(Tanggapan atas buku; Sejarah dan Eksistensi Pang Kilet Dalam Mempertahankan Benteng Kerajaan Linge)
Oleh : Fauzan Azima*
Tahapan pengenalan diri diibaratkan seperti menenun bahan kain. Terciptanya diri sebenar diri kalau diurai terbagi tiga fase; pertama, “diri terdiri” masih berbentuk kapas, kemudian fase kedua, “diri terperi” kapas dipintal menjadi benang, lalu ketiga, “diri terpari” setelah menjadi benang disulam menjadi kain.
Demikian salah satu pengajaran nenek moyang kita zaman dahulu dengan apik mengajarkan kepada zuriatnya untuk mengenal diri sehingga semakin sempurna kemanusiannya. Baik diturunkan lewat DNA maupun silsilah keguruan tentang tauhid (tahu diri).
Kemudian orang tua kala itu, dari “diri terpari” meneruskan pengajarannya “Arisi uweten kone ko iparin, Arisi asalmu kone ko iulaken (dari mana asalmu, kepadanya kamu kembali dan siapa yang menjadikanmu kepadanya kamu mengabdi).” Itulah dasarnya kita mengabdi kepada orang tua dan menyembah kepada Tuhan Maha Pencipta.
Manusia lahir dari percampuran Ibu Bapak, maka kepadanya dia berbakti. Tuhan menciptakan manusia, maka kepada-Nya dia mengabdi. Manusia diciptakan dari tanah, maka setelah mati dikubur dalam tanah dan tubuhnya lebur menjadi tanah.
Setelah agama Islam masuk ke negeri kita dan Al-Qur’an sebagai petunjuk nyata tentang asal usul diri. Surat Al-Baqarah ayat pertama, berbunyi “Alif lam mim” di dalam bahasa Arab dan bahasa manapun tidak ada artinya, bahkan terjemahan Kementerian Agama RI, “Hanya Allah yang mengetahui.”
Ternyata di dalam bahasa Aceh bermakna “Alif di dalam Mim” dan jawaban dalam kontemplasi “Allah di dalam Muhammad.” Itu artinya dalam kajian tasauf, manusia adalah representasi dari alam semesta dan Allah Subhanahu wata’ala.
Secara kasat mata, pada bagian tubuh manusia ada bentuk tulisan “Allah”. Misalnya pada daun telinga, bentuk lubang hidung, guratan pada kedua mata, pada pangkal rongga mulut dan jari tangan. Apabila ujung ibu jari dan ujung jari telunjuk disatukan akan tersusun huruf “alif, lam, lam, ha” dibaca “Allah.”
Manusia hanya seonggok tulang dan daging tanpa keterwakilan Tuhan dalam dirinya. Manusia yang sempurna iman, Islam dan ihsannya adalah yang mampu mengelola hayyun (hidup), samiun (mendengar), bashirun ( melihat) , mutakallimun (berkata-kata), alimun (berilmu), muridun (berkehendak) dan qadirun (berkuasa) sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.
Ayat yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, “Iqro’” artinya “baca,” yang pemaknaannya belum sempurna, kalau sekedar diartikan “baca” tetapi begitu kita coba ramu dalam bahasa Inggris, menjadi “IQ rotation” atau “putar otak” lebih sesuai karena kemudian banyak ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berfikir.
Nenek moyang kita dulu juga menyimpan rahasia ilmu diri dalam mantra cinta, “Zi wakdi ma’ni ma’nikem, ma’nikem merah ari bapak mu, ma’nikem putih ari ibu mu, bulumu, kulitmu, dagingmu, uratmu, darahmu, tulangmu, sumsummu, hatimu dan perasaanmu tunduk kepadaku berkat kalimah Lailahaillallah.”
Mantra cinta yang mengulik asal kejadian manusia secara fisik, kemudian sang pelantun mantera menguasai targetnya dan menguasai roh, arwah dan semangatnya untuk tunduk dan patuh kepada dirinya sebagaimana makhluk wajib patuh kepada Sang Khalik.
Sayangnya belum sempat kita membuka kotak pandora “Man arafa nafsahu faqad arofa Rabbahu (Siapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya)” ngaji diri dari sejarah hidup Shaikh Murahim bin Yasara atau populer dengan sebutan Pang Kilet, makamnya sudah ditenggelamkan. Meskipun segelintir oknum berbuat seolah memindahkan.
Sebenarnya menenggelamkan makam Pang Kilet dan orang-orang Gayo yang dikubur bersamanya sama saja menutup atau mengubur ketahuan diri. Sehingga wajar saja, orang-orang Gayo sekarang menjadi rendah diri sebab tidak tahu derajat diri, akhirnya tidak punya harga diri.
Hakikat ziarah adalah untuk mengetahui sejarah. Pang Kilet adalah perjalanan diri kita untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Pang Kilet adalah seorang dari sekian banyak tokoh Gayo yang merupakan “ayat takhiriyah” untuk mengenal diri.
Pang Kilet telah mencapai kekuatan spritual pada zamannya karena telah mencapai maqom tahu diri. Tapi, sekali lagi sayang seribu kali sayang, belum sempat para zuriat dan orang-orang Gayo faham tentang diri dari petunjuk sejarah perjalanan Pang Kilet, segelintir oknum telah menenggelamkannya.
Pada masanya, percayalah para oknum itu akan mati dalam penyesalan tanpa berkesudahan. Seperti kata Tengku Irwansyah, cepat atau lambat kutukan bagi oknum yang dengan dalih memindahkan, tapi sebenarnya menenggelamkan, pasti terjadi.
Orang Gayo wajib membaca buku yang terdiri dari 203 halaman yang berjudul Sejarah dan Eksistensi Pang Kilet Dalam Mempertahankan Benteng Kerajaan Linge karya Saudara Azman S.S, MA dan Yusradi Al-Gayoni sebagai Editor yang diterbitkan Mahara Publishing Jakarta.
Buku tersebut bukan saja berisi pengetahuan baru tentang sejarah gemilang nenek moyang orang Gayo zaman dahulu, tetapi juga berisi upaya sebagian pihak untuk menghapus jejak sejarah Gayo di masa lampau. Sehingga dengan membaca buku Pang Kilet akan timbul rasa ingin tahu sejarah nenek moyang kita yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku.
Saudara Azman sendiri sebagai penulis buku Pang Kilet tentu sudah “dirasuki” semangat “rohnya.” Dengan itu Saudara Azman punya kekuatan untuk menyelesaikan buku Pang Kilet di tengah keterbatasan informasi, kecuali hanya silsilah delapan generasi sebagai petunjuk awal.
Dengan terbitnya buku Pang Kilet, menurut Yusradi Al-Gayoni yang sedang melakukan study di London, Inggris bahwa biografi orang Gayo yang baru terdokumentasi dalam bentuk buku berjumlah 29 orang.
Besar harapan, para penulis untuk segera mendokumentasikan tokoh-tokoh Gayo generasi lampau dan sekarang dalam bentuk buku biografi sebagai ingatan dan ilmu pengetahuan bagi generasi muda hari ini dan pada kemudian hari kelak. Kita tidak pernah akan kehabisan tokoh. Percayalah setiap tokoh adalah kunci untuk membuka rahasia diri.
(Mendale, September 29, 2024)