Oleh : Feri Yanto, SP*
Pemuda adalah usia produktif dengan rentang usia 17- 40 Tahun, berdasarkan pada usia menurut Komite Nasional Pemuda Indonesia, yang mana usia yang masih dapat bergabung dengan organisasi payung berbagai organisasi kepemudaan tersebut.
Pemuda-pemuda yang telah ditempa dan dikader dalam organisasi kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan adalah cadangan sumber kepemimpinan yang sejatinya telah siap untuk tampil dalam berbagai panggung kebangsaan yang besar sebagai seorang pemimpin.
Setiap kader-kader di berbagai organisasi Kepemudaan adalah orang-orang yang telah dibina dengan pembentukan ideologi, intelektualitas, dan kepemimpinan. Mereka dengan cepat dan mudah beradaptasi dengan berbagai dinamika dan perubahan, serta memiliki kemampuan problem solving (pemecahan masalah) yang baik.
Pemuda adalah pelaku dalam perubahan, setiap zaman pemuda adalah kunci dari setiap gerakan perubahan sosial, diakui maupun tidak. Tanpa pemuda, perubahan apapun tidak bisa terlaksana dengan baik, sekalipun mereka digerakkan oleh orang-orang yang lebih tua sebagi pemikir ataupun pembuat gagasan, meski juga sebahagian besar pikiran perubahan itu justru datangnya dari pemuda itu sendiri.
Pada era kemajuan tekhnologi ini, dan perubahan sosial yang bergerak lebih cepat seiring terbukanya segala akses dunia luar maka sudah sepatutnya generasi muda diberi porsi lebih besar dalam mengelola negeri ini jika kita ingin bergerak lebih maju dan mendapatkan lompatan-lompatan lebih jauh kedepan.
Alasanya adalah generasi muda selain menguasai zaman, mereka juga lebih enerjik dan memiliki energi lebih besar dalam mobilitas pergerakan. Memikirkan inovasi sekaligus mengeksekusinya dengan cepat. Perubahan peradaban global sudah semakin cepat, maka dibutuhkan kepemimpinan yang adaptif terhadap perubahan tersebut kalau tidak mau ketinggalan jaman.
Para pemuda-pemuda ini hanya perlu diperkuat tingkat kemampuan manajerial dan emosionalnya. Maka, orang-orang tua perlu menjadi perisai bagi pemuda agar tidak keluar dari koridor etik, sebab meskipun generasi muda ini lebih menguasai zaman tapi acapkali pemuda tidak mampu mengendalikan emosinya dalam menghadapi tantangan zaman yang berhubungan langsung dengan moral dan etika. Maka, modernisasi yang berbudaya adalah sesuatu yang mutlak harus dipadukan demi menjaga nilai-nilai; kemajuan yang bernilai kebudayaan dan beradab.
Kita menyadari bahwa tantangannya memang besar, tapi bukan berarti harus mendiamkan tanpa memulai. Sebagaimana Mao Zedong tokoh revolusi tiongkok mengatakan “Revolusi (Perubahan) bukanlah sebuah pesta makan malam atau semacam menulis esai; bukan pula melukis atau membordir; revolusi tidak halus, santai atau lemah lembut; revolusi juga bukan situasi yang sedang dalam damai, ideal, sopan, terkontrol dan murah hati. Revolusi adalah pemberontakan, sebuah tindakan kekerasan oleh satu kelas untuk menggulingkan kelas lainnya. Namun dalam hal ini, kita bukan sedang menginginkan revolusi secara total sehingga harus melakukan pemberontakan dan melakukan tindakan kekerasan. Tapi bagaimana pemuda mampu mampu untuk mengisi posisi strategis untuk membangun dan memimpin.
Sejatinya, Pemuda haruslah diberi porsi lebih besar dalam mengemban tanggung jawab untuk membangun negeri ini. Alasannya sederhana, mereka yang mendominasi saat ini, mereka yang lebih memahami dirinya sendiri dan tentu lebih mengerti tentang arah hidupnya dimasa akan datang.
Oleh karena itu, pemuda harus juga mulai mengkonsolidasikan diri dengan lebih baik, membentuk poros untuk mengasosiasikan kekuatan dan memimpin. Untuk itu, perlu melakukan langkah-langkah strategis dalam mempersiapkannya, demi mewujudkan kepemimpinan pemuda.
Maka dengan ini, kita merekomendasikan kepada agar mengoptimalkan peran generasi muda dalam membangun negeri ini. Sekaligus menyerukan kepada seluruh generasi muda untuk membangun gerbong kepemudaan yang solid dengan rasa solidaritas yang kuat.
Gerakan pemuda semacam ini sudah pernah dilakukan, Benedict Anderson dalam kitabnya berjudul Revolusi Pemuda menceritakan peran pemuda dalam revolusi. Ia mencatat peran pemuda dan keikutsertaannya menyuarakan percepatan kemerdekaan dengan berbagai gerakan yang dibangun seperti yang dilakukan kelompok pemuda membentuk sebuah Komite Aliansi Pemuda Indonesia. Aliansi terdiri atas Pemuda Menteng 31, Asrama Indonesia Merdeka, dan Prapatan 10.
Tiap-tiap kelompok diwakili Chaerul Saleh, Wikana dan Darwis. Terbentuknya aliansi itu lalu memicu pembentukan Aliansi Pemuda Indonesia (API) di berbagai penjuru negeri terutama di Pulau Jawa. Dan dari kelompok ini pula letupan pertempuran mula-mula digelorakan menjelang kemerdekaan. Setelah itu menyusul Kongres Pemuda yang diselenggarakan di Bandung pada 16 hingga 18 Mei 1945.
Kongres itu menghasilkan dua resolusi yaitu seluruh golongan muda harus disatukan dan disentralisasikan di bawah pemimpin tunggal. Kedua, kemerdekaan harus diwujudkan secepat mungkin. Kaum muda karena itu siap mengabdikan tenaga jiwa raga kearah pengkoordinasian seluruh upaya untuk mencapai tujuan itu: kemerdekaan.
Tentu, kasus diatas tidaklah sama dengan saat ini, tapi meski berbeda kasus dan zaman, melakukan gerakan serupa untuk kemajuan pemuda Gayo dan daerah kearah lebih baik bukanlah sesuatu yang haram dan semestinya harus dilakukan. Sebab, tidak ada perubahan tanpa gerakan dan tindakan.
*Ketua Umum HMI Cabang Takengon 2016-2017