Dana Baitul Asyi, Setengah T Sudah Jadi Apa?

oleh

Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Coba bayangkan, di tahun 2024 saja, Rp 28,7 miliar dana wakaf Baitul Asyi mengalir ke ribuan jemaah haji Aceh. Kalau dihitung sejak 2006, totalnya sudah tembus setengah triliun rupiah! Angka yang fantastis, bukan? Bahkan modal Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Gayo pun mungkin enggak sebanyak itu.

Tapi, jujur saja, seberapa banyak sih yang tahu kabar dana wakaf ini setelah sampai di tanah air? Prof. Al-Yasa’ Abubakar, lewat artikelnya di Harian Serambi Indonesia 6 Mei 2025, khawatir uang ini cuma “numpang lewat” di kantong jemaah haji Aceh, habis begitu saja tanpa jejak nyata. Ibarat angin sepoy-sepoy, ada tapi enggak terasa dampaknya.

Dana wakaf Baitul Asyi ini warisan mulia dari Syekh Habib bin Bugak tahun 1808, niatnya jelas untuk kebaikan umat. Tapi, kita masih setia sama putusan Mahkamah Saudi yang “jadul” alias kuno, yang cuma bilang, “Kasih aja langsung ke jemaah haji Aceh!” Padahal, zaman sudah berubah drastis! Kondisi sosial Aceh sekarang beda jauh sama Aceh di era kolonial.

Anehnya, Pemerintah Aceh sendiri kok kurang “greget”, ya? Belum ada upaya serius untuk “ngobrol” lagi sama pihak Saudi atau Nazhir Wakaf Baitul Asyi agar dana fantastis itu bisa dipakai lebih cerdas dan produktif.

Dunia sudah serba modern, urusan haji sudah canggih, kenapa dana wakafnya disalurkan begitu saja, seperti bagi-bagi THR? Ini bukan lagi soal “patuh”, tapi soal “rugi bandar” kalau uang sebanyak itu cuma jadi angin lalu.

Dari Konsumtif menjadi dana produktif

Harus ada ide cemerlang buat manfaatin dana Baitul Asyi demi kesejahteraan umat. Bagaimana kalau Rp 28,7 miliar per tahun itu, alih-alih dibagikan langsung, kita putar jadi modal produktif?

Bayangkan jika duit ini disalurkan lewat Baitul Mal Aceh untuk membangun dan mengembangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di tiap pelosok Aceh. BPRS ini nantinya jadi “jantung” ekonomi rakyat.

Dari sini, para pedagang kecil, ibu-ibu penjahit, atau petani yang butuh modal, bisa dapat pinjaman syariah dengan syarat super ringan.

Karena dananya melimpah dari Baitul Asyi, BPRS ini bisa kasih persentase bagi hasil yang tinggi kepada peminjam modal usaha. Ini bukan cuma sekadar “kasih ikan”, tapi memberi “kail” dan menciptakan “kolam ikan” sendiri bagi rakyat Aceh.

Uang itu akan berputar terus-menerus, menciptakan ribuan lapangan kerja baru, menghidupkan pasar, dan pelan-pelan mengangkat ekonomi masyarakat. Dari yang tadinya “nganggur”, kini jadi “mesin uang” yang bermanfaat nyata!

Ini bukan cuma soal ganti cara bagi uang, ini tentang mengubah nasib. Dari pola konsumtif yang “habis manis sepah dibuang,” jadi pola produktif yang bikin Aceh makin maju.

Kita harus bikin Baitul Asyi jadi “lokomotif” kemandirian ekonomi, bukan cuma “bonus” musiman. Tentu ini enggak bertentangan dengan semangat wakaf Baitul Asyi. Andai Syekh Habib bin Bugak masih hidup, pasti beliau juga enggak rela kalau wakaf produktifnya cuma jadi konsumtif belaka.

Tentu saja, Pemerintah Aceh harus berani ambil langkah. Berani “adu argumen” dengan Mahkamah Saudi, berani tunjukkan data-data, dan berani ubah aturan lama yang sudah enggak relevan.

Mulailah dari Aceh Tengah, Wakaf Tunai

Mari kita tengok contoh nyata dari Aceh Tengah. Pada tahun 2024 lalu, setiap jemaah haji asal Aceh mendapat 1500 Riyal. Kalau dikonversi ke Rupiah, per hari ini, 20 Mei 2025, 1 Riyal = Rp 4.376,87. Jadi, setiap jemaah menerima sekitar Rp 6.565.305,-.

Jumlah jemaah haji asal Aceh Tengah tahun ini adalah 164 orang. Jika masing-masing jemaah nantinya menerima 1500 Riyal Saudi atau sekitar Rp 6.565.305,-, maka total dana yang diterima seluruh jemaah asal Aceh Tengah adalah Rp 1.076.710.020 (satu miliar tujuh puluh enam juta tujuh ratus sepuluh ribu dua puluh rupiah).

Bayangkan jika 164 jemaah tersebut mewakafkan kembali jatah mereka ke Baitul Mal Aceh Tengah dan Baitul Mal Aceh Tengah memanfaatkannya untuk membangun rumah dhuafa.

Dengan estimasi biaya Rp 50 juta per rumah, tidak kurang dari 20 rumah bisa terbangun! Kalau biayanya lebih rendah, jumlah rumah dhuafa yang terbangun bisa lebih banyak lagi.

Atau, dana Rp 1 miliar lebih itu digunakan untuk membangun BPRS syariah! Maka, setiap musim haji BPRS itu akan mendapat suntikan modal sebesar Rp 1 miliar. Tentu saja dana ini bisa disalurkan sebagai pinjaman dengan pola bagi hasil yang persentasenya lebih besar kepada para peminjam.

Ini juga bisa jadi cara untuk menguji kemabruran para jemaah haji, apakah mereka berbesar hati mewakafkan jatah uang dari wakaf Baitul Asyi untuk kesejahteraan bersama. Siapa tahu, mereka yang mendapat modal dari BPRS suatu hari bisa berhaji seperti mereka.

Jadi, mau terus-terusan biarkan setengah triliun ini “nganggur” begitu saja, atau kita mau mengubahnya jadi kekuatan dahsyat untuk kesejahteraan Aceh? Pilihan ada di tangan kita semua. []

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.