Oleh. Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Nikah dimaknai oleh para ahli atau ulama dengan dua makna, yaitu aqad dan watha. Aqad adalah ikatan atau janji yang diucapkan oleh wali dari perempuam dengan ucapan “saya nikahkan kamu…” dengan jawaban dari calon suami “saya terima nikah…”, ungkapan wali dan jawaban calon yang selanjutnya menjadi suami tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nikah.
Di sini ulama menjadikan ucapan tersebut sebagai rukun dari nikah, artinya tidak dianggap sah tanpa ucapan tersebut.
Arti yang kedua dari nikah adalah watha’, artinya dengan terjasinya pernikahan maka halallah hubungan badan antara seorang laki-laki yang disebut dengan suami dengan seorang perempuan yang disebut dengan istri.
Al-Qur’an mengisyaratkan hubungan keduannya bagaikan hubungan antara tubuh dengan pakaian “perempuan adalah pakaian bagi laki-laki dan laki-laki adalah pakaian bagi perempuan”, artinya keduanya saling melindungi, saling menjaga sehingga antara keduanya melahirkan rasa saling cinta dan saling menyayangi.
Di dalam al-Qur’an dan juga hadis tidak secara tegas menyebutkan kapan tanggungjawab orang tua berakhir terhadap anak, baik anak itu laki-laki ataupun perempuan.
Mamun kita temukan di dalam kitab-kitab Fiqh berdasarkan kajian para ulama fiqh (fuqaha), bahwa tanggungjawab orang tua terhadap anak laki-laki berakhir pada saat anak tersebut sudah baligh dan untuk anak perempuan tanggungjawab akan berakhir apabila anak perempuan tersebut menikah.
Dalam masyarakat adat apa yang menjadi pendapat ulama tersebut banyak diamalkan, tetapi dalam masuarakat modern hal tersebut tidak lagi dilaksanakan secara ketat.
Dengan terjadinya aqad nikah yang bermakna aqad atau janji, maka muncullah tanggungjawab bagi laki-laki dan juga tanggungjawab bagi perempuan, diantara tanggungjawab keduanya adalah membangun rumah tangga yang dilandasi cinta dan kasih sahang, tanggungjawab lain adalah membangun rumah tangga yang madiri dan kokoh.
Di samping itu karena rumah tangga bagaikan sebuah bangunan organisasi maka harus ada yang menjadi pemimpin, sehingga keluarga yang dibangun terarah menuju kesejahteraan yang langgeng.
Kendati anak laki-laki setelah baligh sudah lepas dari tanggungjawab orang tua dan untuk sebagian anak laki-laki telah memiliki harta, namun mereka belum terbiasa dengan tanggungjawab karena masih dalam bimbingan dan binaan orang tua.
Setelah menikah mau tidak mau secara hukum anak laki-laki bertanggungjawab terhadap istri mereka, dan yang paling banyak dibicarakan adalah tanggungjawab nafkah bahkan ulama menambahkannya dengan tanggung jawab tempat tinggal dan kebutuhan lainnya.
Perempuan sebelum menikah sebagaimana disebutkan di atas berada dalam tanggungjawab orang tua sampai menikah, maka dengan adanya aqad nikah beripindahlah tanggungjawab dari orang tua kepada suami.
Jadi setelah menikah maka perempuan berada dalam tanggungjawab suami. Kendati dalam keluarga seolah adanya herarkhi antara yang bertanggungjawab dan yang berada di bawah pertanggungjawaban, sebenarnya rumah tangga itu harus dibangun dengan saling menyayangi, saling percaya dan saling bertanggungjawab.
Dalam masyarakat tradisional atau masyarakat agraris pernyataan penanggung jawab dalam keluarga sangat mudah untuk dipahami, karena laki-laki yang bertanggungjawab sudah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan yang akan dihadapi setelah menikah.
Laki-laki sudah mempersiapkan lahan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup berkeluarga, selanjutnya kalau mereka merasa tidak cukup mereka akan memperluas lahan mereka.
Bagi perempuan dalam masyarakat tradisional atau masyarakat adat ketika mereka akan mernikah, mereka meminta kepada keluarga calon suami di samping mahar (sebagai kewajiban agama) ditambah dengan permintaan lain berupa lahan untuk berusaha.
Harta permintaan ini menjadi milik mutlak istri, artinya apapun yang terjadi terhadap keluarga mereka maka tanah tersebut tetap menjadi milik istri yang tidak boleh diambil kembali oleh suami atau keluarga suami.
Pengakuan tanggungjawab nersama antara suami dan istri dalam membangun rumah tangga, tidak hanya memadai dengan sebuah ucapan, karena hakikat dari saling kasih sayang dan saling bertanggungjawa adalah antara suami dan istri satu rasa.
Artinya bila suami gagal dalam usaha sehingga tidak mempu memenuhi kebutuhan maka istri tidak boleh diam sampai akhirnya mengakhiri aqad dengan perceraian, kalau itu yang terjadi berarti sebenarnya leliarga tersebut bukanlah dibangun dengan saling kasih sayang.
Bila rumah tangga dibangun dengan saling kasih dan sayang maka kedua suami istri terus berusaha memenuhi kebutuhan keluarga dengan tidak saling berharap dan saling melepaa tanggung jawab.
Karena itulah diantara sebab sehingga al-Qur’an dan hadis tidak menyebutkan tanggungjawan secara detil tentang tanggungjawab dalam keluarga.
Karena itu juga kreatifitas akal dituntut untuk memikirkan hal-hal yang sifatnya umum untuk menjadi lebih khusus dan mudan dilaksanakan.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh.