[Cerpen] Senangnya Hati Berbahasa Gayo
Abdul Malik*
Tawarati berusia 12 tahun, dia berparas cantik dengan rambut hitam yang panjangnya sampai ke pinggang. Pandangan matanya teduh mampu membuat hati yang melihatnya tentram damai. Walau penuh pesona, sempurna secara fisik dia juga berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya.
Ada yang spesial dari Tawarati, orangnya baik, tidak sombong, berpenampilan sederhana serta sangat senang menggunakan bahasa Gayo.
Sementara gadis seusia dia yang masih duduk di kelas VIII SMP biasanya enggan menggunakan bahasa Gayo dalam kesehariannya. Beda dengan Tawarati yang bangga dan sangat memahami bahasa serta seluk-beluk budaya dari leluhurnya.
Sementara kalau ditelusuri dari darah yang mengalir di tubuh Tarawati dia merupakan perbaduan dua budaya.
Ibunya berasal dari Kabupaten Gayo Lues dan bapaknya berasal dari Kabupaten Abdya. Kalau pulang ke kampung bapaknya melalui jalan Terangon.
***
“Tarawati, kau janganlah selalu berbahasa Gayo jika bicara. Kami kurang mengerti apa yang kau ucapkan”, seru Intan teman sekelas Tarawati.
Erna juga menimpali ucapan kawannya
“Iya, nih Tarawati kurang gaul. Penampilan oke, wajah ayu, uang banyak, dan cerdas lagi. Sayangnya di sekolah ini sepertinya cuma dia yang udik”
“Kadang Tarawati tidak bisa berbahasa Indonesia, ya, Erna? Heran aku sama dia”
Saling sahut-sahutan teman-teman sekelasnya Tarawati. Membuat dia menanggis di pojok kelasnya.
Ibu Farida wali kelas masuk ke kelas VIII.1. Dia sedang memeriksa taman kelas, betapa terkejutnya dia mendengar suara tangis dan bentakan dari peserta didiknya membahana sampai ke luar ruangan kelas.
Dengan marah dia menghardik peserta didiknya
“Hai ada apa? Ibu tidak mau ada pembulian di kelas ini dan di sekolah kita!”
Terus ibu Farida membangunkan Tarawati yang masih menangis terseduh-seduh sampai terduduk di lantai pojok kelas.
“Kenapa kamu sampai seperti ini?”, tanya ibu Farida keheranan.
Masih terisak tangis Tarawati menceritakan tentang apa yang dialaminya.
“Saya tidak sanggup mendengar ocehan kawan-kawan. Tanpa sengaja saya sampai terjatuh dari kursi dan terduduk di lantai ini, bu”
“Anakku, sudah jangan lagi bersikap seperti ini!
Apa kalian tidak punya hati?
Apa salahnya Tarawati jika dia berbahasa Gayo di sekolah?
Ibu perhatikan tindakan kawan kalian baru sekitar beberapa bulan saja. Selama ini dia tidak berbahasa Gayo di sekolah”
Lanjut ibu Farida.
“Ada apa denganmu Tawarati?”
“Saya prihatin bu dengan bahasa kita. Jarang sekali saya mendengar bahasa Gayo di sekolah dan di rumah. Sangat berbeda dengan kampung bapak. Kami pulang kampung di sana saya mendengar bahasa daerah bapak begitu kental sekali. Maka dari itu kami sekeluarga bertekat untuk melakukan pembiasaan berbahasa Gayo dalam kehidupan kami sehari-hari”, jelas Tawarati dengan semangat.
Ibu Farida menepuk-nepuk pundak Tawarati, dia menangis terharu mendengar penjelasan peserta didiknya.
“Alhamdulillah, luar biasa pemikiran keluarga Tawarati. Kita harus mencontohnya. Betul untuk bisa berbahasa Gayo jadi harus dibiasakan sejak dini di segala lini kehidupan kita.
Berbahasa Gayo bukan berarti udik dan bukan berarti dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Ngertikah kamu Intan dan Erna? Tindakan kalian ini sudah menunjukkan kebodohan yang memalukan sekali. Bahasa Gayo menjadi asing di buminya sendiri! Malu kita, nak!”
“Tarawati maafin teman-temanmu. Mereka sedang merugi, tetapi belum menyadarinya. Punah kadang dulu bahasa Gayo barulah mereka menyesalinya. Padahal leluhur kita sangat tinggi sekali pemikiran dan peradabannya. Bahasa Gayo harus kita lestarikan!”
“Baik, bu”, jawab Tarawati sembari menyalami tangan wali kelasnya.
Seketika itu kawan-kawan yang semula mengejek Tarawati, kini mereka merangkul dan memeluk Tarawati.
“Maafkan kami, ya Tarawati. Benar apa kata guru kita, bahwa kami sedang merugi. Kami tidak mau larut dalam kerugian itu. Mari sama-sama kita memulai berhabasa Gayo dalam kehidupan sehari-hari. Ajarin kami, ya.”
“Oke teman-teman. Makasih”, jawab Tarawati dengan wajah ceria.
***
Seminggu berlalu, pada hari ini keluar jadwal pelajaran bahasa Gayo. Teman-teman Tawarati, Intan dan Erna sangat bersungguh-sungguh mengikuti pelajaran ini. Mereka membuat buku saku, dalam buku ini mereka mencatat suku kata yang baru mereka dapat dari gurunya juga menulis kosa kata yang sudah asing terdengar di masyarakat.
Setiap pelajaran bahasa Gayo, Tawarati selalu bertanya kepada gurunya. Guru ini tidak pernah bosan menjawab pertanyaan dari Tawarati. Antusiasnya Tawarati ini terbawa dalam semua buku yang dibacanya.
Dia sering bertanya sama guru Bahasa Gayo tentang kosa kata yang menarik di hatinya. Dia juga mulai mendalami puisi berbahasa Gayo.
Pada lomba puisi berbahasa Gayo dibuat oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh, Tawarati meraih prestasi juara 1 tingkat Provinsi Aceh. Dia sangat bahagia sekali dan akan bersiap-siap untuk tampil membaca puisi di Taman Ismail Marzuki. Kota Jakarta menunggu kedatangan Tawarati.[SY]
*Abdul Malik, adalah siswa Kelas IX SMP 1 Ata Kendawi Kecamatan Dabun Gelang, Kabupaten Gayo Lues. Bercita-cita menjadi guru mengaji dan memiliki hobi mengaji Al-Qur’an.