Oleh : Armi Arija, S.IAN*
Jadwal dan tahapan pilkada serentak tahun 2024 sudah dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) RI, banyak info yang bisa kita akses terkait hal ini bahwa masyarakat Indonesia akan kembali menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Pemilihan ini ditujukan untuk memilih gubernur, walikota, bupati beserta wakilnya di sejumlah daerah secara serentak, tidak terkecuali di dua Kabupaten yang terletak di wilayah Tengah provinsi Aceh yakni Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
Meskipun Tahapan Pilkada masih sangat awal, namun hawa Politik sudah agak sedikit menghangat di daerah dataran tinggi yang berhawa sejuk tersebut.
Beberapa pasang kandidat sudah mulai turun gunung mempublikasikan diri lewat media sosial maupun baliho dan spanduk yang bertebaran di tempat umum untuk menarik simpati dari Masyarakat.
Pemilihan Kepala Daerah baik itu Gubernur di Tingkat Provinsi dan Bupati / Wali Kota ditingkat Kabupaten atau Kota yang dilakukan secara langsung semakin membuka sistem politik dan partisipasi publik dalam proses pemilihan kepala daerah.
Namun seiring perjalanan waktu proses demokrasi langsung mengalami distorsi yang mana dari sudut hakikat demokrasi masih menyisakan berbagai persoalan yang menodai makna dan hakikat demokrasi tersebut, salah satunya adalah politik uang.
Selain politik uang ada lagi distorsi yang terjadi di proses pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) dewasa ini, yang mana disampaikan oleh Jeffrey Alan Winter Seorang Profesor Politik Amerika serikat yang banyak menulis tentang Indonesia dan oligarki.
Menurut Winters Oligark adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsetrasi sumber daya material yang bisah digunakan untuk mempertahan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksekutif.
Oligarki sebagai ancaman bukan hanya sebatas pada narasi-narasi, tetapi sudah menyata dalam kehidupan perpolitikan tanah air. Kesenjangan semakin melebar antara mereka yang kaya dengan masyarakat biasa.
Kesenjangan tersebut, terjadi ketika para oligarki memfokuskan diri untuk mempertahankan kekayan mereka. Jadi tujuan oligarki berkuasan untuk menjaga supaya kekayaan mereka tetap ada.
Jika diulas lebih dalam lagi, oligarki sekarang ini modusnya sebagai investor politik yang banyak diperingatkan oleh para ahli karena hal ini merupakan Pola pembajakan demokrasi.
Para investor politik ini menerapkan prinsip portofolio dengan berinvestasi pada beberapa Calon Kepala Daerah tujuannya mengamankan kepentingan bisnisnya, siapapun yang berkuasa.
Dari sebuah penelitian ditemukanya peran investor politik yang dominan dan sentral dalam dinamika pilkada karena ketidakmampuan calon kepala daerah dalam memenuhi kebutuhan biaya pencalonan, baik itu untuk biaya operasional pemenangan, ekskusi politik uang ( money Politik ), Jual beli Suara ( Vote Buying ) maupun “mahar“ Partai pengusung.
Ketika semakin banyak oligarki yang menjelma sebagai investor politik masuk kedalam sistem, maka akan semakin sulit bagi Kapala daerah itu melakukan atau membuat kebijakan, karena semua harus menguntungkan oligarki, menguatnya peran investor akan sangat menganggu dan akan selalu mengontrol kepala daerah.
Kebijakan ditentukan oleh invisible hand yang melibatkan hanya elite politik, birokrat, dan pengusaha. Dan disini penulis tekankan bahwa oligarki berkedok investor politik itu sangat berbahaya sebab akan menguasai dan memonofoli segala segi.
Jelas dan nyata narasi oligarki itu buruk kepemimpinan dan pemerintahan eksekutif, oligarki akan menyebabkan segenap kebijakan semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif para elite, pengusaha, dan rekanannya.
Kita berharap calon kepala daerah khusunya Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah tidak terperangkap agar ia tidak dikuasai oleh oligarki namun dialah yang menguasai dan mengatur oligarki agar setiap kebijakan dan pelayanan yang dihadirkan dapat berdampak langsung untuk kepentingan Masyarakat.
*Penulis adalah Alumni FISIP Universitas Malikussaleh, Koordinator Lembaga Study Kajian Kebijakan Publik ( LSK2P ) Bener Meriah