Oleh : Dr. Marah Halim, M.Ag., MH*
Berbicara pendidikan bukan sekedar aspek birokrasi sebagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan, tetapi lebih dari itu pendidikan adalah berbicara tentang aspek korporasi sebagai industri jasa.
Pertanyaannya adalah sejauh mana peran dan perhatian pemerintah kabupaten di wilayah tengah Aceh terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di wilayah administrasinya.
Meski pendidikan tinggi bukan ranah kewenangan pemerintah daerah, namun dalam rangka menjawab problem-problem sumber daya manusia di daerahnya mereka mau tidak mau terlibat juga dalam mengurus perguruan tinggi, birokrasi yang menjadi korporasi sekaligus.
Output pendidikan tinggi itulah yang akan mengisi kepemerintahan (governance) yang secara teoritis dibagi atas 3 komponen; birokrasi, korporasi, dan civil society (oganisasi masyarakat sipil).
Bisa dibayangkan jika mayoritas penduduk suatu kabupaten seperti Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues yang mengisi ketiga komponen ini adalah lepasan perguruan tinggi tentu proses pembangunan di bidang apa saja akan menjadi lebih mudah dan lebih cepat karena kemudahan “menyamakan frekuensi”.
Pabrik SDM
Lembagai pendidikan tinggi adalah pabrik SDM. Fungsi pabrik adalah mengubah barang baku menjadi barang jadi. Pabrik kue akan mengubah tepung menjadi kue yang enak. Pabrik ban mengolah karet menjadi ban; dan sebagainya.
Intinya, semua keluaran pabrik sebagai proses produksi akan menghasilkan barang konsumsi yang siap pakai, dan ketika dipakai dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal.
Demikian halnya dengan perguruan tinggi sebagai pabrik untuk memberdayakan manusia. Bedanya jika pabrik barang mengubah bahan baku menjadi barang jadi dengan perubahan secara fisik, maka pabrik SDM mengubah jiwa dan pikiran manusia yang bisa diamati hasilnya dari tingkat kognisi, afeksi, dan psiko-motorinya.
Intinya, baik pabrik barang atau pabrik jasa adalah pada kemampuan mentransformasi material menjadi barang atau yang dimiliki oleh pabrik itu, dan pada tataran inilah kita mempertanyakan, pabrik SDM apa yang sudah eksis di Aceh Tengah dengan mesin produksi yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing di pasaran.
Di pasar kerja, apakah produk SDM “made in Takengon”, “made in Redelong” dan “made in Blangkejeren” telah beredar dan menjadi incaran. Beda dengan produk barang dimana brand yang sama tapi bisa diproduksi di mana saja.
Seperti halnya produk komputer ‘Intel’ dalam kisruh perang dagang antara China dan Amerika saat ini; hampir sebagian besar produk Intel diproduksi di China tetapi dengan kualitas Amerika, negara asalnya.
Tidak demikian halnya dengan produk jasa, sebab mesin utama di pabrik jasa adalah manusianya sendiri, yakni dosen atau guru, bukan gedung-gedung kampus.
Karena itulah mengapa disebut perguruan tinggi karena yang berharga adalah gurunya, bukan gedung atau nama universitasnya.
Sebut saja universitas-universitas besar di manapun pasti digawangi oleh para guru besar dengan reputasi yahud yang direkrut karena prestasinya.
Menyebut perguruan tinggi, bayangkan saja perguruan silat dalam serial kungfu masters dalam film-film Hongkong. Di setiap perguruan silat yang berharga adalah gurunya karena para gurulah yang menguasai jurus-jurus dan ajian-ajian.
Di perguruan tinggi, jurus itu kini berganti dengan rumus-rumus, dan ajian berganti dengan kajian-kajian. Sama saja, penguasa rumus dan kajian adalah para guru besar dan dosen, belajar tanpa bimbingan guru besar dan dosen sama saja dengan belajar jurus dan ajian tanpa guru silat; tidak akan pernah sampai ke peuneuteuh-nya.
Kondisi Eksisting
Dari 3 kawasan pembangunan di Aceh, kawasan pantai timur, kawasan pantai Barat-Selatan, serta wilayah tengah pegunungan; hanya di wilayah tengah yang belum memiliki perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikti; hanya ada satu perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Agama, yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN Takengon); itupun hanya menawarkan program studi ilmu sosial, budaya dan agama.
Kini sudah tahun 2025, “hari gini” belum ada tanda-tanda akan bertransformasinya perguruan tinggi swasta seperti Universitas Gajah Putih (UGP) di Takengon untuk menjadi perguruan tinggi negeri.
Alih-alih bertransformasi, hidup PTS ini sangat bergantung pada dukungan moril dan materil dari pemerintah daerah Aceh Tengah.
Perguruan tinggi yang dikelola secara murni swasta seperti Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Takengon (STIHMAT) juga belum bertransformasi menjadi universitas juga lebih kurang karena belum bergairahnya dunia pendidikan tinggi di wilayah tengah Aceh, terutama di Aceh Tengah sebagai zentrum pendidikan di kawasan ini.
Ibarat klub sepakbola yang belum pernai menjuarai kompetisi atau belum pernah berpartisipasi dalam turnamen kelas dunia seperti halnya kesebelasan Indonesia; yang perlu dilakukan adalah menghadirkan pemain-pemain top; jika perlu dengan tawaran fasilitas dan gaji yang menggiurkan.
Di perguruan tinggi, pemain itu adalah para dosen dengan pemain top para guru besar.
Logika mudahnya, mungkinkah Ronaldo mau bermain di Saudi Arabia kalau bukan karena dibayar mahal? Begitu juga dengan perguruan tinggi di wilayah Aceh Tengah, mungkinkah para orang tua dari seluruh Aceh akan mau menguliahkan anaknya ke PT yang tidak ada “pemain top”-nya.
Karena itu hadirkanlah pemain top dengan cara apapun, lebih cepat lebih baik, jangan lanjutkan kondisi yang saat ini.
Kini “bola” kita tendang kembali ke pemilik “klub” perguruan tinggi di wilayah tengah; jika tidak segera berbenah maka para pemain akan memilih hengkang atau bertahan sekedarnya; demikian pula para penonton (para orang tua) akan lebih memilih mengeruk koceknya untuk “menonton” di stadion lain walaupun jauh tetapi dijamin memuaskan.
Jika pemda setempat tidak memberi prioritas dan perhatian lebih pada persoalan eksistensi perguruan tinggi di wilayahnya dan membiarkan perguruan tinggi berjuang sendiri, maka akibat jangka panjangnya adalah lemahnya sumber daya manusia yang mengisi pilar-pilar good governance-nya; birokrasi, korporasi, dan civil society-nya.
Membiarkan itu terus terjadi sama saja membiarkan wilayah tengah terseok-seok di lintasan peradaban.
*Widyaiswara BPSDM Aceh, Dosen STIHMAT Takengon