Catatan Redaksi*
Jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki di Gayo, pada tahun 1877, Kruijt, mencatat bahwa urang Gayo telah berdagang di pantai Utara Aceh, namun dia tidak menemukan kopi dalam barang dagangan mereka.
Waktu terus berputar, dan dua dekade kemudian, tahun 1901, kopi mulai mengisi perjalanan dagang mereka ke Susoh, Aceh Selatan. Tapi itu bukan kopi arabika.
Sejarah berubah ketika Veenhuyzen, seorang petani Eropa yang datang dari Tebing Tinggi pada 1924, mencoba menanam kopi arabika. Lima tahun berselang, kebunnya yang hanya tiga hektar di Paya Tumpi menghasilkan delapan ton kopi.
Pilihan Redaksi : Veenhuyzen dan Kebun Kopi Arabika Pertama di Gayo
Keberhasilan ini tidak luput dari pandangan K.Th. Beets, Asisten Residen Takengon. Dengan semangat, ia mengusulkan pembukaan perkebunan kopi di Gayo.
Tapi, studi kelayakan oleh Dr. Rugrets (ahli botani) mematahkan harapan Beets. Katanya, kopi arabika tidak cocok dikelola oleh perusahaan dalam skala besar. Usulan Beets pun kandas.
Ada saat-saat di mana sejarah diuntungkan oleh kegagalan. Bayangkan jika saat itu pemerintah Hindia Belanda menurunkan anggaran, dua perusahaan besar mungkin akan menguasai tanah Gayo: satu untuk pinus, satu untuk kopi.
Tapi sejarah berkata lain. Lahan tetap berada di tangan petani Gayo, dan dari tanah itulah, mereka belajar menjadi tuan atas kopi mereka sendiri.
Tahun 1986, Pemprov Aceh menerbitkan Perda No 12/1986. Dalam kebijakan ini Koperasi Petani Intan Pase menjadi bagian untuk mengokohkan kopi Gayo.
Lembaga ini menjadi sekolah bagi pemuda Gayo untuk “belajar” kopi, bukan hanya sebagai petani, tetapi juga pedagang, bahkan eksportir.
Kini, para alumninya mendirikan perusahaan eksportir yang memicu berbagai perusahaan eksportir lainnya.
Harga kopi arabika Gayo naik melampaui harga kopi sejenis di internasional. Kopi Gayo mendapat pengakuan varietas unggul, Gayo 1 dan Gayo 2. Pengolahan pasca-panen pun berubah.
Jika dulu kita sering melihat bahu jalan penuh dengan kopi yang dijemur, kini jarang kita temui. Mesin pemipil kopi (gower) yang dulu begitu penting, kini hanya tinggal gambar dalam foto-foto usang.
Sejarah mencatat, kopi Gayo berdaulat di tanahnya sendiri. Petani, pedagang, hingga eksportirnya—semuanya urang Gayo. Bahkan asosiasi kopi terbesar, seperti AEKI, dikendalikan oleh tangan-tangan urang Gayo. Kopi ini bukan hanya menjadi komoditas, tetapi juga lambang kedaulatan.
Kebijakan di masa kolonial memberi mereka kemerdekaan, sementara kebijakan tahun 1986 membuat kopi Gayo benar-benar “berdaulat di tanah sendiri.”
Namun, di balik kisah sukses, ada tantangan yang mengintai. Pertama, kepemilikan lahan semakin sempit.
Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, lahan yang bisa dimiliki masyarakat hanya seperlima dari luas wilayah.
Jika lahan yang dapat dimiliki itu dibagi dengan jumlah KK, maka setiap KK hanya kebagian 0,8 ha saja, setelah dikurangi dengan luas danau, lapangan bola, dan sarana-prasarana umum.
Pertambahan penduduk hanya akan mempersempit ruang yang ada, sehingga dalam beberapa dekade ke depan, lahan kopi mungkin akan berubah menjadi tapak rumah dan pemukiman.
Kedua, generasi muda mulai meninggalkan kopi. Data sensus 2023 menunjukkan hanya petani yang berusia dibawah 40 tahun hanya 39% di Aceh Tengah dan 31% di Bener Meriah. Tanpa generasi penerus, kopi Gayo hanya sebuah kisah bagi anak cucu.
Ketiga, perubahan iklim mulai menurunkan kualitas kopi. Hama yang dulu hanya ditemukan di dataran rendah kini merambat ke ketinggian.
Kopi Gayo, yang dulu menjadi cerita sukses, kini terancam oleh kerusakan lingkungan. Menurut data AEKI, jumlah kopi Gayo yang diekspor semakin menyusut dari tahun ke tahun, bahkan ada pedagang yang mengeluhkan dari 37 bambu kopi yang dibelinya, 10 bambu mengapung atau biasa mereka sebut pesel (Pesot Semelah).
Pertanyaan yang menggantung di udara adalah: apakah pemimpin daerah yang terpilih nanti akan mampu melahirkan kebijakan yang mengangkat martabat urang Gayo, atau justru mempercepat kemerosotannya?
Pilihannya ada dua: memilih pemimpin dengan visi yang nyata, atau memilih mereka yang membeli suara rakyat sebagai barang dagangan.
Jika yang terpilih adalah mereka yang membeli suara rakyat, apa kemungkinan yang mereka dapat untuk menganti modal?
Mari kita coba menakar apa saja yang mereka beli. Contoh kasus Aceh Tengah. Jumlah pemilih sekitar 150 ribu orang, dengan 5 paslon, agar dikatakan menang butuh suara sekitar 40 – 50 ribu suara.
Jumlah TPS gampangnya hitung saja 500 TPS. Jika satu suara dibeli seharga Rp. 300 ribu dan upah saksi Rp. 100 ribu/TPS setidaknya dibutuhkan 13-16 M, tambah alat peraga dan lain-lain kemungkinan biaya yang diperlukan sekitar 30 – 50 M.
Ini artinya dalam 5 tahun harus ada pengembalian modal pertahun antara 6 sampai 10 M/tahun. Jika angka ini adalah fee proyek 10% tiap tahun artinya diperlukan APBD 600 M s/d 1 T.
Padahal rata-rata APBD selama ini sekitar 1 T saja, itupun sudah masuk belanja pegawai yang lebih dari 60% APBD.
Agaknya APBD tidak mampu menganti harga suara, lantas apa peluang berikutnya yang dapat “diolah”? Kemungkinan sasaran berikutnya adalah adalah transaksi jabatan, untuk menjadi kadis, kabid atau sogokan untuk pindah dari pedalam ke kota, gampangnya kita sebut saja dari “Kadus sampai Kadis” bisa saja semua bayar.
Jika ini nantinya akan diwujudkan oleh bupati yang membeli suara, dapat dipastikan tidak akan ada lagi kebijakan yang membuat urang Gayo Berdaulat ditanahnya sendiri. Stop Money Politik. Waulah hu’alam bisawab. []