Oleh: Bardan Sahidi, M.Pd, Ph.D*
Defisit, kata itu seperti momok menakutkan bagi kita, dan masyarakat Kabupaten Aceh Tengah. Momok, karena yang dibayangkan akan datang banyak kekhawatiran.
Khawatir, apakah tulah perangkat kampung masih dapat dibayar? Apakah tambahan penghasilan pegawai (TPP) hanya sekedar angka yang tertulis dalam buku APBK?
Atau, apakah jalan berlubang masih bisa ditambal dengan kegiatan perawatan rutin jalan? Apakah tagihan pihak ketiga masih bisa dicairkan? Apakah, apakah, dan apakah, sebegitu banyak pertanyaan kekhawatiran.
Puncak kekhawatiran itu, ketika media terbitan Banda Aceh, AJNN (11 Juni 2024) menulis tajuk berita: “Utang RSUD Datu Beru Bertambah, Aceh Tengah Defisit Rp 85,9 Milyar.”
Apa inti berita tersebut? “Pemkab Aceh Tengah pada tahun 2023 mengalami defisit riil sebesar Rp 85,8 miliar yang akan membebani tahun anggaran selanjutnya.”
Sebenarnya defisit bukan langkah yang dilarang dalam penyusunan APBK berbasis surplus/defisit. Berbeda dengan penyusunan anggaran berimbang di era Orba. Dimasa itu penerimaan harus simetris dengan belanja pengeluaran.
Defisit, sebenarnya barang apa? Menurut website https://djpk.kemenkeu.go.id/ bahwa defisit APBD merupakan selisih kurang antara Pendapatan Daerah dan Belanja Daerah pada tahun anggaran yang sama. Defisit terjadi b ila jumlah pendapatan lebih kecil daripada jumlah belanja.
APBK Aceh Tengah tidak terlepas dari kondisi defisit. Katakanlah defisit pada tahun 2017 yang mencapai Rp 19,2 Milyar. Defisit ini terjadi karena rencana penerimaan dana transfer daerah tiba-tiba dikurangi oleh pemerintah pusat.
Mengahadapi situasi kritis saat itu, saya dapat informasi, bahwa Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pak Karimansyah, sangat piawai dan berani memilah kegiatan. Dia begadang bersama kepala dinas, menyoret kegiatan yang kurang prioritas, mana yang harus dikurangi, dan mana yang bisa dilanjutkan.
Hasilnya, setelah realisasi APBK 2017, ternyata dari kondisi defisit berubah menjadi surplus sekitar Rp 3,6 Milyar. Best practice semacam itu tidak pernah diungkapkan kepada publik. Itu namanya bekerja dalam diam.
Sebelum menunaikan ibadah haji, saya pernah berdiskusi tentang defisit dengan Pak Karimansyah di Teluk Pukes Homestay. Beliau memberikan beberapa tips.
Diantaranya, jika APBK defisit, dapat dibiayai dengan penerimaan pembiayaan, termasuk dalam penerimaan pembiayaan tersebut misalnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya.
Bisa juga menggunakan cadangan (kalau ada), atau dari pinjaman. Selain itu, menggenjot penerimaan PAD dari pajak dan retribusi daerah. Kalau tidak ada cara lain, kita harus menjual kekayaan daerah.
Saya tanya kepada Pak Karimansyah, apakah benar untuk menutupi defisit dibutuhkan kepala daerah yang memiliki lobby ke pemerintah pusat?
Beliau memperlihatkan smartphone, ada penjelasan di website https://djpk.kemenkeu.go.id/ yang menegaskan bahwa “dalam hal APBD mengalami defisit, tidak ada pendanaan khusus yang disalurkan dari APBN kepada daerah untuk menutup defisit tersebut.”
Jelas, menutupi defisit APBK atau APBD daerah dengan melobi pemerintah pusat, itu hanyalah isapan jempol belaka.
Kemudian, dalam diskusi terbatas antar teman-teman, sering mengemuka cara mengurangi defisit di Kabupaten Aceh Tengah. Salah satu solusi cepat adalah dengan melakukan penjualan kekayaan daerah.
Saya sering ditantang oleh teman-teman terkait hal tersebut. Tantangan itu kira-kira berbunyi seperti ini:
“Diantara kekayaan daerah itu adalah mobil dinas bupati merk Toyota Prado dan mobil dinas wakil bupati merk Toyota Alphard. Kalau anda terpilih sebagai bupati, apakah bersedia menjual kedua mobil itu untuk mengurangi defisit?”
“Siap! Bagi kami (cabup dan cawabup), Inova bekas sudah memadai sebagai mobil dinas jabatan,” begitu saya katakan.
Menyelamatkan daerah ini dari kemungkinan kolaps dan makin terpuruk, itu lebih utama daripada menikmati fasilitas jabatan dan sejenisnya.
Siapa pun nanti yang terpilih sebagai kepala daerah, defisit “kronis” yang menimpa APBK Kabupaten Aceh Tengah harus disembuhkan.
Untuk menyembuhkan APBK, sekurang-kurangnya perlu waktu 2 tahun atau lebih. Dimasa perbaikan itu, barangkali kita akan mengalami sedikit pelambatan.
Saya percaya, masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dapat memaklumi akan kondisi tersebut. Seperti bunyi adagium: “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Fastabiqul khairat.
*Anggota DPR Aceh dari PKS.