Oleh: Dinika Yusuf*
Wisma Melati Kaliurang merupakan pilihan terakhir. Sebelumnya beberapa tempat di kaki Gunung Merapi sudah disurvei. Tapi tidak refresentatif untuk kegiatan Latihan Kader untuk pemula yang melibatkan sekitar 60 peserta. Barangkali sudah menjadi takdir kami harus mengalami suasana horor di wisma bekas rumah mandor zaman kolonial Belanda itu.
Padahal beberapa hari sebelum acara, peringatan sudah disampaikan kepada Kak Novita Sari lewat mimpi. Ada beberapa pantangan yang harus dipatuhi. Ternyata pantangan itu berkaitan dengan pesan pasangan suami istri yang menjaga wisma untuk tidak boleh membuka kamar nomor dua. Tapi kami anggap mimpi itu hanya sekedar bunga tidur. Tanpa fikir panjang kami tetap bersemangat melangsungkan acara di wisma itu.
Saya sama sekali tidak menduga akan kerasukan lagi. Kata orang pinter di kampung, penyakit kerasukan akan hilang kalau sudah menyeberang lautan ke pulau lain. Tapi ternyata tidak, saya sangat sensitif dengan hal-hal mistis. Apalagi di Jogja, satu daerah yang dikenal sangat dekat dengan cerita alam ghaib. Berarti di manapun saya berada energi makhluk halus gampang merasuki saya.
Setelah saya sadar dari kerasukan, Ketua Panitia, Bang Irwan menginstruksikan agar tetap melanjutkan acara sesuai dengan rundown yang telah disusun panitia. Acara berlangsung pada hari itu sukses. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Sampai pada pukul 12 malam, kami mendengar suara orang berjalan dan suara hentakan kakinya terdengar seperti dentuman dan berhenti tepat di pintu kamar nomor 3. Seketika salah seorang peserta, Kak Agni kesurupan.
Kak Agni berteriak dengan suara berat. Kami berlari menuju kamarnya. Tidak seorang pun dari kami yang bisa menyadarkannya. Penjaga wisma menghadirkan orang pinter dari kampung untuk mengeluarkan yang merasuki Kak Agni. Tiba-tiba jin yang merasuki Kak Agni berpindah ke tubuh saya.
“Rumah saya diganggu. Mereka loncat-loncat di batu, naik-naik pohon, membersihkan kamar nomor dua. Saya benci dengan perempuan ini. Dia menyaingi saya. Aku mateni bocah iki (saya bunuh anak ini)” kata jin yang merasuki saya.
“Cepet metu yen ora, aku bakal maksa sampeyan. Ojo gawe isin sampean, metu…metu. (cepat keluar, jangan sampai saya paksa kamu, jangan buat malu, cepat keluar…keluar)…sayang yang punya raga, dia tidak tahu apa-apa” rayu orang pinter itu supaya jin yang merasuki tubuh saya cepat keluar.
“Haha…kalaupun saya keluar akan ada yang musibah bagi semua tamu di sini dan mereka akan berdarah-darah” ancam jin itu.
Di ujung kerasukan saya nyinden sambil menari. Seketika tubuh saya lunglai, lalu pingsan. Biasa seseorang setelah kerasukan tubuhnya lemas sampai tertidur. Perlu waktu beberapa saat untuk sadar. Setelah saya sadar seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya badan masih terasa lemas. Tidak berdaya. Perlu istirahat sebentar untuk mengumpulkan tenaga.
Orang pinter itu mengingatkan kepada panitia bahwa acara hanya boleh sampai besok siang. Jangan dilanjutkan sampai malam karena akan ada pasar ghaib di kawasan sekitar. Pada saat pagelaran pasar setan, begitu sebagian orang menyebutnya, akan banyak energi negatif yang merasuki orang.
Pasar ghaib seperti layaknya pasar-pasar di tempat kita, tetapi tidak kasat mata. Pelaku transaksinya adalah jin dan makhluk halus lainnya. Bagi makhluk astral pasar ghaib ini sangat sakral. Sehingga pada malam itu penduduk di lereng-lereng gunung diperingatkan untuk tidak membuat acara dan dilarang keluar rumah agar tidak menjadi sasaran kemarahan para makhluk ghaib itu.
Panitia tetap melanjutkan acara di aula. Seolah tidak pernah terjadi peristiwa horor. Pada pukul 2 malam, ketika sedang breifing untuk memadatkan acara yang harus selesai pada sore hari, tiba-tiba cuaca yang dingin berubah menjadi panas dan angin berhembus kencang dan botol aqua besar jatuh menggelinding. Pertanda dari “alam ghaib” untuk tidak gaduh dan peserta pun berhamburan masuk ke kamar masing-masing.
