[Cerpen] Ember Pengecrek

oleh

Rianda Akbari

Sudah dua kali, lubang menganga menjadi saksi. Tadi subuh, truk bermuatan tabung gas melaju sangat kencang, lalu menghantam sebuah lubang sehingga tabung di belakangnya terampul ke luar bak.

Ada di tepi jalan, selokan rumah bahkan menggelinding ke sungai kecil samping masjid. Beruntung, melon bercangkang besi itu ogah memoles kepala tak berdosa.

Lantaran lampu jalan yang padam sekaligus diburu fajar menyingsing. Tak ayal, lubang tersebut luput dari penglihatan si sopir, begitulah dalihnya.

“Lantas, siapa yang membantu memungutnya?” tanya Cecep sembari menjentik semut di bibir cangkir,

“Entah, mungkin kernetnya,” dengan mata mendelik Mak Iroh singkat menyahut terus beralih meniriskan gorengan.

Deru adonan aspal menyelinap keheningan mereka. Berdengung dari jalan depan masjid. Genap, empat hari berturut-turut cangkul dan sekop saling berdenting.

Disusul gemeretuk bor yang mencungkil kerasnya batu. Mobil dan motor merayap kian memanjang. Kali ini, perpindahan dari kota ke kota sedikit tersendat. Satu demi satu tenggelam dalam kemalangan.

Tiga langkah ke belakang dari antrean terdepan. Seorang wanita menjulurkan kepala melalui kaca mobil, meringis sambil menggigit jari.

Sementara di dalam angkot ada keributan kecil, si sopir mengumpat hingga bergeleng kepala karena bocah yang sedang dikeloni sang ibu menangis memekakkan telinga.

Terlihat hanya ketidakpuasan muncul dari wajah mereka. Meski terhitung sepersekian menit, kelambanan ini terasa berjam-jam.

Begitu waktunya tiba, teriakan seorang lelaki memekik nyaring,

“Teros, teros, maju, tahan, tahan kehed!”.

Sontak pedal gas dilecut kuat-kuat. Seperti tali kekang hendak terputus, semula wajah yang kecut berubah gegap gempita.

Sore itu langit tampak kelabu, awan berarak kian menebal. Desiran angin mengusap dahi yang basah. Hampir seharian Cecep berdiri dijerang terik, pandangannya berkeliaran ke setiap kendaraan yang lewat.

Lengannya kerap mengayun-ayun memandu si kuda besi agar bergerak. Di antara selusin pria yang memegang perkakas. Hanya Cecep yang berbeda.

Bukan rupa-rupa alat logam melainkan berbekal ember andalan. Ya, wadah bekas cat ukuran empat kilo itu selalu dijinjing sewaktu jaga.

Semula, ia berduet dengan seorang teman. Cecep bagian di Utara sedangkan dia di Selatan. Tapi hari ini, lelaki itu tak kunjung muncul batang hidungnya.

Ia hanya mengedikkan bahu. Lagipula sangat merepotkan bila keuntungan mengecrek harus dibagi-bagi. Mungkin encoknya kumat atau merenung sehabis kalah taruhan judi.

Selebihnya kedua kutub jatuh di bawah kekuasaan penuh. Senyum tipis tersungging di sudut mulut. Sekarang semua tergantung pada titahnya.

“Tahan, tahan, heh maju kehed!”.

Peraturannya adalah setiap lima menit sekali satu jalur dilintasi secara bergiliran. Jika di utara dibuka sedangkan arah berlawanan ditutup, begitu sebaliknya.

Kemudian gerak tangannya mengacung dan mengibas ke satu arah demi antrean lekas beringsut. Seumpama mereka sudah menghadap, ember akan disodorkan.

Di detik itu dahi yang kendur patut ia kerut-kerutkan. Malahan ditambahkan pula geraham yang gemeretuk. Supaya para pengendara merasa gemetar. Sebab kalau tak begini, mobil dan motor semaunya saja melengos tanpa permisi.

Sekali waktu pengendara motor sempat terkena dampratnya, “Woi tahan, berhenti, main ngaleos wae, maneh orang mana kehed?” sentak Cecep.

Tentu kesempatan tersebut jangan disia-siakan begitu saja. Bagai mendulang intan ‘Akan aku kuras isi kocek kalian!’.

Sungguh, keyakinannya sudah dibenamkan pada pekerjaan rendah ini. Seolah-olah dikhianati kemanusiaan dan menaruh dendam atas ulahnya. Padahal dari lagaknya terkesan sulit melampaui niatan.

Apalagi kakinya agak pincang—saat berjalan kerap kepayahan menopang tubuh berusia 45 tahun itu. Dirinya mesti berjinjit menjulurkan ember tinggi-tinggi manakala toronton tiba.

