Oleh : Marah Halim*
Kita ini Muslim, rajin shalat berjamaah, bahkan sampai berdesak-desakan di masjid pada hari Jum’at. Namun, coba kita tengok ke luar sana, di sekeliling kita.
Ada pemandangan yang mengiris hati, sebuah ironi yang begitu menusuk. Saat kita melihat sampah berserakan dan menumpuk di depan mata—sampah yang ironisnya seringkali kita sendiri yang memproduksinya—tiba-tiba saja kita seolah buta dan lumpuh.
Apa artinya takbir dan tahmid yang lantang kita kumandangkan di masjid jika di luar sana, di tengah-tengah masyarakat, kepedulian sosial kita justru mati suri?
Ini bukan lagi sekadar kebetulan, melainkan sebuah tamparan keras bagi keberimanan yang hampa makna.
Fenomena aneh ini kian meresahkan dan menyebar bagai virus. Di pasar yang ramai, di jalanan yang padat, di terminal yang hiruk pikuk, bahkan di lapangan umum yang seharusnya bersih, sampah berserakan di mana-mana.
Namun, orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka yang setiap hari berinteraksi dengan pemandangan itu, tampak anteng saja. Seolah mereka sudah berdamai dengan tumpukan kotoran itu.
Mereka dengan sengaja membiarkan dan melihatinya, tanpa ekspresi, tanpa rasa bersalah. Dalam hati, mungkin mereka membatin, “Ah, biarkan saja. Kan sudah ada petugas kebersihan. Mereka digaji untuk itu.”
Paradoks Ibadah Vs Muamalah
Parahnya lagi, fenomena ketidakpedulian ini merambah ke banyak aspek lain. Belum lagi jika ada ajakan untuk membersihkan selokan di depan rumah mereka sendiri, memperbaiki jalan yang berlubang di depan toko mereka, atau merapikan lapak-lapak berjualan di pasar yang semrawut, responsnya nyaris seragam: “Memangnya urusan saya?”
Yang lebih menyedihkan, ada semacam rasa malu dan gengsi jika harus turun tangan, mengambil sampah dan membuangnya ke tempat yang sudah disediakan. Seolah tindakan peduli itu merendahkan martabat.
Kontradiksi mencolok antara ketaatan ibadah personal dan minimnya kepekaan sosial ini begitu terasa di setiap sendi kehidupan.
Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana umat Muslim di negeri ini begitu giat memenuhi panggilan azan. Mereka berbondong-bondong, antusias meramaikan masjid untuk shalat berjamaah.
Namun, tatkala tiba giliran untuk aksi sosial sederhana, seperti membersihkan sampah di depan rumah atau toko mereka sendiri—sampah yang justru mereka hasilkan—mobilitas sosial nyaris tak terlihat. Tak ada gerakan, tak ada inisiatif.
Sulit sekali menggambarkan perasaan yang membuncah menyaksikan fenomena ini. Sampah berserakan di depan mata, namun tak ada satu pun yang tergerak untuk peduli.
Bahkan, seringkali harus seorang pejabat daerah, yang seharusnya mengurusi kebijakan lebih besar, turun tangan memberi contoh.
Ini bukan hanya sekadar masalah kebersihan semata; ini adalah cerminan kemunduran kepekaan sosial, seolah-olah kita telah kehilangan esensi dari nilai-nilai luhur yang seharusnya melekat pada keberimanan kita.
Intinya, hampir semua aspek yang berkaitan dengan kepentingan bersama—kenyamanan, keamanan, kerapian, keselamatan—justru mandek tanpa adanya mobilitas sosial yang nyata.
Padahal, untuk urusan-urusan vital ini, kita punya pusaka budaya yang sangat ampuh: gotong royong. Sebuah praktik kolaboratif yang telah terbukti efektif sepanjang sejarah, mirip cara kerja lebah dan semut; bersama-sama “mengeroyok” pekerjaan, menyelesaikannya dalam waktu singkat. Bahkan, konon, jika dikerjakan bersama, gunung pun bisa dipindahkan.
Manifestasi Konsep Muamalah
Gotong royong bukan sekadar kerja bakti biasa. Ia adalah manifestasi nyata dari muamalah, sebuah konsep fundamental dalam Islam yang berarti saling bekerja sama, saling tolong-menolong.
Lantas, bagaimana mungkin kita bisa menyebut diri sebagai Muslim yang taat ibadah jika semangat muamalah ini justru luntur dalam kehidupan bermasyarakat?
Bukankah kontradiksi antara ibadah personal dan tanggung jawab sosial ini harus segera diakhiri? Ini adalah panggilan untuk introspeksi.
Bukan hal yang asing lagi, setiap kali hujan lebat mengguyur, saluran air tersumbat, menimbulkan banjir, dan memicu kerugian besar.
Namun, di tengah kesengsaraan itu, upaya gotong royong untuk membersihkan saluran air jarang sekali terlihat. Di sinilah letak kegagalan kita.
Bayangkan saja, berapa banyak anggaran negara yang bisa dihemat jika budaya gotong royong ini kembali kuat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi masyarakat.
Dana yang seyogianya bisa digunakan untuk pembangunan lain justru terpakai untuk mengatasi masalah-masalah dasar yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah melalui semangat kebersamaan.
Maka, sudah saatnya kita menghidupkan kembali gotong royong. Ini bukan hanya sekadar slogan yang diulang-ulang, melainkan sebuah gerakan kolektif yang harus lahir dari kesadaran mendalam bahwa keimanan tak hanya diukur dari seberapa sering kita shalat berjamaah, melainkan juga dari seberapa besar kepedulian kita terhadap lingkungan dan sesama.
Jangan biarkan fenomena “Shalat Berjamaah, Gotong Royong Ogah” terus menjadi noktah hitam dalam perjalanan bangsa ini.
Mari kita buktikan bahwa ibadah dan muamalah adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, saling melengkapi demi terwujudnya masyarakat yang madani, bersih, aman, dan sejahtera. Bisakah kita mulai dengan membersihkan lingkungan sekitar kita, sekarang juga?