Catatan Redaksi
IAIN Takengon merupakan institusi pendidikan Islam Negeri yang didirikan berdasarkan Perpres No. 41 tahun 2020. Sebelumnya lembaga ini merupakan transformasi dari STAI Gajah Putih Takengon yang didirikan pada tahun 1986 yang kemudian dinegerikan berdasarkan Perpres No. 50 pada tahun 2012.
Dalam perjalanannya, masyarakat sangat berharap banyak bagi kampus kebanggaan masyarakat Gayo ini, bisa berperan aktif dalam dunia kependidikan dan menjawab tantangan yang terjadi di tengah masyarakat Gayo.
Namun, semakin kesini, sikap pesimis dan kekhawatiran banyak pihak terhadap kampus ini, semakin nyata.
Sebagaimana yang dirangkum dalam bincang-bincang dengan berbagai tokoh pemerhati pendidikan dan masyarakat pemerhati di tanoh Gayo.
Para tokoh dan masyarakat ini mengatakan, IAIN Takengon sebagai lembaga pendidikan tinggi, harusnya berperan besar dalam menjawab persoalan-persoalan daerah saat ini.
Sebut saja pengelolaan zakat di Aceh Tengah, yang kini menjadi trending topik perbincangan masyarakat di bumi Gayo minsalnya. Harusnya IAIN Takengon sebagai lembaga pendidikan islam, mampu menjadi pencerah terkait carut-marutnya persoalan zakat itu.
Belum lagi, persoalan-persoalan lain di daerah ini, yang seharusnya bisa dijawab dengan peran akademisi di kampus kebanggaan masyarakat Gayo itu.
Banyak yang menilai pengelolaan kampus yang aut-autan menambah masalah besar di internal IAIN Takengon saat ini.
Kenapa semua itu terjadi, dalam bincang bersama pemerhati, IAIN Takengon selama ini tidak menjalankan 12 penguatan integrasi ekosistem perguruan tinggi, yang seharusnya dijalankan sebagai patron dalam menjalankan manajemen kampus.
Kita ulas sejenak 12 penguatan integrasi ekosistem perguruan tinggi itu, terhadap IAIN Takengon, sebagaimana dasar kegetiran dan kekhawatiran para pemerhati pendidikan.
Mulai dari pemilihan pimpinan dan pejabat perguruan tinggi yang seharusnya bebas dari konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang dan suap, yang menurut pemerhati kerap terjadi di IAIN Takengon.
Ekosistem berikutnya yang harusnya dijalankan IAIN Takengon adalah penerimaan mahasiswa baru dan pembelajaran, yang menurut pengamatan pemerhati masih jauh panggang dari api.
Buktinya, selama ini IAIN Takengon sangat jarang melakukan sosialisasi ke sekolah, madrasah dan dayah, khususnya di wilayah Gayo.
Hal ini, membuat keberadaan mahasiswa di kampus itu, menurun drastis. IAIN Takengon bukan menjadi tujuan utama bagi anak-anak negeri melanjutkan pendidikanya. Jika, dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa menurun, hal ini sangat berbahaya bagi IAIN Takengon.
Bisa saja, kampus ditutup atau dimarger dengan kampis lain yang sejenis dan setingkat sama dengan IAIN Takengon.
Belum lagi, ekosistem penelitian, pengabdian masyarakat dan hilirisasi inovasi dan publikasi perguruan tinggi, yang justru tidak terlihat selama ini di IAIN Takengon.
Kampus menurut amatan berbagai pihak, jalan sendiri-sendiri. Kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi hampir tidak terlihat.
Sebagai insan pendidik, civitas akademika IAIN Takengon, selama ini seperti kehilangan arah. Dan Kampus juga tidak memberikan warna diseluruh aspek kehidupan masyarakat Gayo.
Begitu juga dengan pengelolaan SDM, yang menurut penilaian dari pemerhati pendidikan, IAIN Takengon tertuju pada satu orang. Manajemen yang diterapkan selama ini, merupakan manajemen bapak. Semua keputusan ada dipimpinan tertinggi, tanpa berbagi peran untuk kemajuan bersama.
Belum lagi dalam hal pengelolaan keuangan dan pengadaan barang dan jasa yang diharapkan terjadi transparansi anggaran, akuntabilitas dan otomatis/digitaliasi, masih perlu dipertanyakan di IAIN Takengon.
Aspek ekologis lainnya, yang dinilai tidak dijalankan di IAIN Takengon adalah, Administrai Pendidikan, Pengelolaan Aset dan Pengelolaan Kerjasama. Bahkan, di aspek ekologis, akreditasi dan perizinan perannya juga perlu dipertanyakan.
