Catatan: Muhammad Syukri*
Beredar kalimat sarkastik di medsos tentang cara menyelesaikan defisit APBK AcehTengah. Bunyi kalimatnya begini: “Kenapa harus Bardan. Kalau cuma itu solusinya, Onot pun bisa.”
Apa sih solusi yang ditawarkan Bardan Sahidi sampai Facebooker itu kepanasan?
Dalam video yang beredar, Bardan mengatakan: “Tentang defisit keuangan belanja APBK, dalam struktur keuangan daerah, defisit dan surplus itu sesuatu yang lumrah. Kalau kemudian surplus kemana dibelanjakan. Kalau defisit, darimana sumber untuk membiayainya. Oke. Bardan bisa lakukan apa? Menjual, melelang, sebagian harta kekayaan daerah.”
Apa yang dikatakan Bardan Sahidi dalam video itu merupakan salah satu solusi mengatasi defisit. Dan solusi itu sesuai dengan panduan dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI.
Lantas kenapa bupati sebelumnya tidak mengambil langkah itu? Jangan-jangan si penulis status Facebook itu (tanpa sadar) menyindir (satire) terhadap kapasitas bupati sebelumnya yang jauh dibawah “Onot.” Mungkin karena tak mampu menangani defisit.
Ah, saya terlanjur membuka rahasia si penulis status tadi. Tapi nggak apa-apa. Mudah-mudahan sang mantan tak sempat membaca catatan ini.
Defisit, maaf bukan pisit (sedimen lumpur di dasar danau), secara perimestike sama dengan “lebih besar pasak daripada tiang.”
Tepatnya lebih besar rencana daripada uang yang tersedia. Alhasil, pada saat rekanan (kontraktor) mengajukan tagihan, kas daerah tak mampu membayar karena krisis likuiditas atau ketiadaan dana cash.
Menurut Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu (https://djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=apa-yang-dimaksud-dengan-defisit-apbd-dan-bagaimana-tindak-lanjutnya)
Defisit APBD merupakan selisih kurang antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah pada tahun anggaran yang sama. Defisit terjadi bila jumlah pendapatan lebih kecil daripada jumlah belanja.
Terang benderang penjelasan dari Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu tersebut. Artinya, mereka yang nekat men-defisit-kan keuangan daerah, apakah dapat dikatakan “sok kaya meski kantong kosong?”
Atau, malu dibilang “miskin,” gengsi dikatakan “tak beruang.” Maaf, tahun 1970-an, orang semacam ini termasuk dalam kelompok Bimas (biar mati asal stan).
Hari ini, Kabupaten Aceh Tengah menghadapi krisis likuiditas cukup parah akibat defisit. Angkanya fantastis. Pertanyaan dalam Debat Publik Pilkada selasa lalu, tercetus angka defisit riel Rp 119,4 milyar rupiah (2022) dan Rp 85,89 milyar rupiah (2023).
Darimana sumber dana untuk menutup defisit atau kekurangan uang sejumlah itu?
Bingung kan. Sementara tagihan rekanan terus menumpuk atas proyek dan kegiatan yang sudah selesai dikerjakan. Untung saja rekanan di daerah ini tergolong baik, tidak menuntut Pemda karena wanprestasi.
Anehnya, beberapa Calon Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah (mungkin karena belum paham siklus anggaran) menjawab pertanyaan tentang defisit dengan enteng.
Dan pendengar yang juga tidak paham tentang defisit, tersihir oleh jawaban atau tawaran “angin surga” dari para cabup/cawabup.
“Berkolaborasi dengan beberapa partai politik untuk mencari anggaran dari pusat dan provinsi,” kata salah seorang Calon Bupati Aceh Tengah.
Ditambah lagi oleh seorang cawabup, “apa yang tidak ada, itu yang akan kita cari dimana ada sumber pendapatan lainnya mulai dari provinsi, sampai ke pusat dan kementerian.”
Terbukti kan, sebegitu tidak pahamnya mereka tentang struktur keuangan daerah. Padahal Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu sudah menulis dengan terang benderang di website mereka. Apa yang tertulis disana?
“Dalam hal APBD mengalami defisit, tidak ada pendanaan khusus yang disalurkan dari APBN kepada daerah untuk menutup defisit tersebut.”
Anehnya, audien malah bertepuk tangan ketika cabup dan cawabup tadi mengatakan akan mencari dana ke pusat untuk menalangi defisit.
Padahal audien mentah-mentah “dilotos” ditengah-tengah acara resmi, eh malah yang “dilotos” memberi applaus untuk para “pelotos.”
Supaya semua paham, begini cara mengatasi defisit yang ditawarkan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu :
“Apabila APBD mengalami defisit, defisit tersebut dapat dibiayai dengan penerimaan pembiayaan, termasuk dalam penerimaan pembiayaan tersebut misalnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. SiLPA merupakan dana milik daerah yang bersangkutan, sehingga tidak menimbulkan risiko fiskal seperti halnya pinjaman.”
Dari panduan diatas, adakan tertulis “hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan?” Makanya melelang atau menjual kekayaan daerah dapat menjadi salah satu solusi mengatasi defisit.
Artinya, tidak ada yang salah dengan pernyataan Bardan Sahidi dalam video yang beredar akhir-akhir ini. Dapat dipastikan, Bardan sudah mempelajari panduan yang ditulis oleh Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu tersebut.
Sementara cabup atau cawabup yang lain tertinggal selangkah. Atau, luput membaca panduan tersebut sehingga bersikeras mencari dana penutup defisit ke pemerintah pusat. Mohon jangan ditertawakan, kalau senyum dipersilahkan. []