ini, anak-anak kita sering dibuat horor dengan matematika. Mindset ini harus segera kita ubah. Kemenag harus menjadi pelopor dalam membangun kesadaran bahwa matematika adalah kunci untuk menciptakan bangsa yang mampu memproduksi dan menguasai teknologi, dari barang-barang kecil hingga mesin-mesin raksasa.
Negara-negara adidaya seperti China, Rusia, India, Amerika, dan Eropa adalah contoh nyata bagaimana penguasaan matematika menjadi syarat mutlak untuk merebut peradaban.
Dalam konteks Aceh, gerakan ini bisa dimulai dari Kemenag Aceh Tengah, Kemenag Bener Meriah, dan Kemenag Gayo Lues. Jadikan lulusan madrasah dari tiga kabupaten ini unggul dalam matematika. Dengan begitu, kesadaran ini akan menyebar dan menjadi gelombang perubahan di seluruh Indonesia.
Bekali dengan Bahasa Inggris: Jendela Dunia dan Ilmu Sosial
Jika matematika adalah kunci ilmu eksak, maka Bahasa Inggris adalah kunci ilmu-ilmu sosial dan budaya. Bahasa Inggris bukan lagi milik satu bangsa, melainkan telah menjadi bahasa universal yang menghubungkan seluruh dunia. Semua informasi penting—mulai dari pendidikan, bisnis, diplomasi, hingga riset ilmiah—dikemas dalam bahasa ini.
Salah satu hambatan terbesar di Aceh adalah persepsi keliru bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa kaum “kafir” akibat trauma sejarah. Mindset ini harus dihancurkan.
Tanpa penguasaan Bahasa Inggris yang baik, lulusan madrasah akan kesulitan bersaing di kancah global. Ada banyak profesi yang menuntut kemampuan komunikasi dan pemahaman ilmu sosial tingkat tinggi, dan Bahasa Inggris adalah syarat mutlak untuk memenangkan persaingan tersebut.
Bekali dengan Bahasa Arab: Gerbang Menuju Substansi Ilmu Agama
Untuk menguasai ilmu agama, tidak ada jalan pintas. Cara yang seringkali diterapkan, yaitu hanya berfokus pada hafalan Al-Qur’an, sering kali bersifat simbolik dan sekadar strategi pemasaran. Tentu, hafalan itu penting, tetapi ia harus menjadi jembatan, bukan tujuan akhir.
Inti dari ilmu agama adalah penguasaan Bahasa Arab. Teks-teks suci dan referensi keagamaan berbahasa Arab, dan pemahaman yang mendalam tidak akan bisa dicapai tanpa kemampuan ini.
Banyak penghafal Al-Qur’an yang hafalannya sekadar menempel di lisan, tidak meresap ke dalam jiwa, karena mereka tidak memahami makna di baliknya.
Seorang ustaz, penceramah, atau ulama sekalipun, jika lemah Bahasa Arabnya, maka ia tidak akan mampu menggali pesan-pesan tersurat dan tersirat dari agama.
Oleh karena itu, Kemenag harus memastikan bahwa Bahasa Arab diajarkan dengan metode yang mendalam, bukan sekadar hafalan.
Bangun kurikulum yang membuat siswa mencintai dan memahami tata bahasa, sastra, dan makna di balik setiap kata. Hanya dengan cara ini, ilmu agama bisa benar-benar menjadi panduan hidup yang kokoh, bukan sekadar ritual yang kering.
Simpulan
Agar kurikulum cinta tidak hampa tanpa isi, maka Kemenag harus segera menentukan sikap dan aksi; main (stream)-kan 3 ilmu alat; ilmu matematika, ilmu bahasa Inggeris, dan ilmu bahasa Arab; matematika untuk menguasai ilmu eksak; bahasa Inggris untuk merebut ilmu-ilmu sosial; serta bahasa Arab ilmu-ilmu agama.
Lihatlah realitas, semua profesi untuk mencari rezeki dan membangun peradaban semuanya berkaitan dengan ilmu eksak, ilmu sosial, dan ilmu agama; karena itu bekalilah anak didik ketiga ilmu alat itu; agar madrasah beda dari sekolah. []