Mari Melihat dari Sisi Murid

oleh

Oleh : Indah Mayasary*

10 tahun mengabdi dan bertugas di empat sekolah menengah atas sederajat di Kabupaten Bener Meriah, membuat kami sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar siswa-siswi kami tidak tuntas belajar pada fase kelas rendah khususnya literasi dan numerasi dasar.

Padahal keduanya adalah pondasi untuk dapat terbangunnya struktur pengetahuan lanjutan yang baik dan bermakna.

Secara singkat literasi dan numerasi dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan menggunakan berbagai macam angka dan simbol matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan mampu menganalisis informasi untuk dapat digunakan memprediksi dan mengambil keputusan.

Dampaknya ketidaktuntasan literasi dan numerasi ini ada banyak seperti gagal faham pada materi lanjutan di SMP dan SMK/SMK/MA, bosan, insecure, pengalihan aktualisasi diri pada kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat di sekolah maupun luar sekolah, perilaku bullying untuk validasi diri, vandalisme dan banyak lainnya.

Menurut Andeas Schleicher dari OECD, ketidaktuntasan literasi dan numerasi dasar juga berdampak pada tingkat pengangguran, penghasilan yang rendah dan kesehatan yang buruk.

Jadi literasi dan numerasi tidak hanya berdampak pada individu, namun juga membawa pengaruh signifikan pada masyarakat bahkan bangsa dan negara.

Bukankah kita semua menyaksikan, sebelum bersekolah, anak-anak kita begitu antusias, begitu penasaran dan ingin tahu banyak hal, tapi seiring berjalannya waktu, keingintahuan acap kali hilang, rasa penasaran berganti dengan ketidaksabaran ingin cepat pulang.

Di kelas lebih banyak ngantuk dan tidur-tiduran, saat ditanya pura-pura mengerti atau tanya teman. Kira-kira apa penyebabnya?

Kami menilai salah satu penyebab terbesarnya adalah gagalnya kita melihat peserta didik dari sisinya. Kita gagal melihat anak-anak kita yang mengalami kesulitan belajar sehingga sebenarnya sebagian mereka tidak mampu naik ke level pembelajaran selanjutnya.

Kita seringkali hanya membawakan suatu materi yang menurut kurikulum sudah harus diajarkan, tapi kita tidak mau ambil pusing apakah anak sudah tuntas di fase sebelumya atau masih butuh pendalaman atau pengulangan, relevankah materi tersebut dengan anak atau tidak.

Ya, melihat dari sisi anak. Lihatlah anak sebagai subjek belajar, bukan objek penerima materi, bukan objek dana BOS dan bukan objek kepentingan lainnya.

Anak adalah manusia dinamis yang berstatus sebagai amanah yang harus disayangi, dipahami dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya agar berkembang menjadi ahsanu taqwim, sebaik-baik manusia.

Selaku guru dan orang tua, mendidik anak sesuai dengan tingkat pemahamannya dan sesuatu yang mampu diikutinya seharusnya menjadi hal utama yang harus diperhatikan.

Apalagi bagi guru yang sudah disumpah dan digaji untuk tugas tersebut. Selain gaji, guru juga sebagian besar sudah diberi tunjangan profesi untuk menunjang pelaksanaan tugas membantu muridnya bertumbuh.

Tapi berapa banyak yang menggunakan tunjangan tersebut untuk belajar? Berapa banyak yang menyisihkan tunjangannya untuk mengikuti peltihan, seminar dan sebagainya demi menyelesaikan masalah murid? Berapa banyak yang menyisihkan waktunya memikirkan anak-anak yang butuh perhatian?

Fenomena yang umum terjadi adalah guru menyalahkan orang tua dan orang tua menyalahkan guru. Lantas siapa yang sungguh peduli pada anak?

Pada fase-fase perkembangannya, pada kemampuan sosial emosinya, pada keberhargaan dirinya, pada perasaan dan problema-problemanya di dalam maupun di luar sekolah jika orang tua menganggap anak cukup diberi makan dan disekolahkan dan guru menganggap cukup dengan materi yang diajarkan, siapa?

Oh ya, ada yang peduli! Ialah pemilik aplikasi-aplikasi di smart phone. Keadaan ini sungguh sangat menguntungkan bagi mereka.

Anak-anak kita saat ini lebih senang berinteraksi bersama gadgetnya dengan aplikasi-aplikasi beraneka rupa karena disana mereka menemukan fun, menemukan ayah dan ibu maya, guru maya dan teman-teman maya yang hanya melayani dan tak banyak tuntutannya.

Saat ini kami seringkali mendapati banyak anak-anak yang belajar di sekolah begitupun beribadah hanya untuk menggugurkan kewajiban.

Tak sedikit mereka belajar karena paksaan atau reward juga penghargaan. Yang ditujunya ijazah, harta dan jabatan, bukan menjadi insan yang bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia dengan potensi yang sudah Allah berikan.

Mengejar nilai dengan belajar kebut semalam atau dengan contekan bahkan mungkin sogokan. Nilaipun kadang diberi karena alasan kasihan. Hingga raport kehilangan kredibilitasnya sebagai laporan.

Demikian pula kita guru dan orang tua, melakukan tugas sekedar penggugur kewajiban semata. Selepas sekolah, masing-masing beralih dari dunia pendidikan, “Aku sudah selesai melakukan kewajibanku, kini saatnya aku bebas” kata kita lalu kembali ke peraduan.

Padahal belajar adalah hak, bukan kewajiban. Begitupun mendidik adalah tugas hidup bagi orang dewasa terhadap generasinya, bukan dilakukan karena pengawasan.

Nahnu du’at qabla kulli syai’ , dai sebelum profesi lainnya begitu ungkapan yang lazim kita dengar. Maka tak ada kata berhenti mencari solusi bagaimana murid-murid kita dapat tumbuh dan berkembang teruatama dalam aspek literasi dan numerasi.

Pandanglah dari sisinya, apa hambatannya untuk maju, apa yang mungkin dapat dilakukan, metode mana lagi yang bisa dicobakan, berapa waktu yang ada untuk bisa membantunya, ilmu apa yang yang perlu dicari dan dipraktekkan dan seterusnya.

Pemerintah dan sekolah pun tidak perlu malu memberi aturan untuk mengulang materi numerasi dan literasi dasar di tingkat SMA sederajat jika memang anak-anak kita belum tuntas di fase tersebut.

Semoga kita sampai pada suasana dimana anak menikmati belajar sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan tingkat pemahamannya, sesuai dengan bakat dan minatnya dan merekapun bersemangat mengikuti pembelajaran bermakna sehingga bisa membawa manfaat langsung bagi kehidupannya sehari-hari atau untuk masa depannya nanti.

Mari menjadi penuntun bukan penuntut, karena tugas kita adalah mendampingi, bukan menghakimi. Mulai dengan mengenal diri dan kebutuhan-kebutuhannya agar dapat pula kita memahami orang lain dan kebutuhannya.

Ayo bertranformasi, menyesuaikan diri demi anak-anak didik kita. Mari pergunakan sebagian tunjangan profesi untuk benar-benar menunjang kapasitas dan kapabilitas diri, agar kelak kita bisa menjawab pada Ilahi bahwa misi telah ditunaikan.

*Uning Bersah, 13 Februari 2025

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.