Oleh : Akbar Rafsanjani*
Karsun, pria paruh baya berkisah bahwa ia aslinya tidak berasal dari Kampung Gegarang, Kecamatan Jagung Jeget, Aceh Tengah.
Puluhan tahun yang lalu, serombongan warga Banyumas yang telah lama bermigrasi ke Jagong Jeget, kembali ke Banyumas.
Kasrun muda yang bersemangat dengan apapun tantangan baru, ikut rombongan untuk kembali ke Jagong Jeget, Aceh Tengah.
Kampung Gegarang, Jeget Ayu, Paya Dedep, dan desa lainnya dalam kecamatan Jagong Jeget merupakan lokasi tujuan transmigrasi yang dimulai tahun 1982 pada masa pemerintahan Soeharto.
Pada tahun-tahun sebelumnya, partai Golkar milik Soeharto mengalami kekalahan suara dalam pemilu.
Proyek transmigrasi yang dipromosikan sebagai pemerataan penduduk untuk kesejahteraan sebenarnya adalah strategi Soeharto untuk memenangkan suara Golkar lewat transmigran ini.
Dari Lhokseumawe, kami tim Pelatihan Programmer Gampong Film, Aceh Film Festival melewati lokasi penemuan Gas Arun LNG di desa Rangkaya untuk menuju ke Desa Gegarang, Kecamatan Jagong Jeget, Aceh Tengah.
Gas Arun pertama kali ditemukan pada 18 November 1971. Pada tahun 1976 konflik Aceh pun dimulai. Konflik Aceh membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat transmigran di Jagong Jeget.
Karsun adalah salah satu peserta pelatihan Programmer Gampong Film yang diadakan di Desa Gegarang. Setelah puluhan tahun, ia sekarang resmi menjadi warga Aceh. Karsun bertutur dalam bahasa Gayo dan Jawa.
Sebagai salah satu pemateri dalam program ini, saya sudah dari jauh-jauh hari dikabari agar memilih film yang sesuai dengan keadaan peserta pelatihan, yaitu film yang tidak berbahasa Aceh.
Sebagai seseorang yang berasal dari pesisir timur Aceh, saya tumbuh dengan narasi bahwa Aceh adalah esensi dari sebuah identitas yang final dengan batasan-batasan yang jelas.
Hingga mendengar kisah Karsun dan transmigran yang ada di Jagong Jeget ini, saya bahkan jadi mempertanyakan ulang konsepsi “Manusia Indonesia” dalam buku Muchtar Lubis.
Konsepsi tentang “Aceh” yang saya peroleh dahulu mirip dengan apa yang dibayangkan oleh Muchtar Lubis, yang kemudian saya klaim sebagai akar dari rasisme.
Membayangkan orang yang hidup di wilayah yang namanya Aceh itu homogen, statis, tidak berubah merupakan bentuk esensialisme.
Padahal orang yang hidup (katakanlah) di wilayah yang namanya Aceh itu sangat dinamis (seperti kasus transmigrasi ini) bukan suatu benda mati seperti objek-objek ilmu alam.
Kemudian, esensialisme adalah akar dari rasisme. Inilah alasan saya menyebut jika konsepsi “Manusia Indonesia” Muchtar Lubis maupun konsepsi awal saya tentang “Aceh” harus dikritisi.
Karena itu pula bagi kami, memasukkan “Aceh” pada Aceh Film Festival berkonsekuensi untuk mewakili “Aceh” yang tidak terbatas hanya pada orang-orang yang betutur dalam bahasa Aceh, tetapi juga bagi transmigran yang sekarang menetap di wilayah provinsi Aceh.
Berbagi akses “bioskop” bagi warga Desa Gegarang adalah bagian dari membangun “infrastruktur perfilman” di Aceh.
Selama ini diskusi soal “bioskop” yang dibayangkan sebagai bagian dari ekonomi kreatif hanya menjadi bahasan warga kota Banda Aceh, seolah-olah yang berhak berbicara tentang “Aceh” adalah mereka yang bertempat tinggal di Bandar paling maju pada abad ke-16 itu.
Enam warga desa Gegarang dengan khidmat mengikuti setiap materi Programmer Gampong Film. Mereka menghadirkan pertanyaan-pertanyaan kritis perihal akses dan hak tayang film, manajemen pemutaran film, hingga materi teknis perkabelan dan proyektor.
Enam orang ini akan menjadi programmer film untuk Desa Gegarang dan sekitarnya. Mereka yang diharapkan akan menjadi palang pintu kebudayaan untuk warganya. Mereka yang memilih film, menentukan topik, dan mendesain program menonton suatu saat kelak bagi desanya.
Karsun menyerahkan Catatan Kuratorial yang menjadi tugas peserta selama mengikuti salah satu materi dalam Pelatihan Programmer Gampong Film, Aceh Film Festival. Tulisan Karsun saya bacakan dan dikoreksi bersama.
Selain sebagai calon programmer film, Kasrun ternyata seorang penulis. Ia telah menulis antologi puisi dan diterbitkan oleh salah satu penerbit lokal.
Karsun juga seorang marbot mesjid Kampung Gegarang, baginya menjadi programmer film adalah bagian dari dakwah kebaikan dan kemanusiaan untuk menyebarkan nilai-nilai positif yang universal. Karena sinema tidak memiliki ras dan agama. []