Ciri Khas S.H STIHMAT

oleh
Dr. Marah Halim dan Prof M Din

Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Sabtu, 26 April 2025, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon kembali mewisuda 54 orang Sarjana Hukum baru. Ini adalah wisuda yang ke-13 dalam sejarah STIHMAT yang berdiri pada tahun 1996. Setidaknya jumlah sarjana hukum yang dihasilkan “pabrik SDM” ini telah mencapai ribuan.

Setiap acara wisuda, ketua Senat Perguruan Tinggi selalu mengamanatkan bahwa wisuda sarjana bukan akhir dari proses belajar, tetapi baru merupakan sebagai pintu gerbang ke proses belajar di laboratorium hukum yang sesungguhnya, yakni masyarakat.

Sebagai ilmu sosial, laboratorium hukum adalah masyarakat itu sendiri, karena itulah bagi STIHMAT masyarakat di 3 kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues merupakan laboratorium yang unlimited. Inilah salah satu keunikan ilmu hukum dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, bagi masyarakat ilmu hukum

Prof. Dr. Mohd. Din, SH., MH yang didapuk sebagai pemberi orasi ilmiah pada wisuda kali ini mengungkapkan kembali bahwa salah satu faktor yang mempermulus pembentukan STIHMAT dulunya adalah pada komitmennya untuk “menekuni” hukum adat; tentu saja dalam hal ini adat masyarakat Gayo.

Dalam ilmu hukum, norma adat dan norma kesusilaan adalah norma selain norma hukum yang menjamin ketertiban masyarakat.

Setidaknya, ada 2 keuntungan dari pendekatan adat yang dimainstreamkan oleh STIHMAT; pertama berupaya menghidupkan kembali dan melestarikan khazanah dan lembaga hukum adat yang tumbuh dan bertahan di dalam masyarakat yang terbukti efektif bekerja membangun ketertiban. Yang kedua adalah kontribusi pendekatan adat dalam pembangunan hukum nasional.

Prof. Din menyatakan bahwa pendekatan penyelesaian konflik pidana saat ini yang dikemas dengan tajuk ‘Restorative Justice’ yang bercirikan musyawarah secara win-win solution sesungguhnya modelnya telah dipraktekkan dalam masyarakat Gayo jauh sebelum istilah itu ada.

Misalnya dalam perkara pidana pelukaan, penganiayaan bahkan pembunuhan sekalipun, dalam masyarakat Gayo diselesaikan secara damai dan persaudaraan. Sebuah metode penyelesaian yang selari dengan ajaran agama.

Bukan hanya dalam hukum pidana, kontribusi hukum adat Gayo juga penting dalam hukum tata negara. Ada empat struktur kepemimpinan dalam struktur masyarakat Gayo yaitu yang dikenal dengan sebutan ‘Sarakopat’.

Sarakopat merujuk pada empat pilar yang menopang struktur kehidupan bermasyarakat Gayo. Keempat pilar ini saling terkait dan membentuk kerangka nilai yang menjadi pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan kekeluargaan, sistem pemerintahan tradisional, hingga penyelesaian sengketa.

Pilar-pilar Sarakopat terdiri dari Reje, Imem, Petue, dan Rayat. Fungsi keempat unsur ini dikemas dalam satu adagium hukum, “Reje musuket sipet, Imem muperlu sunet, Petue musidik sasat, Rayat genap mufakat”, yang artinya Raja atau pemimpin politik harus kompeten menimbang berbagai problem masyarakat; Imem (pemimpin agama) kompeten mengemas hukum dari ajaran agama; Petue (tokoh masyarakat dalam bidang masing-masing) kompeten mencari solusi atas masalah; dan Rayat (perwakilan masyarakat) yang menyuarakan kepentingan masyarakat.

Konsep Sarakopat sedikit banyak memiliki kesamaan dengan konsep Trias Politika yang kita kenal dalam ketatanegaraan modern.

Prof. Din menggarisbawahi secara khusus kontribusi hukum adat Gayo dalam sistem penegakan hukum. Terdapat adagium yang setara dengan asas ‘Equality befor the law” yang digali dari permainan rakyat di Gayo.

Dalam permainan itu ada seorang yang memegang tongkat dengan kepala tertutup mengibas-ngibaskan tongkatnya ke kanan dan ke kiri sambil berkata “met-met bota sa kona gere mubela”, artinya siapa yang kena tongkat tidak ada yang membela.

Artinya hukum itu seharusnya tidak pandang bulu, semua sama di mata hukum.

Ada banyak adagium hukum adat Gayo yang terucap oleh Prof. Din dalam orasinya, di antaranya lagi adalah bahwa masyarakat Gayo menyebut identitasnya dengan ungkapan “asal linge awal serule”, Linge adalah pusat pemerintahan, sedangkan serule adalah pusat kebudayaan atau pendidikan.

Menutup orasinya, Prof. Din mengingatkan bahwa begitu banyak kontribusi yang bisa diberikan hukum adat Gayo bagi pembangunan hukum nasional yang terus berjalan.

Ada banyak lagi yang belum terekonstruksi dengan baik melalui kajian-kajian hukum, itu semua tentunya menjadi jatah bagi calon-calon mahasiswa STIHMAT yang masih dalam proses studi saat ini.

Menurut Ketua STIHMAT, Amir Syam, SH., MH, dengan hukum adat dipilih sebagai paradigma pendidikan hukum, semua mahasiswa didorong untuk menjadikan hukum adat sebagai perspektif atau pendekatan dalam melihat problematika hukum di masyarakat.

Skripsi-skripsi sebagai tugas akhir penyelesaian studi banyak yang mengangkat permasalahan hukum dari optik hukum adat Gayo.

Kini, alumni STIHMAT telah bertebaran di berbagai instansi dan profesi, sebab mahasiswa STIHMAT terdiri dari mahasiswa reguler dan non reguler.

Yang unik adalah mahasiswa non-reguler, mereka adalah orang-orang yang telah berprofesi di berbagai instansi, baik instansi pemerintah maupun instansi swasta, organisasi masyarakat, aparatur desa, dan sebagainya.

Banyak juga mereka orang-orang yang ingin mengambil ‘double degree’, untuk menambah gelar kesarjanaan di samping gelar yang sudah ada.

Pilihan STIHMAT untuk menjadikan adat Gayo sebagai paradigma studi hukumnya menjadikan lulusan STIHMAT familiar melihat persoalan hukum apapun dengan perspektif hukum adat, bukan hanya hukum adat Gayo tetapi hukum adat dari suku apapun, sebab hukum adat adalah salah satu sumber hukum yang diakui selain hukum Islam dan hukum Barat untuk membangun sistem hukum nasional.

“Dari Gayo untuk Indonesia,” demikian Prof. Din menutup orasinya dengan mengajak majlis wisuda untuk meneriakkan takbir ‘Allahu Akbar”.

*Widyaiswara BPSDM Aceh, Dosen STIHMAT Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.