“Sejak saya masih kecil,” ucap Rama, seorang petani di Kampung Tebuk, “jalan masuk ke kampung kami tetap seperti ini. Memang setiap musim pemilu tiba ada banyak caleg dan calon bupati yang berjanji akan memperbaikinya, tapi sampai saya punya dua anak janji itu hanya menjadi angan-angan kami.”
Begitulah Rama, bukan nama sebenarnya, bercerita kepada redaksi LintasGAYO.co, tentang kondisi jalan di Kampung Tebuk, Kecamatan Pegasing. Sekarang dia sudah berusia 35 tahun, dan anak pertamanya sudah berusia 6 tahun.
Dia dan anaknya tetap melewati jalan yang sama, dan kalau dibiarkan seperti itu kemungkinan suatu hari nanti anaknya juga akan berkata: “Sejak saya masih kecil, jalan di kampung kami masih tetap seperti ini.”
***
Nek Ries adalah warga Kampung Semelit Mutiara, Kecamatan Silihnara. Dia hanya tinggal bersama seorang putranya yang belum menikah, meskipun sudah berusia sekitar 40 tahun. Hal itu disebabkan karena anaknya menderita gangguan mental.
Kami pernah ke rumahnya, dan melihat betapa kondisi rumah Nek Ries begitu memprihatinkan. Lantainya hanya tanah yang sering becek kalau musim hujan tiba.
Dindingnya papan yang sudah tua, setua usianya saat itu. Atap bagian dapur pun kerap bocor dan hanya dipasang spanduk bekas kampanye salah seorang caleg.
Jika dilihat kondisi yang sedemikian rupa, kita bisa menyimpulkan: caleg memang pernah membantu untuk membangun rumahnya, meskipun hanya lewat spanduk bekas yang diambil dari pinggir jalan.
Sekarang Nek Ries sudah meninggal dunia, sekitar tiga atau empat bulan lalu. Tapi yang paling menyedihkan adalah dia hidup dan mati sebagai orang miskin. Tinggal di rumah yang hampir tidak layak huni, dan hanya mengandalkan uluran bantuan dari kerabat dan para tetangganya.
***
Salah seorang wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, mengeluhkan kondisi Gedung DPRK Aceh Tengah yang katanya tidak layak huni. Kami pernah mengunjungi gedung itu, dan melihat kondisi di sana sebenarnya semua masih baik-baik saja.
Dana APBK yang dikumpulkan dari uang rakyat, sejatinya masih bisa digunakan untuk pembangunan yang terasa langsung bagi rakyat. Baik itu memperbaiki jalan yang rusak atau membangun rumah rakyat agar lebih layak huni.
Lantas apakah dengan membangun dan merehabilitasi Gedung DPRK, kinerja mereka akan lebih baik di mata rakyat?
Belum tentu, karena kita harus belajar dari berbagai peristiwa di masa lalu.
***
Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu Khalifah terbaik dari masa Bani Umayyah. Waktu pertama kali diangkat sebagai Khalifah, dia sempat menangis.
Bukannya mengucapkan Alhamdulillah, dia malah mengucapkan Innailaihi. Baginya jabatan itu musibah, karena dia harus mengorbankan kepentingan pribadinha demi kepentingan rakyat
Alkisah, setelah menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah tinggal di rumah mewah. Istananya dibiarkan ditempati oleh para pejabatnya, sedangkan dia tinggal di sebuah rumah sederhana.
Dia juga menolak untuk tidur di kasur yang empuk, dan lebih memilih untuk tidur di atas lantai batu yang keras. Katanya, bagaimana mungkin dia bisa tidur nyenyak sementara banyak warga yang masih kelaparan?
***
Lain Umar bin Abdul Aziz, lain pula Jose Mujica. Dia adalah tokoh yang pernah viral karena menjadi presiden termiskin di dunia. Dia menjabat sebagai Presiden Uruguay pada periode 2010-2015. Lalu, apa yang membuatnya terkenal?
Dia menyumbangkan 90% gajinya untuk kepentingan rakyat. Tidak hanya itu, dia menolak untuk tinggal di rumah kedinasan Presiden yang begitu mewah dan memilih untuk tetap tinggal di rumahnya yang sederhana.
Jika dilihat dari bentuknya, rumah itu malah nyaris tidak layak disebut sebagai rumah seorang presiden. Tapi nyatanya, itu memang rumah seorang presiden. Sampai akhir masa jabatannya usai, dia tetap dikenal sebagai presiden paling miskin di dunia.
***
Bertolak pada kisah Rama dan Nek Ries yang awam pada politik, seharusnya wakil rakyat kita malu. Entah berapa banyak ucapan janji yang mereka sampaikan di hadapan rakyat jauh sebelum menjabat. Tapi setelah menjabat, alangkah baiknya janji itu mereka tepati.
Membangun jalanan yang hancur tentu lebih berguna bagi ratusan warga di kampung Tebuk. Membangun ribuan rumah yang kondisinya sama memprihatinkan dengan rumah Nek Ries tentu lebih mulia ketimbang membangun kembali Gedung DPRK .
Dan kalau bertolak pada kisah Umar bin Abdul Aziz dan Jose Murica, seharusnya wakil rakyat kita jauh lebih malu. Kedua tokoh itu dikenang karena kesederhanaan dan kerendahatian mereka.
Kalau memang wakil rakyat kita mau dikenang sebagai tokoh yang tidak puas pada jabatan yang telah mereka rasakan, silakan saja utamakan pembangunan Gedung DPRK ketimbang jalan dan rumah bagi rakyat.
Tapi kalau mereka setidaknya masih punya sedikit perasaan, mereka seharusnya ingat: dulu mereka berasal dari rakyat, dan sekarang kebetulan sedang menjadi seorang wakil rakyat, dan suatu hari akan kembali menjadi rakyat!
[Redaksi]