Hidupkan Norma Adat Gayo dan Jawa yang Beradab, Beretika, dan Bermoral Kemanusiaan

oleh

Oleh : Oleh : Dr. Joni, M.PdB.I*

Pendahuluan

Norma adat adalah seperangkat aturan tidak tertulis yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, yang berfungsi mengatur interaksi sosial dan menjaga keharmonisan.

Joni (2019) dalam kajiannya tentang norma adat Gayo menekankan peran norma adat dalam membentuk perilaku masyarakat yang beradab dan hal ini terdapat dalam konsep adat Gayo yang disebut dengan Peri Mestike.

Dalam konteks Indonesia, dengan keragaman budaya yang luas, norma adat sangat penting untuk menjaga keseimbangan sosial dan moral dalam berkehidupan bersama.

Dua contoh kuat norma adat Gayo dan Jawa dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Suku Gayo di Aceh dan Suku Jawa di Pulau Jawa.

Suku Gayo, yang mendiami Dataran Tinggi Gayo di Provinsi Aceh, dikenal memiliki tradisi kesenian seperti Tari Saman, Didong dan dasar konsep ada Peri Mestike”.

Tradisi ini berfungsi sebagai hiburan, media ritual, dan konsep adat merupakan sistem dan sarana pendidikan budaya mereka.

Masyarakat Gayo memegang teguh nilai-nilai yang berakar pada ajaran Islam dan adat istiadat setempat, yang secara harmonis membentuk karakter sosial mereka (Nasution, 2019).

Di sisi lain, Suku Jawa, yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur, memiliki norma adat yang mencakup (toto-kromo) tata krama, unggah-ungguh, upacara adat, dan sistem kekerabatan yang mengedepankan etika, moralitas, dan rasa hormat terhadap sesama (Nirmala Eka Maharani, 2021).

Peristiwa di Jagong Jeget

Insiden yang terjadi di Kecamatan Jagong Jeget, Kabupaten Aceh Tengah, pada 16 Februari 2025, menjadi contoh ketegangan antara norma adat dan kehidupan modern.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa peristiwa ini tidak mencerminkan norma adat Gayo dan Jawa secara keseluruhan.

Dalam adat Jawa, konsep saling menghargai, khurmat, andhap ashor, harmoni antara individu dan masyarakat sangat dijunjung tinggi, hal tersebut direpresentasikan dengan nilai-nilai seperti “Memayu Hayuning Bawana” (menciptakan kesejahteraan) dan “Urip iku Urup” (hidup harus dapat memberi manfaat).

Begitu juga dalam adat Gayo, terdapat nilai “Sumang, Mukemel, dan Tertip” yang mengedepankan musyawarah, toleransi, dan kebersamaan.

Polemik yang muncul di Jagong Jeget menunjukkan adanya perubahan sosial yang dipicu oleh modernitas dan penulis yakin ini yang melakukan adalah oknum, yang seringkali tidak memperhatikan nilai-nilai adat setempat.

Hal ini menggambarkan ketegangan antara kebebasan pribadi dan kewajiban untuk menjaga nilai-nilai adat dan agama yang menjadi pedoman dalam masyarakat, jika ini dibiarkan ini dapat menjadi pemicu terpecahnya kebersatuan dan kerukunan bersama (sesama suku).

”Dugem” dalam Perspektif Norma Adat Jawa

Untuk tidak terprovokasi oleh oknum dan agar tidak saling mendekriminasi antar satu suku dengan lainnya.

Perlu diperhatikan, dalam perspektif budaya Jawa, norma adat memiliki aturan dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan masyarakat, yang berlandaskan pada keselarasan dengan alam, keharmonisan sosial, dan moralitas.

Konsep norma adat ini tidak mengenal atau mendukung praktik yang berkaitan dengan budaya “Dugem”, meskipun nama “Dugem” dapat terkesan Jawa karena menggunakan bahasa Jawa.

Perilaku yang tergolong dalam “Dugem”, seperti kehidupan malam yang berfokus pada hiburan bebas, dianggap bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang diterapkan dalam adat Jawa yang lebih mengutamakan ketertiban sosial dan keharmonisan antargenerasi.

Pernyataan bahwa “Dugem” merupakan budaya asing yang diterapkan oleh oknum yang ingin merusak dan mengadu domba antar suku merujuk pada fenomena globalisasi dan pengaruh budaya luar yang dapat memengaruhi norma dan identitas budaya lokal.

“Dugem” sebagai bagian dari budaya hiburan malam dipandang sebagai manifestasi dari pergeseran nilai budaya yang bisa merusak tatanan sosial yang telah lama dijaga dalam komunitas adat, bahkan berpotensi memicu konflik sosial antara kelompok yang mempertahankan nilai tradisional dan kelompok yang terpengaruh oleh budaya asing.

Norma Adat Gayo: Sumang dan Mukemel

Masyarakat Gayo mengenal dua nilai penting dalam adat mereka, yaitu “Sumang” dan “Mukemel.”

Sumang berhubungan dengan maksiat, dan pelanggaran kesopanan dan kesantunan yang menyebabkan dosa, sedangkan Mukemel merujuk pada rasa malu, maksudnya ’malu jika tidak berbuat baik, dan bisa jadi ”gere mukemel” jika tidak berbuat baik.