Sementara itu, Bang Laode yang penasaran dengan kamar nomor dua. Dia kembali masuk ke kamar terlarang itu yang kebetulan pintunya terbuka. Padahal pada siang hari terkunci. Dia pun tertidur pulas dengan posisi tidur terlentang dengan berbantal kedua lengannya.
Baru satu jam tertidur, dia terbangun setelah mendengar ada orang yang masuk. Pada saat itu dia masih sempat berfikir bahwa sosok penunggu kamar itu telah datang. Ketika dia membuka matanya di atas perutnya telah berdiri seorang perempuan berkebaya hijau, memakai mahkota warna emas dengan rambut panjang terurai sampai ke lantai tempat tidur, gigi bertaring panjang dan berkuku panjang.
Kemudian sosok jin itu mencekik Bang Laode sampai tidak bisa bergerak dan hampir putus asa. Kemudian ada kekuatan untuk melawan dan memukul jin itu hingga terpental. Jin itupun lari terbirit-birit dan hilang dari pandangan mata. Setelah jin itu pergi, dia tertidur pulas sampai pagi.
Setelah selesai shalat subuh, panitia menginterogasi Bang Laode karena ada laporan peserta bahwa dirinya telah dua malam tidur di kamar terlarang. Dia pun minta maaf atas keteledorannya. Dia mengaku sama sekali tidak tahu akibat perbuatannya beberapa orang telah mengalami kesurupan.
Ketika saya berhadapan dengan Bang Laode, sosok perempuan itu kembali merasuki saya. Jin itu marah dan menunjuk-nunjuk Bang Laode penyebab kekacauan di wisma itu karena memasuki kamar terlarang itu. Kamar itu sudah puluhan tahun tidak pernah dimasuki tamu, kecuali Bang Laode.
Pada siang harinya, saat acara berlangsung, orang pinter itu datang kembali mengingatkan supaya acara harus segera dihentikan sebelum masuk waktu maghrib. Selepas dzuhur, peserta pun segera melaksanakan acara penutupan, yang sedianya dilaksanakan esok harinya. Sedangkan untuk acara pengukuhan dilaksanakan di sekretariat HMI Jogja.
Pada saat menyanyikan lagu himne, beberapa peserta perempuan terbawa suasana. Sebagian ada yang menangis. Panitia terpaksa mengeluarkan mereka dari aula karena dikhawatirkan terjadi kesurupan massal. Cuaca pun berubah, seketika gelap, hari yang cerah, tiba-tiba gelap, seperti sudah waktu malam. Orang pinter itu datang mengingatkan kembali untuk segera pulang dari wisma.
Akhirnya sesuai dengan anjuran orang pinter sebelumnya, saya dan Bang Laode sebelum pulang harus melakukan prosesi, masuk ke kamar nomor dua, kamar terlarang untuk minta maaf dan izin pulang agar terlepas dari pengaruh penunggu makhluk halus yang merasuki peserta selama acara.
Begitu saya melangkah masuk kamar itu, saya kembali hilang kendali. Saya kembali kerasukan makhluk penunggu itu. Saya duduk di sisi tempat tidur, kemudian menuju meja rias sambil merapikan rambut sambil tersenyum sinis.
“Ternyata ini wujud saya selama ini dalam bentuk manusia sempurna, saya tidak ingin keluar dari tubuh ini, saya kesepian, bertahun-tahun tidak ada kawan, saya dikurung di kamar” kata makhluk penunggu kamar itu yang merasuki saya.
“Nyai kan orang baik, kita beda alam, kami mau kuliah, kami mohon maaf nyai. Kalau ada waktu, kami akan kembali lagi mengunjungi nyai. Saya hitung nyai, keluar ya, satu..dua..tiga” Bang Laode merayu “nyai” itu agar mau keluar dari tubuh saya.
Saya muntah. Peserta yang menyaksikan kami dari luar kamar melihat sekelebat sinar. Saya pun tersadar. Lalu kami keluar kamar, bergegas menuju bis. Sementara beberapa orang panitia yang mengecek barang-barang yang kemungkinan tertinggal. Mereka melihat ibu pelayan wisma kembali meletakkan bunga melati dan sesajen di kamar yang saya tempati. (Bersambung)
(Kala Lengkio, 19 Juli 2024)