Anakku, Engkau di Antara Dua Jenderal (Mengenang Letjen Pur Dr HC Doni Monardo)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

HARI ini, empat tahun lalu, 7 Desember 2019, aku berpesan kepada anakku. “Ketika engkau dewasa nanti, akan terbangun pada dirimu sebuah kesadaran, ternyata engkau pernah berada di antara nostagia dua jenderal.”

Engkau diapit oleh jenderal gerilya pada satu sisi dan jenderal antigerilya pada sisi lain. Bedanya, jenderal antigerilya mendapat fasilitas negara untuk dirinya dan pekerjaannya, sementara jenderal gerilya menggunakan daya upayanya untuk dirinya dan pasukannya.

Kemudian engkau akan sadar bahwa semua berhulu pada peperangan. Peperangan gerilya bermakna mencari kembali identitas yang hilang, sedangkan antigerilya bertujuan mempertahankan status quo.

Pertemuan kedua jenderal itu bermula setelah tsunami yang meluluhlantakkan Aceh. Kepada aku, ayahmu, dia mengaku sebagai seseorang bernama Ibrahim. Dia mengaku sebagai seorang pengusaha dari Meulaboh yang ingin membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.

Pikiran positiflah yang membuat “persahabatan” itu langgeng. Tidak ada cerita tentang konflik. Yang ada hanya keinginan untuk membangun negeri dan manusia Aceh lebih baik usai remuk redam dilantak dua bencana ganda, gempa bumi dan tsunami.

Tsunami merupakan hikmah dan menjadi pintu masuk perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Jasa kedua jenderal itu dalam proses perdamaian adalah “jembatan” Wakil Presiden, Jusuf Kalla, yang menyampaikan surat tawaran damai kepada Panglima GAM, Teungku Muzakkir Manaf. Tidak mudah surat penting itu sampai kepada pimpinan tertinggi militer GAM itu.

Awalnya Jusuf Kalla menyerahkan surat tersebut kepada Teungku Aswin Manaf (Abang Kandung Muallim Muzakkir Manaf). Tetapi Tengku Aswin sendiri tidak pernah berhubungan dengan adiknya. Sehingga, di tengah keputusasaan mencari jalan menyampaikan pesan kepada Muallim, Teungku Aswin Manaf menyerahkan surat tersebut kepada jenderal antigerilya itu.

Kemudian surat tersebut diserahkan kepada seorang kepala sekolah dasar yang sedang bermasalah. Kepala sekolah itu menjalani wajib lapor setiap hari akibat mentransfer dana untuk Muallim dan pasukannya yang bersembunyi di Bukit Rebol.

Jenderal antigerilya membantu pembebasan kepala sekolah malang itu. Karena si kepala sekolah adalah ibu kandung jenderal gerilya. Lantas isi surat itu sampai ke telinga Muallim karena dibacakan lewat telepon.

Sedangkan lembaran surat baru sampai kepada Muallim setelah perdamaian. Surat itu diserahkan kepadanya dalam pertemuan pimpinan GAM di Meure, Kecamatan Indra Puri, Aceh Besar.

Pada 2015, saat ulang tahun Kopassus ke-63, jenderal antigerilya membuka “kedok” bahwa “Ibrahim” itu hanya nama samaran. Sebenarnya, dia adalah aparat militer yang menduduki jabatan sebagai Komandan Jenderal Kopassus.

Jenderal gerilya sempat bengong. Benar-benar tidak disangka. Tapi itulah kenyataan hidup yang harus ditelan pahit-pahit. Kalaulah jenderal antigerilya itu berniat jahat kepada jenderal gerilya, pastilah sudah terhina hidup tanpa harga diri. Lebih hina lagi dari cerita “jenderal kardus.”

Pada saatnya nanti, anakku, engkau mungkin akan menertawakan kami karena menganggap peristiwa di masa lalu itu terlalu tinggi sifat sandiwaraannya. Tetapi percayalah, kami hanyalah pemeran figuran yang mungkin tidak begitu penting.

Kesempatan begitu terbuka untuk jenderal antigerilya menjadi pemimpin negeri ini. Tetapi politik penuh kepentingan. Jenderal yang lurus itupun pensiun dari pemerintahan dan fokus pada hobinya, yaitu menjadi pecinta lingkungan hidup sampai jatuh sakit.

Jenderal antigerilya itu adalah Letjen Purn DR HC Doni Monardo. Dia lahir di Sumatera Barat, 10 Mei 1963, dan wafat pada Ahad, 3 Desember 2023 pukul 17.35 WIB. Semoga Allah menerima amal ibadah dan mengampuni semua kesalahannya.

(Mendale, Desember 7, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.