Oleh : Marah Halim*
Pagi tadi, iseng-iseng scroll beranda TikTok, eh, ada video nyelip. Isinya tentang Wali Kota Banda Aceh yang lagi sibuk mungut sampah di salah satu sudut kota. Katanya sih, ini kegiatan gotong royong.
Wah, pikiran saya langsung melayang, membayangkan pemandangan epik: lautan manusia, mungkin ratusan, bahkan ribuan orang, bahu-membahu membersihkan kota dengan riang gembira. Pasti keren banget!
Tapi, begitu video itu bergulir, kok ya kamera cuma nempel ke Wali Kota dan Wakilnya doang? Sesekali sih ada sosok lain di latar belakang, tapi blur dan gak jelas.
Dari situ, langsung kelihatan kalau partisipasi massanya minim banget, bahkan sampai di sesi foto bareng di akhir kegiatan. Ini bukan sekadar pemandangan biasa, lho; ini indikator nyata tentang degradasi sebuah nilai luhur bangsa kita. Agak miris, sih.
Ketika Budaya Mulai Terkikis
Secara konsep, gotong royong itu kan aktivitas kerja sama kolektif buat nyelesain sesuatu bareng-bareng. Bayangin aja, bersihin sungai yang udah kayak tempat sampah, benerin saluran air yang mampet, atau nambal jalan yang bolong-bolong.
Semua itu adalah gambaran ideal gotong royong. Intinya, “mengeroyok” satu pekerjaan besar secara barengan itu bikin cepat selesai, hemat tenaga, suasana ceria, dan pastinya efisien biaya.
Konsep ini luhur banget, bahkan selaras sama prinsip-prinsip sosial Islami: masalah bersama, selesaikan bersama.
Tapi, kenyataan di lapangan kok beda ya? Sejak era Reformasi, ketika Pancasila gak lagi lantang digemakan sebagai nilai pengikat kebangsaan, budaya gotong royong ini kayaknya jadi asing.
Saya perhatiin, generasi Y dan Z sekarang ini kok kayaknya gak familiar sama ide, perbuatan, atau kebiasaan gotong royong. Ini bukan cuma soal kurang pengetahuan, tapi juga hilangnya internalisasi nilai kebersamaan yang dulu kuat banget.
Dari Budaya Desa yang Seharusnya Abadi
Sejatinya, gotong royong itu budaya masyarakat agraris alias pedesaan, yang hidupnya berkelompok. Mereka menghadapi tantangan dan masalah bareng-bareng.
Saya masih ingat banget di desa saya, sebelum jalan diaspal, pas masih berupa tanah liat dan bebatuan; setiap Jumat pagi, warga tumpah ruah, bergotong royong merapikan ruas jalan yang tergerus air atau membersihkan tanah longsor yang nutupin jalan.
Itu semacam ritual mingguan yang bikin kami merasa terikat, perwujudan nyata dari kebersamaan.
Tapi, setelah jalan diaspal mulus, kebiasaan itu sirna begitu saja. Sekarang, buat motong rumput di bahu jalan aja, warga udah ngandalin petugas resmi dari Dinas Pekerjaan Umum. Ironis, ya?
Kemajuan fisik kok malah mengikis kemandirian kolektif. Padahal, perilaku gotong royong ini mirip banget sama cara kerja lebah dan semut.
Makhluk-makhluk kecil itu bisa kolaborasi luar biasa buat ngumpulin makanan, bikin sarang, atau ngadepin musuh. Keberadaan lebah dan semut yang diabadikan di Al-Qur’an itu seolah jadi sindiran tajam buat kita: kalau hewan aja bisa gotong royong, kenapa kita sebagai manusia malah kehilangan kapasitas itu?
Bisakah Semangat Itu Dibangkitkan Lagi?
Nah, melihat kegiatan gotong royong Wali Kota yang cuma melibatkan segelintir OPD itu, pertanyaan besar muncul di benak saya: Apakah memang sudah sesulit itu sih mengerahkan warga buat gotong royong di era sekarang? Ini tantangan yang gak main-main, lho.
Jangan sampai budaya gotong royong ini cuma jadi dongeng pengantar tidur. Ini warisan tak ternilai yang harus kita jaga dan lestarikan, fondasi kokoh buat kohesi sosial kita. Yuk, kita dorong para pemimpin daerah untuk gak cuma ikut-ikutan, tapi juga aktif menggerakkan.
Kita bisa mulai dari lingkungan terdekat, di RT/RW, di sekolah, atau di tempat kerja. Kenalin lagi nilai ini ke anak-anak kita, tunjukkin betapa indahnya kebersamaan itu.
Sudah saatnya kita kembali bergotong royong, demi masyarakat yang lebih kuat, mandiri, dan harmonis. Ini bukan cuma soal bersih-bersih lingkungan, tapi tentang membangun kembali jati diri bangsa kita yang dulu terkenal banget sama semangat kebersamaan ini. Setuju?