Oleh. Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Pendahuluan
Shalat mempunyai posisi yang sangat penting di dalam Islam, yaitu menjadi rukun Islam yang kedua setelah mengucap dua kalimah shahadat.
Jadi posisinya berada di bawah rukun iman. Shalat juga menjadi tiang agama, ini disebutkan di dalam hadis Nabi :
الصلاة عماد الدين
Kalau kita buat sebuah ilustrasi keberagamaan sebagai sebuah bangunan, tempat berdirinya bangunan adalah tauhid (lahan), di atas tauhid terpasang aqidah (fondasi).
Setelah fondasi selanjutnya pastilah didirikan tiang (shalat). Itulah posisi atau pentingnya shalat dalam sebuah bangunan agama.
Selanjutnya shalat merupakan amalan yang paling utama dibanding semua amalan, baik itu amalan ibadah, mu’amalah dan lain-lain, baik perbuatan masyarakat tradisional ataupun aktivitas masyarakat modern.
Bukti utamanya amalan shalat adalah karena amalan yang paling pertama dihisab pada hari qiamat.
أول ما يحاسب الصلاة
Amalan yang paling pertama dihisab pada hari qiamat adalah shalat.
Perbuatan shalat dikatakan shah sebagai suatu perbuatan apabila perbuatan tersebut mempunyai sebab seuingga shalat tersebut menjadi musabab bih (akibat).
Artinya shalat tersebut harus dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan, bila dilakukan di luar waktu maka shalat tersebut tidak dapat dikatakan sebagai shalat.
Selanjutnya juga shalat harus mempunya syarat, di antara syaratnya adalah melaksanakan wudhuk dengan niat dan membasuh serta menyapu anggota-anggota badan yang telah ditentukan.
Bila syarat tidak dipenuhi maka shalat yang dilakukan juga tidak dianggap sebagai perbuatan shalat.
Fatihah Dalam Shalat
Selain harus mempunyai sebab dan syarat-syarat, inti dari shalat adalah rukun. Ruku adalah mahiyah (esensi) dari shalat yang didefinisikan oleh ulama dengan suatu perbuafan yang didahului oleh taknir dan disudahi dengan salan dan diselangi dengan gerakan dan bacaan yang telah ditentukan, sebagian ulama mengatakan rukun dari shalat 13, ada juga 16.
Artinya ada rukun yang disepakati dan rukun yang perselisihkan, dalam tulisan ini penulis hendak memfokuskan pada bacaan al-fatihah. Pembahasan ini sangat penting untuk diketahui oleh semua orang yang melakukan shalat.
Allah berfirman di dalam al-Quran surat al-muzammil ayat 20
…فاقرؤا ما تيسر من القرآن
Artinya : Bacalah apa yang mudah dari al-Quran
Ayat ini dipahami oleh ulama dan dijadikan sebagai dalil bahwa membaca surat (ayat) adalah wajib dalam setiap shalat, apakah shatal itu shalat wajib atau juga shalat sunat termasuk shalat janazah.
Namun karena ayat tersebut memberi petunjuk sangat umum tidak menentukan surat atau ayat apa yang harus dibaca, maka ulama dengan menggunakan kaedah “setiap lafazh yang mempunyai makna umum harus dicari kekhususannya”.
Kemudian untuk mencarinya makna khususnya tidaklah sembarangan atau sekehendak kita tetapi harus memakai aturan sesuai kaedah makna khususnya, yaitu mencarinya di dalam al-Quran selanjutnya bila tidak ditemukan barulah mencarinya di dalam hadis Nabi, tetapi juga bila tidak ditemukan barulah didasarkan kemampuan ijtihad ulama.
Untuk ayat di atas pera Fuqaha menyepakati ayat tersebut di khususkan dengan hadis nabi, adapaun hadisnya adalah :
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
Artinya ; Tidak shah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.
Jadi jelas bahwa penghususan ayat tersebut di atas adalah hadis ini. Karena itu jelas bahwa setiap shalat wajib membaca al-fatihah dan bila tidak membacanya maka shalatnya tidak shah.
Namun demikian terjadi juga perbedaan pendapat dikalangan Fuqaha kendati mereka menyatakan wajib membaca fatihah.
Imam Hanafi tidak menetapkan membaca fatihah secara ketat karena kewajiban tersebut ditetapkan oleh hadis nabi, sedangkan ketetapan membaca ayat ditetapkan oleh al-Quran.
Maka menurut Imam Hanafi membaca fatihah tetap wajib, namun juga tetap mengutamakan ayat al-Quran secara umum, karena menurut beliau kalau mengharuskan fatihah berarti kita telah menetapkan hukum melebihi àl-Quran.
Sedangkan menurut mazhab al-Syafi’i yang dimaksudkan dalam keumuman ayat tersebut adalah kekhususan membaca fatihah, maka yang dimaksudkan tetap membaca surat al-fatihah dan tidak membolehkan surat yang lain.
Karena itulah maka setiap kita shalat setelah berniat/takbir, membaca doa iftitah selanjutnya membaca surat al-fatihah.
Ketika seseorang shalatnya munfarid (sendir), maka bacaan fatihah tidaklah susah karena dapat melaksanakannya dengan urutan atau tertib rukun (takbir sembari niat terus membaca fatihah, ruku’, dan seterusnya).
Tetapi ketika shalatnya jamaah bagi imam juga tidak masalah sebagaimana shalat sendiri, namun bagi makmum yang wajib membaca fatihah dan tidak boleh tidak karena rukun tentu sulit menemukan tempat kapan membaca fatihah.
Sebenarnya boleh kapanpun asal sebelum ruku’, tetapi para fuqaha memahami Q.S. al-a’raf ayat 204
!ذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون
Artinya : Apabila al-Quran dibacakan dengarkanlah dan diamlah agar kamu dirahmati
Ayat ini dijadikan dalil atau alasan kalau imam sedang membaca ayat maka makmum harus diam dam memperhatikan bacaan imam, artinya makmum tidak boleh membaca ayat bersamaan dengan imam, dan kalau makmum mau membaca al-fatihah maka carilah waktu imam diam.
Sebagai makmum biasanya kita membaca al-fatihah ketika selesai membaca aamiim bersama antara imam dan makmum, setelah itu makmum membaca fatihah dan kalau tidak selesai sedangkan imam membaca surat sebagai sani, maka makmum melanjutkan bacaan fatihahnya sebelum ruku’ walaupun imam telah ruku’, i’tidal dan sujud (makmum boleh tertinggal dengan imam untuk tiga sampai lima gerakan.
Begutulah pentingnya bacaan imam, karena hadis tersebut di atas menyebutkan kalau shalat tidak membaca fatihah maka shalatnya tidak shah.
Bagi imam yang memahami hukum bacaan fatihah dalam shalat utamanya bagi makmum maka pastinya memberi kesempatan kepada makmum untuk membaca fatihah tersebut, untuk selanjutnya imam membaca ayat sebagai sani dan makmum mendengar dan diam.
Namun terkadang karena kebiasaan (bukan karena ilmu) imam begitu selesai membaca aamiin setelah fatihah langsung membaca sani selanjutnya ruku’, i’tidal dan sujud dan makmum juga ikut, akhirnya tidak membaca al-fatihah atau membaca fatihah sekalian imam membaca sani, dan akhirnya bertentangan dengan dalil ayat yang digunakan fuqaha.
Dan akhirnya mencari dalil lain bahwa bacaan imam adalah bacaan makmum, sedangkan dalam pola pemahaman mereka tidak menganut kaedah tersebut.
*Ka. Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH), Fak. Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh