Memang Tak Enak Jadi Wakil

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

TULISAN ini hanya coretan kecil yang mengingatkan potensi pengkhianatan orang terdekat. Dalam politik, sosok itu bernama wakil. Sejarah mencatat, dalam satu fase kepemimpinan, sedikit sekali kepala negara atau kepala daerah yang mencalonkan diri kembali bersama wakilnya pada pemilihan berikutnya.

Seorang kepala daerah yang gemar menerbangkan sendiri pesawatnya sempat menyemprot wakilnya setelah selamat dari sebuah insiden dengan tudingan yang cukup meyakitkan telinga. “Kau pasti berharap aku mati, kan?” Mengapa kata-kata ini terlontar, hanya mereka berdua yang paham.

Satu alasan yang dimaklumi, dan bagi si wakil menjadi pemakluman untuk membenarkan semua perbuatannya, adalah tak semua orang senang berada di bawah bayang-bayang. Meski mendapat jatah paru-paru, mereka tetap berharap memakan jantung, seperti yang dimakan bosnya.

Para wakil, entah itu presiden, gubernur, bupati, wali kota, dinas, atau kepala sekolah, bersifat seperti anjing pemburu. Secara fisik, dari ujung rambut sampai ujung kaki, mungkin terlihat sama dengan manusia lain, tapi sifat dan perangai tak ubah hewan.

Syahdan, ada raja yang meminta empat tukang kayu membuat kapal besar. Namun semua tukang kayu itu meminta satu imbalan yang sama, yakni menikahi putri semata wayang raja.

Jelas saja ini tidak mungkin. Raja yang panjang akal, pikiran, rasa dan perasaan, tidak ingin mengecewakan para tukang itu. Dia lantas berdoa agar Tuhan menciptakan tiga perempuan lagi, mirip putrinya.

Tuhan tidak keberatan dengan permintaan itu. Lantas diciptakanlah seorang perempuan dari unsur kuda, unsur anjing, dan seorang lainnya dari unsur ular. Perempuan pertama, yang berasal dari kuda, suka berpetualang. Selalu ingin bebas dan keras kepala.

Perempuan kedua gemar bertengkar, berkelahi, dan tidak punya rasa malu. Tapi melihat dari mana asalnya, unsur anjing, hal itu tidaklah mengherankan. Adapun perempuan lainnya mewarisi sifat ular, licik, penuh tipu daya, dan berkhianat.

Sifat-sifat hewan itu memang melekat pada manusia. Tapi manusia juga dimodali dengan akal untuk memproses dan menimang-nimang baik dan buruk hal-hal yang ada di depannya.

Tidak semua hal harus direkayasa. Tidak perlu juga bermesra-mesra di depan umum, namun di belakang mengatur strategi untuk menjatuhkan.

Berlaku normal, menjalani semua komitmen, dan bersikap ksatria, bakal memberikan kebaikan lebih besar. Tidak hanya bagi diri sendiri. Namun juga bagi khalayak ramai. Jangan sampai semua kebaikan sirna karena satu perasaan dengki.

(Mendale, November 21, 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.