Tokoh Gayo Paling Berpengaruh : Bagian II Pejuang

oleh
{"remix_data":[],"remix_entry_point":"challenges","source_tags":[],"origin":"unknown","total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"photos_added":0,"total_editor_actions":{},"tools_used":{"resize":1,"transform":1},"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":true,"containsFTESticker":false}

Oleh : Nanda Winar Sagita*

Aceh adalah negeri para pejuang; sehingga tidak heran menjadi wilayah terakhir yang ditaklukkan oleh Kolonial Belanda sekaligus wilayah pertama yang mereka lepaskan.

Tercatat ada delapan gelar Pahlawan Nasional yang tersemat pada tokoh pejuang Aceh, tapi sayangnya tidak ada seorang tokoh Gayo pun yang berada dalam daftar itu.

Meskipun demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan sisi primordialisme saya sebagai orang Gayo. Tujuan tulisan ini jelas: saya ingin tokoh-tokoh pejuang Gayo tidak didiskreditkan dalam sejarah dengan bias para penulis yang memang tidak bisa dihindari.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan ihwal jasa para pejuang Gayo di antara banyak hal lainnya adalah soal eksistensi Radio Rimba Raya. Radio tersebut berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia.

Siaran radio ini tetap mengumandangkan kedaulatan Indonesia di tengah Agresi Militer Belanda. Siaran itu pula yang menjadi dasar digelarnya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Dari sekian banyak pejuang Gayo, tentu saja ada empat yang benar-benar layak berada di puncak. Dua di antaranya adalah pejuang sebelum kemerdekaan sedangkan dua lagi adalah pejuang setelah kemerdekaan. Peran mereka jelas sangat besar, dan tidak hanya dalam ruang lingkup Gayo, tapi juga dalam ranah Aceh dan Nasional.

Berikut adalah empat pejuang paling berpengaruh di Gayo:

1. Aman Dimot (1900-1949)

Tepat di depan Kantor Bupati Aceh Tengah, ada sebuah tugu yang menjulang tinggi seolah-olah menantang pepohonan yang berada di sekitarnya. Tugu itu dikenal sebagai Tugu Aman Dimot, yang dibangun sebagai bentuk penghargaan terhadap sosok agung sang pahlawan.

Aman Dimot telah meninggalkan warisan yang amat nyata dalam kehidupan masyarakat di Gayo. Namanya aslinya Abu Bakar, tapi nama panggilannya yang lebih masyhur sudah seperti ikon perjuangan, dan menjadi dasar dari cerita-cerita heroik bagi masyarakat Gayo yang terus tersebar dari generasi ke generasi.

Namanya telah diajukan berkali-kali agar diangkat secara resmi sebagai Pahlawan Nasional. Namun sampai saat ini usaha itu belum berhasil.

Perjuangannya bermula dan berakhir ketika dia ikut serta dalam pasukan Mujahidin dan Bagura pimpinan Teungku Ilyas Leube yang dikirim sebagai pasukan bantuan ke Tanah Karo, Sumatra Utara.

Konon katanya beliau kebal dari peluru, dan baru meninggal setelah Belanda membungkam mulutnya dengan granat. Lahir di Tenamak Isaq, beliau syahid dan dimakamkan jauh dari kampung halamannya di TMP Kabanjahe.

2. Aman Nyerang (….-1922)

Tengku Said Abdullah alias Aman Nyerang adalah sosok misterius. Dalam perjuangannya, beliau telah bergerilya selama dua puluh tahun; meskipun sesekali muncul secara mengejutkan di daerah perkampungan.

Beliau telah menjadi momok paling menakutkan bagi Belanda . Fakta itu disebutkan dalam surat kabar “Bataviaasch Nieuwsblad” edisi 3 November 1916, yang mana pasukan Aman Nyerang bertempur menggempur sepeleton tentara KNIL selama dua hari dua malam di wilayah Serule.

Sekitar enam tahun kemudian beliau memang tewas dalam sebuah penyergapan di Serbejadi, dan selebihnya adalah sejarah.

Pada tahun 2000, Kapten Jordans yang mengeksekusinya berwasiat pada putrinya agar mengembalikan pedang Aman Nyerang yang dia rampas dan dibawa ke negeri Belanda sejak 77 tahun silam.

Pada penyerahan itu, Gubernur Abdullah Puteh menerima pedang tersebut dan sampai kini masih tersimpan di Museum Aceh.