Barang seribu atau dua ribu tak akan meleset disambar mulut ember. Agaknya para penderma itu merasa iba daripada ngeri seperti awal sangkaan. Berjarak selemparan batu, sebuah kijang kapsul makin mendekat.

“Ah, kayaknya si Abah. Pantas saja ember ku terasa berat,” batinnya.

“Jalannya belum beres juga ya Jang?” tanya pengemudi.

“Saya kira siapa, rupanya Bah Haji!” seru Cecep dengan anggukan kecil, “Belum Bah, kayanya beberapa hari lagi”.

“Lama juga ya…” pungkas pengemudi tadi sembari menyerahkan uang ke ember.

Kemudian mobil tersebut beranjak menjauh. Kini, Cecep sudah hafal pria tadi berkupiah putih, jam tangan melingkar, berambut pirang sedikit tambun selalu memberi lebih banyak jumlah uang.

Di dalam ingatan Cecep, pria itu disebutnya Bah Haji. Sebetulnya ia pun tak tahu percis apakah dia telah menunaikan ibadah haji atau belum.

Hanya menilai dari penampilan saja seperti orang haji. Sebagaimana belakangan ini sebutan haji begitu jamak diobral kepada siapapun. Tak tanggung-tanggung bahkan ada pula yang mengaku keturunan Nabi.

Seandainya terbersit keinginan yang sama, bisa saja ia mencari jalan pintas. Misalnya berganti dengan balutan jubah lalu berkeliling ke masing-masing tetangga.

Meminta agar sekarang mulai memanggilnya sebagai Haji Cecep I, Haji II, Haji III dan seterusnya.

Namun siasat itu ia urungkan, karena bakal berbuah gelak tawa. Ia enggan membayangkan gerak bibir Pak RT yang terkekeh di depan muka. Apalagi desas-desus seorang serabutan akan tersiar sangat cepat ketimbang yang lain.

“Cep, mending jadi haji benaran, tapi jangan lupa hutang-hutang kau lunasi dulu, memang pikiran orang ini macam-macam saja,” ejek Mak Iroh diselingi tawa.

Cecep hanya mengangguk, dari perkataannya ada kebenaran pahit. Tanyakan saja bini siapa yang paling rajin menabung utang di bank emok.

Tentu, setiap jengkal rumah di kampung ini tak akan keliru menunjuk sasaran. Alih-alih sebutan Haji, pengutang mabrur terlanjur tersemat untuknya.

Ia menghela nafas mengenyahkan pikiran gila itu. Pandangannya mendongak ke atas. Setidaknya setengah hasil mengecrek selesai ia lipat lalu diselipkan ke saku baju.

Sedangkan di dasar ember tersisa kepingan koin 500, 200 sampai 100 perak yang belum ia susun.

Sekalipun berpejam mata, cukup mudah baginya menebak nominal hanya dari bunyi,

“Bunyi paling senyap tentu 100 perak Mak, terus bunyi paling nyaring mah pasti duit gopek, dengar…” terang Cecep bersungguh sembari melentingkan koin ke udara,

“Ya kau memang jago urusan duit receh, tapi lumayan Cep, paling tidak dua hari ini rokok maneh selalu sambung menyambung,” sergah Mak Iroh menyodorkan sebungkus rokok.

Bintik-bintik air membekas di lantai jalan. Kerumunan walet bertemperasan kembali ke sarang. Kilatan cahaya menggores retak di muka langit. Gemuruh guntur tak mengusik lelaki ini.

Dengan tubuh berbungkus jubah plastik murahan. Cecep masih memaku di pinggir papan peringatan. Jalanan berangsur lengang. Sepertinya mereka menepi untuk berteduh.

Sementara pekerjaan usai, pengki yang lelah berisik-kisik tuntas ditangkupkan. Lalu, sekelompok kuli aspal itu bergegas pulang. Akhirnya, hanya ceramah menemani Cecep.

“… Sodaraku sekalian, sekarang kita sudah masuk jaman serba sulit, jamannya hulu dugul dihihidan yakni yang untung tambah untung, meulit kasusah deukeut kana mudharat (Kesusahan begitu dekat kemudharatan) . Ingat! Jauhilah sifat kikir, kudu daek mere maweh ka sasama (harus dermawan dan membantu ke sesama)…”

Suara mimbar terdengar jelas di atas kepala. Seperti daun di dahan yang meranggas disapu angin. Hembusannya tajam menusuk tulang. Kehidupannya begitu enggan bersahabat. Sebagaimana hujan membawa berkah, tapi tak berlaku bagi dirinya.

“Kalau terus-menerus begini ember bakalan penuh terendam air hujan,” keluhnya. Dari kejauhan, motor menderu melawan derasnya hujan. Lampu jalan yang remang, membuat aspal basah licin mengkilau.