Terkait pengelolaan aset, IAIN Takengon nyatanya belum mampu memaksimalkan. Sebagai contoh, pembangunan kampus di Genting Gerbang, yang mana modal pembangunan yang besar tidak seimbang dengan manfaatnya.
Kurangnya antisipasi waktu pembuatan perencanaan, menjadi kampus di Genting Gerbang terbengkalai dan mulai rusak. Akses terbatas dan terisolir dari arus utama pembangunan Aceh Tengah menjadi salah satu sebabnya.
Pertanyaaannya sekarang, mampukah IAIN Takengon keluar dari carut-marut tersebut?
Mampukah, keberadaan IAIN Takengon, bisa memberi warna diseluruh aspek kehidupan masyarakat dataran tinggi Gayo?
Seperti halnya, keberadaan universitas di Indonesia umumnya, dan jika kita lihat dua universitas besar di Aceh khususnya, UIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (USK).
Kedua universitas di Aceh itu, saat ini bisa memberi warna bagi kehidupan masyarakat Aceh. Para dosennya banyak yang berkontribusi bagi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Hal inilah, tidak terlihat di IAIN Takengon. Para civitas akademikanya tidak berbaur dengan masyarakat. Seolah mereka hanya kerja mencari uang, tanpa ada pamrih kepada masyarakat.
Hal itu, tentunya menyimpang dari peran tri darma perguruan tinggi. Belum lagi, banyak tokoh akademisi, yang ingin berkembang, seolah dipatahkan kakinya, pangkat ditahan, dikeberi, menambah semakin komplek permasalahan di kampus tersebut.
Jika dilihat, pengelolaan IAIN Takengon saat ini, lebih bagus sebelum kampus itu dinegerikan. Banyak tokoh yang muncul, dan mampu menjawab berbagai persoalan di masyarakat.
“Pimpinan kampus saat ini, seperti mengingkari sosok para tokoh pendiri terdahulu seperti, almarhum M Din A Wahab, Mahmud Ibrahim, Almisri dan tokoh-tokoh pendiri lainnya,” kata seorang pemerhati IAIN Takengon, yang namanya enggan disebut.
Menurutnya, seorang guru bangga melihat muridnya sukses. Dan itu, yang terlihat dari sosok kepemimpinan terdahulu kepada penerusnya.
“Dan penerusnya saat ini, lupa akan petuah itu. Dia jalan sendiri, mementingkan uang dan kekuasaan, yang membuat IAIN Takengon dititik nadir kehancuran,” tambahnya.
Dengan kompleksitas masalah itu, tentun kita tak bisa berharap banyak dengan pola kepemimpinan sebelumnya. Harapan itu, saat muncul 3 sosok calon Rektor baru yang diharapkan akan membawa perubahan.
Ada tiga calon rektor yang mendaftar, diantaranya Prof. Dr. Ridwan Nurdin, MCL, Dr. Marhamah, M.Kom.I dan Dr. Shaumiwaty, SS, M.Hum.
Ketiga mereka adalah putra-putri terbaik Gayo saat ini. Dan hanya satu orang yang bergelar guru besar dan laki-laki.
Dengan kondisi tantangan IAIN Takengon, yang begitu besar, apakah saatnya bicara gender? Itu harus dikesampingkan. Saat ini, kampus butuh sosok yang mampu berkomunikasi dengan baik ke segala arah, tidak mementingkan ego sektoral dan yang pastinya agen perubahan bukan agen kekuasaan.
IAIN Takengon, harus kembali kefitrahnya, sebagai kampus jantung hati urang Gayo. Bukan jantung hati, orang haus kekuasaan dan uang. Tentunya, kita tidak bisa berharap banyak kepada Universitas Gajah Putih (UGP) dengan segala permasalahan.
Begitu juga dengan Rektor demisioner, saatnya anda bijak melihat fenomena kampus saat ini. Salah jika anda beranggapan, selama ini masyarakat tidak tahu atau tidak peduli terhadap ekosistem perguruan tinggi yang baik.
Intinya, masyarakat meyakini sebagai rektor demisoner, penerusnya haruslah orang yang lebih baik dari anda. Seperti sosok guru yang hakiki yang bangga kepada penerusnya bisa lebih baik dari dirinya.
Bukan malah, melanjutkan kebobrokan yang terjadi. Begitu juga dengan pemerhati pendidikan dan masyarakat dan pihak lainnya, juga harus mendukung perubahan kampus ke arah lebih baik. Bukan malah mementingkan kepentingan pribadi dengan urusan seperak dua perak.
Semoga terpilih rektor baru yang bisa mengembalikan kembali marwah IAIN Takengon. []