Catatan Redaksi*
Ketua Komisi C DPRK Aceh Tengah, Wahyudin, berdiri tegak di hadapan Wakil Bupati, kepala OPD, dan para pemangku kebijakan lainnya. Dengan penuh percaya diri, dia berkata, “Pak Wakil Bupati, Gedung DPRK Aceh Tengah saat ini tidak layak huni.”
Seolah-olah inilah persoalan terbesar yang harus segera diselesaikan. Seolah-olah tanpa renovasi gedung dewan, seluruh pemerintahan akan lumpuh.
Dan ironinya, dia mengatakan ini dengan kesadaran penuh bahwa keuangan daerah sedang defisit!
Wahyudin jelas lebih tahu arti defisit dibanding kita, rakyat kebanyakan. Dia tahu akibat defisit ini, gaji pegawai honorer tak terbayar.
Dia tahu akibat defisit ini, tunjangan kinerja pegawai yang menjadi hak mereka tidak bisa dikeluarkan. Dia tahu akibat defisit ini, beberapa proyek prioritas yang benar-benar dibutuhkan rakyat harus terhenti.
Tapi tetap saja, yang dia suarakan bukan gaji honorer, bukan tunjangan pegawai, bukan proyek rakyat—melainkan permintaan renovasi gedung DPRK.
Dengan kondisi keuangan daerah yang sedang berdarah-darah, dia masih menuntut fasilitas untuk dirinya sendiri.
Ara mupau ke jemani? Apakah orang ini masih punya hati nurani?
Saat Rakyat Berjuang Bertahan Hidup, DPRK Malah Minta Gedung Baru
Di luar sana, rakyat Aceh Tengah berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Mereka menerima bahwa harga bahan pokok naik karena ekonomi daerah sulit. Mereka tetap bersabar meski fasilitas kesehatan terbatas, pendidikan kurang memadai, dan infrastruktur hancur.
Mereka memahami bahwa keadaan ini tidak mudah dan bersedia menanggungnya demi kepentingan yang lebih besar.
Tapi bagaimana mungkin rakyat bisa memahami jika justru DPRK yang pertama kali meminta fasilitas?
Bukankah mereka seharusnya menjadi yang terakhir menikmati kenyamanan, setelah memastikan rakyatnya tidak menderita?
Bukan rakyat yang seharusnya mengalah untuk dewan, tapi dewan yang seharusnya berkorban demi rakyat.
Apa DPRK lupa bahwa ada ribuan pegawai honorer yang bekerja tanpa kepastian gaji? Apa mereka lupa bahwa ada anak-anak yang harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah karena fasilitas pendidikan masih minim?
Tapi tidak, mereka tidak peduli. Yang pertama kali mereka pikirkan adalah kursi empuk mereka sendiri.
DPRK: Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Kepentingan Pribadi?
Sebenarnya selama ini kita sudah tahu belaka, adalah omong kosong seorang anggota dewan yang untuk mendapatkan posisinya saat ini sudah banyak keluar biaya akan lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingannya sendiri.
Tapi peristiwa yang menampilkan sikap tak punya malu secara vulgar ini membuka mata kita semua. Bahwa DPRK benar-benar tidak mewakili rakyat, melainkan hanya mewakili dirinya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang anggota dewan dengan terang-terangan meminta fasilitas di tengah krisis yang menghimpit rakyat?
Jika seorang wakil rakyat lebih peduli pada kenyamanan kantornya dibanding kesejahteraan rakyatnya, maka rakyat harus mulai berpikir ulang: apakah orang seperti ini masih layak menjabat?
Atau mungkin, sudah waktunya bukan gedungq DPRK yang direnovasi, tapi orang-orang di dalamnya yang diganti. Rakyat harus sadar bahwa defisit bukan hanya soal keuangan, tapi juga soal defisit moral dan kepedulian dalam kepemimpinan kita. []