Oleh: Darmawansyah*
Pagi itu, rintik hujan membasahi bumi, reduk awan membentang menutupi selaput langit yang ingin memunculkan cahaya mentari untuk menghangatkan bumi.
Hujan menghalangi hingga waktu pun reda, mentari mulai menunjukkan diri, awan pun menyingkir mencari tempat lain untuk menurunkan hujan membasahi bumi di mana retak takdir telah menentukannya sebagai pembawa kabar gembira bagi petani.
Pagi itu, Jungkir, Tipak dan Tergem menempati ruang peristirahatan semalaman menikmati hidangan majikan yang sangat menyehatkan. Ampas tahu, usok panguh dan masih banyak model makanan kesenangan peningkat gairah dan kesehatan ala majikan penikmat dan pecinta hewan pacuan.
Pagi itu, mata Jungkir, Tipak dan Tergem mengawasi ruang cakrawala menikmati rintihan hujan menghantam atap kandang mengalunkan nada penikmat senyap penghantar istirahat yang menyenangkan.
Alunan nada dan suara mengayun membawa-bawa jiwa melemaskan raga, ingin kiranya tubuh istihat. Namun, jiwa meronta ‘aku bukan pecundang dan pemalas, tak mungkin raga yang gagah ini berlagak malas dan menjadi seekor kuda cibiran para kesatria arena’.
Lompat, zigzag, duduk dan berdiri dilakukan Jungkir, Tipak dan Tergem untuk menungggu mentari menyinari bumi.
Hingga waktu ditunggu pun tiba, mentari mulai menyampaikan salamnya menyapa bumi yang dingin karena hujan telah menyirami dan memberi kenikmatan bagi rerumputan yang telah sebulan tak kunjung disirami.
Pucuk dedaunan mulai menunjukkan diri, gulungan-gulungan kecil mulai mengintip menikmati indahnya dunia nyata yang terbayang hanya dalam mimpi. Hijauan terbentang menghampar di padang gembalaan.
Lirik mata menyatu mengarah satu dalam jiwa kehewanan Jungkir, Tipak dan Tergem untuk menambah selera perut penikmat raga yang telah menjadi satu.
Ringkikan suara mulai menggema, memanggil sang majikan untuk segera membuka pintu kandang dan membiarkan mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dua tujuan, yakni menikmati indahnya masa depan yang masih terbentang dan rerumputan yang tumbuh memanggil selera makan yang sebulan ini telah mereka impikan.
Bersatu dalam kata, itulah moto Jungkir, Tipak dan Tergem dalam mengarungi kehidupannya sebagai kuda pacuan yang setiap ajang kontestasi mereka ikuti.
Kuda kampung yang tak kalah gagah dalam kontestasi lokal mencuatkan nama mereka dalam setiap arena. Dua kali keliling, sudah mereka lakoni dalam setiap kontes kecepatan lari sesama peserta dan menjadikan mereka kuda tercepat dan meraih juara.
Jungkir, Tipak dan Tergem merupakan kuda pacuan dari asal indukan yang berbeda, walaupun mereka beda dari segi warna dan asal keturunan namun mereka tetap satu saudara, yakni saudara sesama kuda arena dan dimiliki oleh satu majikan yang sama.
Mereka saling sapa dan bersaing sportif dalam arena dan menjadikan mereka kuda yang terus meraih juara dalam setiap episode kontestasi pacuan kuda lokal di wilayahnya.
Pagi itu, percakapan pun mulai terlontar dari Tergem;
“Woi, bagaimana kondisi kalian, sehat kah?”
“Sedikit lelah, men!”, jawab Jungkir.
Dengan semangat Tipak menyentil percakapan mereka : “Mungkinkah, bukankah kemarin kamu cukup semangat dalam berlatih dan tadi malampun saya melihat kamu sangat bersemangat dengan hidangan yang diberikan majikan kita. Atau karena kuda coklat yang melintas di arena kemarin yang membawa pikiran kamu, dan membuat ragamu letih dan lesu? ayolah kawan! mari semangatkan raga kita pagi ini”.