Cecep mendongak, menatap kendaraan yang melaju ke arahnya. “Bahaya, bahaya, memang cari mati,” pikirnya. Tapi ia tak punya waktu lama untuk merenung.

Sebuah suara keras—brakkk!—menghentak keras bagai palu berdentam. Ia terhenyak hingga embernya terlepas dari genggaman.

Lolongan parau menggema di petang itu, “Tolong, aduh, ya Allah, tolong!”. Bergegas diayunkan langkah kaki menuju asal suara tadi. Genangan darah menggaris di sepanjang jalan. Bau anyir menyeruak, menghilangkan aroma tanah. Seorang pria terkapar di samping roda motor yang berputar.

Sejenak tubuh Cecep tercenung, darahnya membeku. Aspal yang kasar memarut kulit punggung. Mengoyak tebalnya celana jeans. Tampak tulang betis berwarna putih susu menyembul dari dalam daging.

Gumaman tidak jelas keluar dari mulutnya. Seolah kata demi kata tercekat oleh darah bercampur air liur. Cecep masih membisu, urat tengkuknya mengejang.

Sorotan lampu mobil mengarah ke wajahnya. Kelopak matanya berdenyut, kesadarannya sontak pulih kembali. Mula-mula ia meraba, menyelidik bagian kepala pria malang itu.

“Tenang, tenang jangan banyak bergerak!” tegasnya. Ketika itu tangannya ditepis. Erangan panjang begitu getir, “Aduh, ya Allah, Astaghfirullah,” rintih pria tersebut.

Darah mengalir hebat dari pelipis. Cecep tak bisa berbuat apa-apa. Dadanya berdegup kencang. Seakan buntu mencari apa yang harus ia perbuat.

Sedangkan jemaah masjid keluar dari kehidmatannya. Melengak-lengok, mengamati di pijakan beralas keramik. Mereka berpandangan satu sama lain.

Hanya sayup-sayup terdengar saling urun suara. Tidak ada kepanikan seolah kejadian ini sudah begitu lumrah. Cukup bersilang tangan di atas buntelan sarung yang berkelebatan. Tampak masih enggan beranjak dari batas suci.

“Cep! Air, beri air!”,

“Cep kenapa? Parah tidak?”

“Cep, gotong, pangku bawa ke sini!”

“Cep, kasih obat merah!”

“Cepat, cepat!”

“Cep, cep, cep…!”

Sungguh, pikirannya kacau balau. Ia kelimpungan mendengar teriakan mereka. Lebih-lebih rentetan perintah yang tiada henti.

Dirinya merasa seperti orang tolol yang sedang bertelanjang ditonton orang banyak. Cecep mengepalkan tangan, air matanya tiba-tiba terburai. Ember yang tergeletak kembali ia raih. Kemudian dilemparkannya sekuat tenaga.

“Dasar lubang sialan!” serunya sambil menghentak tanah.

Lamat-lamat suara wanita terdengar di telinga, “Cep, Cecep, bangun, bangun!”. Tubuhnya digoyah-goyahkan. Beberapa detik kemudian, ia terlonjak. Matanya membelalak berputar ke kiri-kanan.

“Ada apa ini Mak?” tanyanya sembari menguap.

“Aih, kau molor pules kali,”

“Tadi Bah Haji mampir terus dia bilang jangan mau duitnya saja harusnya kau memikirkan solusi soal kecelakaan tempo hari”.

Cecep masih menggisik-gisik matanya yang berat, ia merasa heran dengan perkataan penjaga warung itu.

“Lalu?”

“Iya, dia suruh bagusnya mengecrek dihentikan, bikin malu kampung,”

“Sialan! Dia pikir siapa? Seenaknya saja melarang orang, harusnya jari telunjuk dia putus sewaktu di Mekkah!” sumpahnya seiring raut wajah memerah.

Mak Iroh tertawa terbahak-bahak, “Entah, mungkin nenek moyangnya pemilik jalan,” tandasnya.

Di bahu jalan anak-anak berjoget ria, berlenggok dengan ponsel di tangan. Klakson telolet terdengar nyaring menelan pikiran Cecep.

*Biodata: Rianda Akbari, lahir pada 13 April 1995 di Sukabumi, Jawa Barat. Aktif menulis di media online tentang satwa liar dan lingkungan hidup. Dua karya puisi “Aku Rempang” dan “Bebaskan!” telah dimuat di Buku Antologi Puisi Bela Rempang (2024). Beberapa karya lainnya dapat ditemukan di beberapa situs. Alamat: Kp. Sukaharja RT/RW 001/007, Des. Sukaharja, Kec. Warungkiara, Kab. Sukabumi – Jawa Barat. Fb & IG. @Rianda Akbari.

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.