Oleh : Fauzan Azima*
Perdana Menteri Negara di Atas Awan, bernama lengkap Teuku Junaidi bin Usli. Delapan belas bulan sudah dia mengemban amanah raja dengan gelar patih.
Tentu saja raja mengangkat patihnya untuk menyelesaikan berbagai masalah intern dalam istana kerajaan. Di antaranya reformasi birokrasi agar kabinetnya bekerja efektif. Sayangnya perintah raja itu diabaikan.
Rakyat yang tidak tahan melihat tingkah polah patih protes kepada raja. Baik secara ksatria maupun pengecut. Namun pihak istana diam, tidak bergeming dan cenderung merestui kelakuan sang perdana menteri.
Bagaimana mungkin masalah teknis di luar istana bisa tuntas, kalau orang-orang di dalam kerajaan masih saling sikut. Para pegawai yang akan pensiun dibiarkan tidak dipersiapkan penggantinya.
Kosongnya beberapa jabatan penting memicu konflik antar sesama pegawai. Sehingga tidak lagi mengurusi menyelesaikan pekerjaan. Tapi masing-masing membangun intrik untuk bisa duduk pada kursi jabatan tak bertuan itu.
Masalah-masalah teknis, seperti penanganan sampah, pengadaan air bersih, konflik Universitas Gajah Putih, pembangunan jalan menuju sentra-sentra ekonomi dan tetek bengek lainnya tidak mungkin tertangani kalau semua pihak di dalam istana tidak punya sense of belonging, yaitu perasaan yang melibatkan rasa memiliki dalam diri seseorang.
Rasa memiliki dan tanggung jawab kepada negara ini harus mengalir dari hulu ke hilir. Dari pemimpin kepada rakyatnya. Pemimpin adalah cermin dan panutan bagi rakyatnya. Rakyat akan apatis kalau pemimpin cuek bebek.
Dalam perjalanan sejarah Negara di Atas Awan belum ada perdana menteri seacuh sekarang. Bahkan 31 kepala desa yang bimtek ke Pulau Dewata pun dia tidak tahu. Rasanya mustahil, tapi begitu faktanya.
Dalam struktur pemerintahan kerajaan ini antara perdana menteri dan kepala desa berlaku garis komando. Setiap pergerakan kepala desa dalam menjalankan tugas kenegaraan harus sepengetahuan perdana menteri.
Apalagi tugas negara itu ke daerah yang relatif bebas. Perdana menteri harus memastikan juga, apakah istri-istri kepala desa itu ikut serta? Dikhawatirkan bimtek sukses keluarga berantakan.
Publik harus diberitahu bimtek soal apa? Semoga saja bukan soal memodifikasi huruf hijaiyah. Dengar-dengar kabar burung di sana huruf “waw” bisa berubah menjadi “alif.”
Yah, begitulah perdana Menteri tidak mau ambil pusing. Kritik rakyat masuk gerbang telinga kanan, keluar dari gerbang telinga kiri. Unjuk rasa rakyat dianggap suara nyamuk di luar kelambu. Hanya satu keyakinan dan menjadi kebijakan sang patih, waktu akan menyelesaikan masalah.
(Mendale, Mei 20, 2024)