Sempat terlupakan selama hampir delapan dekade, namanya kembali mencuat ketika banyak tokoh Gayo yang membahasnya.

Meskipun demikian, bagi masyarakat di Jamat sampai Lokop Serbejadi, sosok Aman Nyerang bukan hanya sejarah; melainkan juga legenda.

Pengaruhnya tetap terasa hingga saat ini, dan mantan Wakil Ketua DPRA Hendra Budian juga pernah mengadakan sayembara menulis bagi siswa SMA dengan tema Aman Nyerang.

3. Tengku Tapa (1852-1900)

Snouck Hurgronje menyebutnya De Wonderman, dan seperti namanya: Tengku Tapa adalah seorang pertapa. Menurut cerita kulit beliau selalu pucat karena jarang terkena matahari.

Perjuangannya baru santer ketika berada di penghujung abad, tepatnya pada periode 1898 sampai 1900. Berasal dari Redelong Tue, Bener Meriah, Tengku Tapa telah bergerilya melintasi nyaris seperempat wilayah Aceh: mulai dari wilayah tengah, timur, barat, dan utara Aceh bahkan hingga ke Asahan di Sumatra Utara.

Konon sebelum bertobat beliau adalah seorang pengisap candu dan penjudi akut. Baru setelah bertapa beliau mendapat semacam pencerahan hingga dianggap oleh masyarakat sebagai orang keramat atau wali madjub.

Bahkan sebelum dilantik menjadi Gubernur Jenderal di Kutaraja pada 1904, Van Heutz sendiri terjun langsung dalam menepis serangan dari pasukan Tengku Tapa, tepatnya di wilayah Seuneubok.

Meskipun ada klaim yang menyebutkan Tengku Tapa berasal dari Idi, tapi menurut penelusuran dua sejarawan UIN Syarif Hidayatullah, Prof. M. Dien Madjied dan Dr. Johan Wahyudi, dari arsip kolonial, disebutkan bahwa beliau berasal dari Bur Telong, Bener Meriah.

Meskipun demikian, pengaruhnya yang menyebar hampir ke seperempat wilayah Aceh membuatnya layak dijadikan sebagai tokoh pejuang yang layak disetarakan dengan Teuku Umar maupun Cut Nyak Dhien.

4. Kolonel Muhammad Din (….-….)

Beliau berasal dari Gayo Lues, dan tercatat sebagai perwira berpangkat kolonel pertama dari seantero Sumatra. Ayahnya adalah seorang Batak bermarga Nasution, tapi ibunya asli dari Rikit Gaib, Gayo Lues. Pada 1926, Muhammad Din memimpin sekitar 200 pasukan untuk menyerang tangsi Belanda di Blangkejeren.

Pemberontakan itu berujung kegagalan karena ada cuak dari orang Gayo sendiri. Atas dasar itu, Muhammad Din tertangkap dan dibuang ke Boven Digoel. Di sana beliau sempat bertemu dengan Soekarno ketika bakal Proklamator Kemerdekaan itu turut diasingkan pada 1938.

Penggempuran itu terdokumentasi abadi dalam surat kabar “Het Vaderland” edisi 17 Juli 1930.
Namun kemudian, Muhammad Din melarikan diri dan kembali ke kampung halamannya. Di sana dia menjadi ketua PUSA cabang Blangkejeren.

Pada era Kependudukan Jepang dia bergabung dengan PETA. Setelah kemerdekaan, tepatnya pada 1946, dia diangkat sebagai Komandan Divisi Banteng VI Sumatra yang berpangkat kolonel. Peran paling penting dalam perjuangannya terjadi pada dua peristiwa Agresi Militer Belanda sekitar 1947-1949.

Selama periode tersebut, dia sangat berperan dalam menyatukan kekuatan militer dan menggerakkan pemerintah daerah di Aceh dan Sumatera Utara.

Meskipun punya riwayat perjuangan yang panjang, tahun kelahiran dan kematian Kolonel Muhammad Din belum bisa saya telusuri. Seiring waktu namanya memang seperti tertelan oleh zaman.

Namun demikian, ada banyak upaya untuk “membangkitkannya” kembali. Dalam Bincang Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang diprakarsai oleh Yusradi Usman Al-Gayoni, ada kemungkinan nama Kolonel Muhammad Din akan diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.