Oleh. Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Masyarakat Gayo yang tinggal di bagian tengah Aceh (Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, termasuk di sebagian Aceh Timur, dan Tamiang) menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yaitu menarik garis keturunan laki-laki (ayah) dan menganut sistem perkawinan eksogami, yaitu perkawinan tidak boleh terjadi dalam satu belah atau harus menikah dengan belah lain.
Masyarakat patrilineal eksogami apabila menikah maka perempuan atau istri akan tinggal dalam lingkungan keluarga suami dan menjadi bagian dari belah suami, istri tidak mempunyai kebebasan dalam melakukan hubungan dengan keluarga asalnya, kecuali dengan persetujuan atau kesepakatan dengan suami atau keluarga suami.
Untuk hal seperti ini tidak pernah terjadi pelanggaran, artinya tidak ada istri yang pergi kekeliarga asalnya tanpa izin suami atau keluarganya.
Apabila ada istri yang pergi (pulang) kekeluarga asalnya, orang tua, leluarga dan masyarakat asal istri tidak akan menerima, hal tersebut akan menjadi pertanyaan atau isu yang tidak baik di kalangan masyarakaf.
Kendati pulangnya dalam kondisi tidak bermasalah dengan suami atau keluarganya, karena istri telah menjadi bagian dari suami dan keluarganya, untuk itu suami harus menjaga dan menemani kalau istrinya mau bertemu dengan orang tua dan keluarganya.
Bentuk perkawinan eksogami hang menjasikan perempuan berpindah menjadi bagian dari keluarga suami disebut dengan perkawinan “juelen”.
Artinya dengan perkawinan seperti ini seolah istri telah dijual kepada keluarga suami, karena seluruh haknya berpindah kepada keluarga suami dan tidak lagi mempunyai hak dari keluarga asalnya termasuk hak waris dan hak dirinya, sepanjang tidak terjadi perceraian (cerai hidup).
Dan kalau terjadinya perceraian karena meninggalnya suami maka istri tetap menjadi bagian dari keluarga suami.
Selama istri bertahan menjadi keluarga suami dan tidak bercarai maka harta milik suami adalah harta istri, istri bebas menggunakan harta sepanjang dengan kesepakatan bersama suami.
Namun apabila terjadi perceraian karena cerai talak yang disebabkan karena perbuatan atau kesalahan istri maka istri tidak berhak sedikitpun terhadap harta suami dan istri dikembalikan kepada keluarganya dengan tangan kosong, artinya tidak membawa harta apapun.
Apabila perceraian karena kajahatan suami yang tidak bisa dimaafkan oleh istri dan keluarga suami, biasanya istri mendapat perlindungan dari keluarga dan keluarga megizinkan istri mengelola harta suami.
Bahkan apabila suaminya menikah dengan perempuan yang lain, suami akan keluar hari rumahnya dan akan mencari harta atau usaha lain bersama istrinya yang kedua. Karena bagi keluarga kejahatan yang dilakukan oleh suami merupakan aib yang mencoreh keluarga.
Suami yang duluan meninggal dan meninggalkan istri dan anak-anak maka semua milik suami berpindah menjadi milik istri dan anak-anak, harta tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan dapat diwarisi untuk anak-anak dan ahli waris lainnya.
Untuk keadaan seperti ini wali dari suami mempunyai kewenangan untuk menikahkan perempuan janda dari keluarga mereka, sangat boleh jadi pernikahan dilakukan dengan adik atau abang dari suami yang telah meninggal, pernikahan seperti ini dalam bahasa Gayo disebut dengan pernikahan ganti tikar.
Pernikahan ganti tikar ini bertujuan agar istri yang ditinggalkan mendapat perlindungan dari keluarga suami, dan anak-anak yang ditinggalkan juga tidak kehilangan tanggungjawab dari wali.
Di samping perlindungan keluarga, harta yang ditinggalkan suami dapat dikelola oleh istri yang ditinggal mati oleh siami.
Karena alasan tertentu si janda boleh tidak setuju dinikahkan dengan salah seorang dari keluarga (nikah ganti tikar), namun ia tetap berada di bawah perwalian keluarga suami dan tidak boleh kembali ke keluarga asalnya.
Cara lain yang dilakukan oleh keluarga suami adalah menikahkan si janda dengan orang lain di luar keluarga suami dengan ketentuan suami yang baru menjadi terikat dengan keluarga suami, artinya semua harta milik suami dikelola bersama dengan istri untuk kebutuhan keluarga dan tidak boleh dimiliki oleh suami kedua.
Bila si janda merasa pernikahannya dipaksa oleh wali pihak suami dengan laki-laki yang dia tidak suka dan satu saat pernikahannya bubar dikarenakan ketidaksukaan si janda maka wali dari siami pertama berhak mengambil sebagian atau seluruh harta milik suami untuk selanjutnya menjadi milik wali.
Seorang janda yang tidak lagi mau menikah karena kematian suaminya, si janda tetap berada di bawah perlindungan wali pihak suami.
Para wali berkewajiban melindungi janda dan sekaligus anak-anak. Sehingga dalam masyarakat Gayo apabila seorang perempuan kehilangan suami karena meninggal dunia maka wali sangat bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak yang ditinggakkan suami.
*Ka. Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.