Kedua nilai ini erat kaitannya dengan ajaran Islam, di mana perilaku seperti dugem yang melibatkan joget tanpa menutup aurat dianggap sebagai bentuk maksiat (Mahmud Ibrahim, 2006).

Oleh karena itu, meskipun ada kebebasan berekspresi, tetap diperlukan tanggung jawab sosial agar tidak merusak keseimbangan sosial yang telah terbentuk dalam tatanan adat ke-dua suku tersebut.

Norma Adat Jawa: Memayu Hayuning Bawana dan Totokromo

Dalam budaya Jawa, norma adat berlandaskan pada prinsip “Memayu Hayuning Bawana,” yang mengajarkan untuk menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan, serta “Urip iku Urup,” yang berarti hidup harus memberikan manfaat.

Konsep “Totokromo (tatakrama), dan ”Unggah-ungguh” yang mengedepankan etika dan sopan santun dalam interaksi sosial, menuntut setiap individu untuk menjaga kehormatan diri dan orang lain (Andri Mastiyanto, 2023). Dalam konteks ini, perilaku yang tidak sesuai dengan norma agama dan adat, seperti dugem, ditolak dalam masyarakat Jawa.

Perspektif Islam dalam Menjaga Moralitas

Islam sangat menekankan pentingnya menjaga moralitas dan menghindari perilaku yang merusak keseimbangan sosial. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan hal ini, seperti dalam Surah Al-Isra (17:32) yang melarang mendekati zina, dan Surah Al-Hujurat (49:11) yang mengingatkan agar tidak saling mengolok-olok.

Ayat-ayat ini menekankan bahwa kebebasan berekspresi harus selalu disertai dengan kesadaran terhadap batasan moral yang ditetapkan agama dan adat.

Pentingnya Kesadaran Kolektif

Peristiwa di Jagong Jeget mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran kolektif dalam menjaga keharmonisan sosial dan kedamaian juga kenyamanan hidup bersama.

Tanpa pemahaman yang mendalam terhadap norma agama dan adat, perpecahan sosial dapat terjadi, terutama di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, pendidikan kultural yang mengajarkan norma adat, dialog masyarakat, serta kegiatan alternatif yang tidak melanggar adat, sangat diperlukan untuk memperkuat nilai-nilai luhur ini.

Kesimpulan

Norma adat berperan penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan moralitas masyarakat. Di Indonesia, seperti pada Suku Gayo di Aceh dan Suku Jawa, nilai adat yang berakar pada ajaran Islam dan etika sosial membentuk perilaku masyarakat.

Namun, perubahan sosial yang dipicu modernitas, seperti peristiwa di Jagong Jeget, menunjukkan ketegangan antara kebebasan pribadi dan kewajiban menjaga norma adat dan agama.

Budaya hiburan bebas seperti “Dugem” dianggap bertentangan dengan nilai adat. Dalam adat Gayo dan Jawa, nilai seperti “Sumang,” “Mukemel,” “Memayu Hayuning Bawana,” dan “Totokromo” mengajarkan kesopanan, keharmonisan, dan moralitas.

Kesadaran kolektif tentang pentingnya norma agama dan adat diperlukan untuk mencegah perpecahan sosial dan mempertahankan nilai-nilai luhur.

Saran

Norma adat merupakan pedoman tidak tertulis yang mengatur perilaku dalam masyarakat. Di Indonesia, norma adat berperan penting dalam menjaga keharmonisan sosial dan moral, seperti yang terdapat pada Suku Gayo di Aceh dan Suku Jawa di Pulau Jawa.

Masyarakat Gayo memegang nilai “Sumang” dan “Mukemel,” yang mengajarkan kesopanan dan rasa malu terhadap perilaku yang melanggar adat dan agama.

Sementara itu, Suku Jawa memiliki prinsip “Memayu Hayuning Bawana” dan “Totokromo,” yang menekankan pentingnya kesejahteraan sosial, etika, dan keharmonisan.

Namun, peristiwa yang terjadi di Jagong Jeget pada 16 Februari 2025, mengungkapkan ketegangan antara norma adat dan modernitas.

Untuk menjaga keseimbangan ini, penting bagi Pemerintah Daerah untuk memperkenalkan nilai-nilai adat melalui pendidikan, dialog masyarakat, serta kegiatan budaya yang positif.

Kesadaran kolektif terhadap pentingnya norma adat dan moralitas sangat diperlukan agar masyarakat tetap hidup harmonis dan terhindar dari kerusakan moral.

Solusi

Pemerintah daerah harus tegas menegakkan regulasi terhadap kegiatan sosial yang melanggar norma adat, seperti dugem, dengan pengawasan ketat.

Pendidikan tentang norma adat Gayo dan Jawa harus dimasukkan dalam kurikulum dan pelatihan masyarakat untuk menjaga moralitas.

Pemuka agama dan tokoh adat perlu diberdayakan untuk membimbing masyarakat dalam menjaga tradisi. Selain itu, forum-dialog antar-komunitas harus difasilitasi untuk mencari solusi bersama.

Terakhir, pemerintah perlu menyelenggarakan kegiatan budaya alternatif yang menghormati norma adat, sebagai wadah ekspresi tanpa melanggar nilai lokal.

*Urang Gayo, Dosen Pascasarjana dan Ketua Pusat Kajian Budaya dan  Kebijakan Publik INISNU Temanggung – Jawa Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.