Oleh: Muhammad Syukri*
Pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024, warga negara Indonesia yang namanya sudah tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), akan menyalurkan hak politiknya.
Menyalurkan hak politik dengan cara mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Disana (secara bergiliran), para pemilih diberi beberapa lembar surat suara oleh petugas KPPS.
Kemudian, mereka dipersilahkan masuk kedalaman bilik suara. Didalam bilik suara itulah pemilih diberi kesempatan menyalurkan hak politiknya.
Sebaiknya (menurut hemat saya), langkah pertama dalam menyalurkan hak politik adalah menyoblos gambar (wajah) calon presiden/wakil presiden Republik Indonesia.
Langkah kedua, menyoblos gambar (wajah) calon anggota parlemen yaitu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) dan anggota Dewn Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Kenapa harus langkah kedua? Disini pemilih diberi kesempatan untuk memilih orang-orang berani. Berani “berteriak” dan bersuara. Berani mengeritik dan mengawasi kinerja presiden terpilih.
Sejatinya, apa yang harus mereka kritik dan awasi? Mengeritik apabila visi, misi, dan janji politik presiden terpilih tidak ditunaikan sebagaimana yang direncanakan atau dijanjikan.
Mengawasi apakah proses pelaksanaan visi, misi, dan janji politik dijalankan secara efektif? Kalau tidak efektif, kenapa? Anggota parlemen harus mencari tahu penyebabnya.
Misalnya kurang anggaran? Maka anggota parlemen harus berani menyetujui penambahan anggaran.
Atau ada faktor X sebagai hambatan. Anggota parlemen harus berani menguliti faktor X sampai terang benderang. Sampai diketahui oleh konstituennya.
Langkah ketiga, barulah pemilih menyoblos gambar (wajah) anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam hal ini, pemilih harus pula memilih orang-orang berani. Berani “berteriak” dan bersuara. Berani mengeritik dan mengawasi kepala daerah.
Sama halnya dengan anggota DPD RI dan DPR RI yang harus “berteriak” mengawasi pelaksanaan visi, misi, dan janji presiden terpilih.
Maka anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota harus berani pula mengeritik apabila visi, misi, dan janji politik kepala daerah tidak ditunaikan sebagaimana yang direncanakan dan dijanjikan.
Lalu, mengawasi apakah proses pelaksanaan visi, misi, dan janji politik dijalankan secara efektif? Kalau tidak efektif, kenapa? Anggota DPRD harus mencari tahu.
Misalnya kurang anggaran? Maka anggota DPRD harus berani menyetujui penambahan anggaran.
Atau ada faktor X sebagai hambatan. Anggota DPRD harus berani menguliti faktor X sampai terang benderang. Sampai diketahui oleh para pemilihnya.
Seandainya pemilih menyoblos gambar (wajah) calon anggota DPD, DPR RI, dan DPRD yang pendiam dan tak berani “berteriak,” kira-kira apa yang akan terjadi?
Absolute power, presiden atau kepala daerah akan menjadi penguasa tanpa dikritik atau diawasi. Artinya sebuah pemerintahan tanpa penyeimbang kekuasaan (tanpa balancing of power).
Dampaknya? Seperti kata Lord Acton (1833-1902) bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen”).
Corrupt seperti dikatakan oleh Lord Acton bukan hanya berarti korupsi, tetapi corrupt dalam arti luas. Diantaranya, rusak, jahat, buruk, kotor, tidak murni dan tidak jujur.
Nah, sekarang semua terpulang kepada anda, para pemilih yang budiman. Memilih orang-orang yang berani “berteriak” untuk mengawasi pelaksanaan visi, misi, dan janji politik presiden terpilih dan kepala daerah?
Atau, memilih orang-orang yang pendiam dan tak berani “berteriak?” Maka kita akan memasuki era absolute power. Wallahualam bis sawab.
Takengon, 16 Oktober 2023