Oleh. Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Pembahasan tentang sumber hukum dalam kajian hukum Islam menjadi diskusi yang sangat panjang, terlebih ketika hukum Islam menjadi objek kajian para pengkaji Barat tentang Isalam.
Dalam literatur awal Islam tidak ditemukan istilah sumber hukum Islam, tetapi yang lebih dikenal adalah istilah dalil.
Alasan yang digunakan oleh pengkaji muslim atau fuqaha terhadap penggunaan istilah dalil bukan sumber, karena kalau menggunakan istilah sumber ada kesan terputusnya hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Allah.
Seperti halnya kalau dikatakan kalau anda perlu tentang sesuatu memadai dengan melihat atau mengambil dari al-Qur’an dan hadis Rasulullah, artinya selesai dengan al-Qur’an dan hadis tidak perlu kepada yang lebih tinggi yakni Allah.
Istilah yang digunakan oleh para fuqaha untuk al-Qur’an dan hadis adalah dalil. Kata dalil berasal dari dalla, yadullu, yang berarti petunjuk.
Kalau seseorang ingin mengetahui jawaban permasalahan yang dihadapi dalam hidup, kalau seseorang ingin mengetahui hukum dari suatu peritiwa atau kalau manusia ingin mengetahui pilihan yang benar dan salah antara dua pilihan, maka lihatlah petunjuk dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.
Kata sumber hukum tidak hanya ditujukan kepada al-Qur’an dan hadis tetapi juga kepada ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, sadd az-zari’ah, syar’u man qablana dan ‘uruf. Sedangkan bila kita telusuri makna dari masing-masing kata tersebut selain dari al-Qur’an dan hadis adalah sebagai metode dalam rangka memahami al-Qur’an dan hadis.
Para ulama memisahkan al-Qur’an dan hadis dari yang lain serperti telah disebutkan. Dimana al-Qur’an dan hadis mereka sebut dengan dalil munsyi’ dan yang lain (ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah, sadd az-zari’ah, syar’u man qablana dan ‘uruf) sebagai dalil muzhhir.
Dalil munsyi’ adalah dalil yang apabila beramal dengannya tidak memerlukan pengesahan dari dalil-dalil lain (muzhhir) sedangkan untuk beramal dengan dalil muzhhir memerlukan pengesahan dari dalil munsyi’.
Kewajiban yang disebutkan di dalam al-Qur’ dan hadis, seperti shalat, puasa, zakat, haji, memakai pakaian muslim, bersadakah, memelihara anak yatim dan lain-lain tidak perlu ada pernyataan dari para ulama untuk mengamalkan perbuatan tersebut, karena al-Qur’an dan hadis telah menyebutkannya.
Berbeda dengan pengamalan terhadap perbuatan yang belum disebutkan, seperti mengisap ganja, merokok, berjalan sebelah kiri, berhenti di lampu merah, memakai helm dan lain-lainnya.
Kalau kita mengerjakannya kita perlu petunjuk atau pengesahan dari al-Qur’an dan hadis, atau bisa dipertanyakan apakah ada dalil (munsyi’) yang melarang atau menyuruhnya. Kalau ada baru kita kerjakan dan kalau ada larangan maka harus ditinggakan.
Dari pembahasan tersebut dipahami bahwa adat (العادة) bukanlah dalil munsyi’ tetapi merupakan dalil muzhhir. Untuk itu diperlukan upaya para ahli hukum atau fuqaha untuk mencari pengakuan terhadap adat dan tradisi yang dilakukan setiap individu atau masyarakat.
Pengakuan terhadap perbuatan adat dalam ilmu hukum Islam disebut dengan penempelan hukum yang diambil dari al-Qur’an dan hadis. []