SIAPA Bupati ideal pilihan anda? Itulah pertanyaan survei yang kerap bersiliweran di group WhatsApp dan media sosial lainnya. Pertanyaan Itu adalah survei dari aplikasi google, yang bisa dipakai oleh siapapun.
Di Aceh Tengah dan Bener Meriah juga sama, kerap ada pertanyaan Bupati ideal yang diingini rakyat, bahkan seringkali juga menampilkan sosok muda yang sebelumnya tidak dikenal dalam survei itu. Tapi itulah perkembangan zaman, tak ada jarak lagi untuk mengekpose diri lewat polling yang tersedia.
Bagi saya, polling-polling itu penting untuk mensemarakan demokrasi di daerah, walau sebenarnya hasil dari polling dapat juga mencipta “permusuhan”, lantaran polling tak resmi pun bisa menyangkut “harga diri” dalam persaingan angka pendukung.
Kita di Gayo–bahkan dimanapun–polling juga turut memperkenalkan tokoh-tokoh baru untuk memimpin daerah, walau sebenarnya hanya bertengger untuk beberapa saat saja.
Saya tetap yakin, tokoh yang akan menjadi kandidat Bupati tetap berasal dari mereka yang bekerja untuk rakyat. Bisa berasal dari anggota DPR, Pejabat, Kepala Kampung, pengusaha, dan siapa saja. Saya pesimis bila calon pemimpin itu berasal dari orang yang pragmatis, muncul lantaran matrial. Sebab, pemimpin yang ideal adalah mereka yang eksis di tengah rakyat, walau keharusan punya duit juga.
Namun bila mengunci bahasan “Pemimpin” di Aceh Tengah, saat ini tampaknya kian seru, pasalnya sosok yang digadang-gadang di kancah itu, lebih pada pemilik matrial besar, sebab ada acuan, kata orang-orang, pemenang politik di Aceh Tengah dalam kontestasi legislatif, memang dari kalangan berduit, yang terbiasa punya finansial pendukung untuk menang.
Benarkah? Sulit memang mengatakan tidak walau sebenarnya adalah omongan pasar, bahwa finansial menjadi salah satu cara meraih kemenangan itu.
Satu hal yang harus difahami memang, bahwa pemilik finansial besar tentu dapat dipastikan berasal dari lingkungan “Toke” dan “kontraktor” yang bolehlah disebut “pengusaha”. Disisi lain, ada “politisi” yang sebenarnya lebih dekat dengan peraihan kekuasaan “demokrasi”. Disini “pengusaha” dan “politisi” jelas beda, walau libido kekuasaan sebenarnya sama, hanya cara dan perlakuan dalam pencapaiannya berbeda.
Namun dalam bahasan ini “politisi” juga terbagi dua. Politisi yang menghargai setiap suara rakyat, dan ada Politisi “jadi-jadian” yang biasa bekerja lebih pada penekanan “asal jadi” dan untung-untungan, termasuk ikut berbohong pada Rakyat setelah hasrat tercapai. Inilah kemudian rakyat sering menilai politisi itu busuk dan penipu.
Itu kemudian ada pandangan di kontestasi pemilihan legislatif, adalah “lowongan kerja, dimana “penganggur” terjun menjadi calon, dengan bekal kuat mereka sukses mengalahkan “politisi” sebenarnya, akibatnya, DPR hanya ditempati oleh orang-orang yang cuma hadir, diam, teken, dan pulang.
Namun begitu, memilih kepala daerah berbeda dengan memilih caleg. Skala politik yang dimainkan dalam pemilihan kepala daerah lebih luas dan rawan, walau sebenarnya potensi konflik pemilihan legislatif lebih tinggi dan menyebar. Titik terjadi konflik besar ada pada pemilihan kepala daerah, lantaran lebih terfokus dan lebih emosional.
Yang ingin disampaikan dalam kajian ini, sangat sederhana, yakni meraih jabatan Bupati. Menjadi bupati itu adalah “kekuasaan”. Makanya tidak heran posisi ini diperebutkan banyak pihak, termasuk trendi sekarang pengusaha pun ikut dalam kontestasi itu.
Bila mentelaah dari obrolan liar, pengusaha terjun ke politik karena alasan untuk memuluskan usahanya, sebab menjadi penguasa paling enak, dapat mengutak-atik “pelemahan” jadi “kekuatan” dalam waktu suka-suka. Dapat merumuskan keinginan menjadi mimpi.
Itu sebabnya dalam skala nasional juga kita lihat, kebanyakan Partai politik besar dibangun oleh pengusaha, tentu ini bisa direka sabagai alat untuk memuluskan keinginan mempertahankan “usaha” dan menjadi pengawal aturan-aturan jangan sampai tidak berpihak pada usahanya itu.
Bila menilik dari itu, maka bisa dipastikan kebijakan dan kearifan lokal yang dimiliki Gayo untuk menjadi pemimpin tidak sepenuhnya berlaku, sebab zaman sudah berubah, dimana semua orang dari berbagai profesi ingin menjadi bupati, ingin menjadi penguasa. Maka tak heran bila untuk menuju kepucuk, biasanya hanya diraih oleh mereka yang berduit, atau akan dimenangkan oleh “sosok” berelektabilitas tinggi yang dibelakangnya didukung “pengusaha” bermodal besar juga.
Syair Gelumang Pitu karya Mude Kala sudah menyusun sebab akibat bila menjadi bupati atau pemimpin.
Syair Myde Kala itu
Yang pertama rugi belenye.
Nan pe yang kedue beden payah demu.
Yang ketige kona pitenah
Ke empat mutamah buet diri padu
Yang kelime we kona caci
Ke enam we menjadi ber ate karu
Yang ke tujuh i deye setan
Depet miyen we kona ganggu.
Dalam syair itu jelas bahwa syarat pertama jadi pemimpin siap rugi finansial, artinya seorang pemimpin itu harus rela berkorban materi.
Syair Abdurahim Daudy itu jelas menunjukan bagaimana kekuatan yang harus dilakukan, termasuk menahan fitnah. Namun begitulah politik, celah finansial menjadi lubang masuk orang-orang yang ingin maraup keuntungan besar dan tentu, sekaligus menyelamatkan usahanya. Uang “bersuara” hanya untuk pemenangnya. Kita berharap, Aceh Tengah bukan daerah yang suka menjual “harga diri”, dan menjadikan pilkada bupati berkualitas dan berhasil menjaring orang hebat untuk memimpin Tanoh Gayo. []