Luke Besalin Kemung Bepenumpu : Kearifan Perdamaian dan Hukum Dalam Budaya Gayo (Bag. 1)

oleh

Oleh : Salman Yoga S*

KENDURI TAWAR NEGERI

Maraknya tindak kekerasan dalam masyarakat belakangan ini sungguh sangat memprihatinkan semua pihak.

Bukan saja kekerasan dalam bentuk fisik tetapi juga kekerasan non fisik termasuk didalamnya tindak kejahatan berupa pencurian, asusila, kerusakan lingkungan, tindak penyalahgunaan barang terlarang seperti narkoba dan lain-lain.

Dalam komunitas adat ke-Gayo-an hal ini bukan saja mencerminkan tingkat peradaban yang semakin rendah dari segi perilaku dan akhlak tetapi juga menunjukkan ketidak berperanan sistem sosial masyarakat yang semakin merenggang.

Belum lagi lembaga nonformal masyarakat yang juga turut dipertanyakan kinerja dan keberpihakannya dalam tata interaksi dan komunikasi budaya.

Bukan mustahil apa yang dikhawatirkan tentang kehidupan yang hedoisme, individualis akan berlanjut pada barbarisme perilaku ketika berada di tengah-tengah masyarakat yang sebelumnya sangat toleran, frendly dan humanis.

Kearifan dalam perilaku adat juga mengalami evolusi yang sangat drastis mulai dari acara perkawinan hingga tujuh hari anak (turunmani).

Sebagaimana ajaran Islam yang kemudian menjadi bagian integral nilai dalam ke-Gayo-an hanya acara perkawinan sajalah yang layak dan dianjurkan untuk mengadakan pesta (syi’ar) seluas-luasnya, baik dengan mengadakan hiburan tertentu atau dengan pesta yang meriah sesuai norma.

Sebaliknya, acara tujuh hari anak (turunmani) atau khitanan justru tidak dianjurkan dengan mengadakan pesta selayaknya pesta perkawinan. Yang terjadi saat ini justru tujuh hari anak (turunmani) pun dipestakan dengan iringan musik organ tunggal yang hiruk.

Sehingga ambivalinisme terbentuk seolah semua menjadi biasa dan kemudian terbiasa, padahal ajaran agama dan budaya yang tidak memberi ruang untuk itu.

Kita juga patut bertanya tentang eksistensi dan peran lembaga Majelis Adat atau unsur sarakopat seperti reje, imem, petue, dan rakyat dalam menyikapi ini.

Sejauh ini di empat kabupaten Gayo dalam amatan penulis lembaga dan unsur sarakopat tersebut hanyalah pelengkap dalam struktur kepemerintahan saja, belum menyentuh pada tata perilaku dan keandilan dalam pembentukan akhlak sosial.

Dan bila hal ini terus berlanjut bukan sesuatu yang berlebihan jika Gayo secara umum saat ini harus sudah menghelat acara adat berupa KENDURI TAWAR NEGERI. Yaitu sebuah prosesi adat yang dilakukan ketika ruh kearifan sudah berada dalam titik genting, ruh keadaban sudah demikian kabur dan keberkahan khazanah nilai sudah terkikis.

ke jeme ni ume nge gere mujaril
Ara rak wak-waken si musompong
Ike kekire ni heme nge gere mulie
Ara si temerke ari edet den firmen []

*Seniman, akademisi dan budayawan.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.