“Bukan, bukan itu” jawab Jungkir
“Aku hanya berpikir tentang kita kawan, tentang masa depan kita”
“Apa maksud kamu Jungkir?”, sela Tergem
“Dua hari yang lalu, aku mendengar kabar dari teman-teman majikan kita yang katannya akan ada pertandingan tingkat tinggi yang diadakan di wilayah kita ini”
“Kan mantap itu Kir, kita bisa tunjukkan kehebatan kita di arena nantinya”, sela Tipak
“Bukan begitu pak! yang menjadi pikiran saya adalah bolehkah kita ikut dalam kontes tersebut atau hanya mereka yang datang saja yang akan bertanding nantinya! Soalnya, ada kabar yang diperoleh dari pihak lain bahwa yang akan bertanding adalah kuda-kuda dengan postur Jangkur dan sesuai dengan spek pertandingan nantinya”.
“Maksudmu kuda-kuda bule itu Kir?”, sela Tergem
“Iya, seperti itulah kiranya”
“Itu masih isu, jangan dipercaya, kan belum terjadi, sekarang mari kita nikmati hidangan yang telah dianugrahkan Allah kepada makhluknya ini”, kata Tipak.
Waktu pun terus berjalan Jungkir, Tipak dan Tergem pun menikmati hidangan yang telah dibentangkan tersebut, hingga sore menjelang. Kembali ke kandang, itulah rutinitas pejuang arena ketika tidak ada jadwal latihan yang mendesak.
Hari pun terus berganti, hingga tiba masanya, Jungkir, Tipak dan Tergem mulai cemas.
Lapangan pacuan yang mereka saksikan telah dibangun dengan bentuk yang berbeda dengan yang sering mereka lalui. Mereka juga tidak diperkenankan untuk hadir hanya sekedar latihan berlari dengan alasan belum selesai direnovasi.
Tipak mulai menyadari dan melihat kondisi yang sudah mulai aneh baginya, dan mulai bertanya dalam hatinya.
“Apakah ini yang dikatakan oleh Jungkir beberapa bulan yang lalu?”.
Dari kejauhan mata mereka mulai memperhatikan kondisi arena yang selama ini mereka gunakan sudah mulai berubah dan tertata dengan rapi serta mulai terlihat indah dan megah.
Satu persatu kuda pacuan pun diturunkan dari mobil angkutan menuju kandang-kandang yang telah dipersiapkan, tak tampak satupun di mata mereka postur kuda yang sesuai dengan postur mereka.
Mereka meyakini bahwa ini bukan barang lokal, namun kuda luar yang telah diadopsi penduduk lokal. Postur mereka tinggi, gagah dan menarik mata yang memandang, namun sadarkah mereka bahwa itu bukan barang asli lokal?
Jungkir, Tipak dan Tergem mulai menganyunkan pikiran mereka “Katanya ini adalah ajang kontestasi tingkat tinggi dalam negeri, namun yang di pakai adalah kuda pilihan yang didatangkan dari luar negeri! Bukankah negeri ini juga memiliki barang lokal yang dapat dipertunjukkan untuk mengukur sejauh mana kemampuan anak-anak negeri dalam meraih prestasi?
Bagaimana dengan anak-anak negeri yang tumbuh di lahan padang gurun di bawah pinus mercuri yang hanya muncul diajang lokal setahun tiga atau empat kali dan kembali ke kandang menjalani rutinitas sehari-hari?”
Inikah nasip kuda lokal yang hanya melihat daerah sendiri dan tak mampu atau memang tidak diperbolehkan untuk melihat dan menjejaki tanah lain di wilayah negara tercinta ini.
Beginilah nasipmu Jungkir, Tipak dan Tergem, penikmatmu adalah awa-awan, tetue lelang, dan pemuda kampung yang hanya mampu berjalan dua atau tiga kabupaten dalam provinsi.
Lesu hati Jungkir, Tipak dan Tergem, mereka balik badan dan menuju kandang untuk berharap kapan waktunya mereka akan bisa ikut kontestasi tingkat tinggi seperti yang diadakan tahun ini di tanah kelahiran mereka dan tanah kehidupan mereka saat ini? [SY]
*Penulis adalah Kaur TU pada MTsN 7 Aceh Tengah