Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Pernikahan merupakan janji atau ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, janji ini diungkapkan oleh seorang wali perempuan kepada seorang laki-laki yang akan menjadi suami, dari ikatan janji ini terjadilah ikatan yang agung.
Ikatan yang suci dan ikatan yang serius antara laki-laki yang menerima aqad dengan perempuan yang berada di bawah perwalian.
Sebelum pernikahan terjadi perempuan hidup dalam lindungan orang tua, orang tua sebagai wali bertanggungjawab terhadap semua kebutuhan anak perempuan mereka.
Dan bila orang tua tidak ada (baik karena orang tua telah meninggal dunia atau karena fungsi kewaliannya hilang) maka perlindungan berpindah kepada wali (selain oran tua) sebagai orang yang menggantikan posisi orang tua.
Dengan terlaksananya janji atau aqad maka antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri muncullah hak dan kewajiban, diatara kewajiban suami terhadap istri adalah :
1. Memberi mahar
2. Memberi nafkah sesuai dengan kemampuan
3. Menyiapkan pakaian dan tempat tinggal
4. Menggauli istri secara baik
5. Menjaga istri dari dosa
6. Memberikan cinta dan kasih sayang
Sedangkan kewajiban istri terhadap suami adalah :
1. Mentaati suami
2. Mengikuti tempat tinggal suami
3. Melayani kebutuhan istri
4. Menjaga diri saat suami tidak ada
5. Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Apa yang menjadi kewajiban dari suami itulah yang menjadi hak bagi istri, demikian juga sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri akan menjadi hak suami.
Dalam kajian antara kewajiban dan hak maka tidak kita temukan kewajiban dan kewajiban serta hak dan hak, maksudnya tidak ada yang menjadi kewajiban suami menjadi kewajiban istri juga dan tidak ada yang menjadi hak istri menjadi hak suami juga.
Seperti tentang kewajiban suami terhadap nafkah memberi arti bahwa istri adalah orang yang berhak terhadap nafkah, sedangkan suami adalah orang tidak berhak terhadap nafkah.
Kemudian istri tidak berkewajiban memberi nafkah dan suami juga tidak berhak terhadap nafkah. Akibat dari pemahaman ini walaupun suami tidak sanggup memenuhi nafkah kewajiban tetap berada di pundak suami, istri yang mempunyai kemampuan memenuhi nafkah tidak pernah bertanggungjawab atau tidak pernah berkewajiban memberi nafkah.
Pola pikir berhak dan berkewajiban atau berkewajiban dan berhak dapat dipahami ketika kita melihat fenomena yang ada dalam masyarakat tradisional, dimana pemisahan antara pekerjaan yang mampu dilakukan oleh laki-laki tidak mampu dikerjakan oleh perempuan atau ada perbuatan yang laya dikerjakan oleh perempuan dan tidak layak dikerjakan oleh laki-laki.
Dalam masyarakat modern pola tersebut berubah menjadi semua pekerjaan dapat dikerjakan dan diselesaikan oleh semua orang tidak hanya terbatas pada laki-laki dan juga tidak terbatas pada kepantasan dilakukan oleh perempuan.
Dalam kasus nafkah seperti telah disebutkan dalam fenomena masyarakat tradisional bahwa yang berkewajiban adalah laki-laki. Tetapi kalau dilihat fenomena zaman modern dimana semua perbuatan dapat dilaksanakan dan diselesaikan oleh semua orang, maka semua orang dapat berpenghasilan sama dan dapat memenuhi kebutuhan sama, sehingga dapat melahitkan hukum yang sama.
Untuk itu dapat kita simpulkan bahwa kewajjban nafkah dalam keluarga merupakan kewajiban bersama dan memiliki hak yang sama.
*Ketua Prodi PMH pada Fak. Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.