Oleh : Ita Safitri, S.Pd*
Masih segar dalam ingatan saya beberapa minggu yang lalu, tepatnya tanggal 5 September 2023, kasus bunuh diri di Kampung Nosar Baru Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah. Korban meninggalkan catatan pribadinya sebelum melakukan gantung diri di sebuah pohon pete di kebunnya.
Membaca isi catatan pribadi melalui chat WA korban tersebut sungguh sangat pilu, tersayat hati saya sebagai anak juga ibu mendengar kejadian tersebut.
Kejadian itu sontak viral di tanah Gayo. Pasalnya kasus bunuh diri tersebut meninggalkan catatan pribadi korban di handphone miliknya yang ditunjukkan khusus untuk orang tua korban pada senin 04 September 2023.
Adapun isi dari pesan tersebut adalah bahwa korban mengucapkan rasa terima kasih kepada teman-temannya yang sudah memberi dia support yang baik selama ini, dia juga berpesan bahwa dia lahir ke dunia ini tidak diminta melainkan karena titipan Allah SWT semata.
Kemudian dia mengatakan bahwa ibunya seolah tidak bahagia bila ia ada di rumah sehingga ia ingin kembali pulang saja “meninggal dunia” sebab sudah tidak sanggup lagi hidup. Fisik ku lemah, mentalku lemah jadi lebih baik aku pulang duluan, begitulah isi dari catatannya.
Catatan dari korban tersebut merupakan gambaran dari model pengasuhan orang tua zaman ini, bukan berarti saya mau menyalahkan siapapun. Tapi hanya ingin mengungkapkan kepada seluruh orang tua, dimana pun ia berada, siapapun dia.
Jadilah orang tua yang bijak, yang mampu menganalisa kebutuhan anak. Apalagi ibu, ibu sangat memiliki peran strategis dalam rumahnya, dialah titik sentral kehidupan orang-orang yang tinggal di dalam rumah. Andai ibu tidak mengetahui peran strategis ini maka tunggulah akibatnya kelak ketika anak mulai dewasa.
Ada banyak sekali kejadian atau fakta yang saya lihat di lapangan, khususnya ibu-ibu yang berada di tanah Gayo walaupun mungkin tidak semuanya demikian, adalah menjadi orang tua berperilaku toxic bagi anak-anaknya di rumah.
Sebutan orang tua toxic adalah gambaran orang tua yang memberikan pengaruh negatif pada anak. Ciri-ciri dari toxic ini adalah orang tua lebih mementingkan egonya dari pada anak, melecehkan kemampuan dan fisik anak, sering memarahi anak, melakukan penyiksaan fisik atau verbal kepada anak, sering membuat anak merasa bersalah, tidak pernah menghargai anak, selalu menyalahkan anak, dan menuntut secara berlebihan.
Terkadang, ciri-ciri demikian sebagian orang tua menjadikannya sebagai alasan dari bentuk kasih sayang yang di berikan kepada anak. Namun, tahukah ayah bunda, hal demikian justru sangat mempengaruhi perkembangan emosional anak.
Perilaku orang tua yang tidak bisa mengontrol emosi atau mudah marah sering terjadi di sekeliling kita. Saat anak melakukan kesalahan ayah bunda mudah sekali marah, membentak bahkan memukul anak. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor penyebab kerenggangan antara orang tua dan anak.
Sehingga ketika anak keluar dari rumah dia malah mencari tempat ternyaman untuknya. Namun kenyataannya juga, lingkungan tempat ia mencari kenyamanan pun ternyata tidak memberikan efek penguatan pada mental anak tadi.
Terindra jelas bahwa masyarakat sekarang ini mengemban perilaku individualis, mereka bahkan jauh dari agama.
Menarik untuk kita melihat sumber atau akar yang menjadikan masyarakat hidup secara individualis, karena tidak mungkin hal ini terjadi begitu saja kalo tidak ada penyebabnya.
Sekulerisme yang menggempur setiap aspek kehidupan mengakibatkan masyarakat hidup secara individualis. Tidak lagi mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat, slogan adat Gayo “anakku adalah anakku, anakmu adalah anakmu”, telah membuat masyarakat individualis tak lagi mengemban slogan ” Anakku ya anakmu. Anakmu juga adalah anakku”.
Misalnya kasus khalwat antara remaja laki dan perempuan yang berboncengan, masyarakat zaman dulu langsung menegur walaupun yang melakukan khalwat tadi bukan anaknya tapi anak tetangganya, hal ini dilakukan atas dasar perbuatan yang dikenal dengan istilah _sumang_ .
Berbeda dengan saat sekarang ini, budaya kepedulian tersebut hilang dari tanah Gayo tersebab kemajuan zaman yang membawa sekularisme lebih cepat sehingga tercipta masyarakat individualis bukan masyarakat yang memiliki rasa peduli yang tinggi.
Jadi jika ada anak yang berkhalwat berboncengan dengan yang bukan mahram di diamkan saja tanpa diberi teguran atau nasihat karena yang penting bukan anaknya yang berkhalwat akan tetapi anak dari tetangganya.
Kesalahan fatal orang tua juga adalah menyerahkan seluruh pendidikan anak ke sekolah, sekolah di ibaratkan mesin cuci yang mampu membersihkan anak yang bersikap amoral. Orang tua lupa bahwa di rumahlah pendidikan pertama sekali didapatkan oleh anak. Baik buruknya sikap anak tergantung pada pola asuh kedua orang tuanya dirumah. Rasullah SAW bersabda :
“Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. ( HR. Bukhari dan Muslim
Begitu juga dengan penuturan dari Imam Al-Ghazali, ia mengatakan bahwa “Setiap anak adalah amanah bagi orang tuanya. Setiap anak memiliki qalbu (hati) suci sebagai mutiara atau perhiasan yang berharga.
Jika setiap anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik, ia akan tumbuh dengan kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika di biasakan berbuat yang tidak baik dan di telantarkan pendidikannya seperti hewan, ia akan celaka dan merugi. Oleh karena itu, setiap anak harus dilindungi dengan cara mendidik, meluruskan, dan mengajarkannya akhlak yang baik”.
Akar masalahnya ada pada sekularisme tadi, dimana budaya ini telah menggeluti setiap aspek kehidupan dan juga mencabut fitrah orang tua sebagai ibu atau ayah, dikarenakan mereka lebih fokus mengejar materi sehingga lupa dengan pendidikan anak dalam rumah.
Gempuran budaya luar (Sekularisme) ini tak kalah hebatnya membawa dampak negatif bagi anak, sebab itu orang tua sekarang ini dituntut harus lebih cermat dan cerdas melindungi anak-anaknya dari serangan budaya dan mendidiknya dengan pemahaman Islam.
Ada beberapa hal yang perlu ayah bunda sadari bahwa karakter anak dimasa golden age ditentukan oleh pengasuhan kita dirumah, dan jika tidak sesuai pendidikannya maka efeknya akan terlihat disaat anak tumbuh dewasa kelak.
Pertama, Anak di masa golden age banyak gerak dan tidak bisa diam. Hal ini bisa jadi penyebab ayah bunda di uji kesabarannya untuk tidak marah-marah dan melarang anak bermain akan tapi sebagai orang tua harus mengawasi bahkan boleh ikut serta bermain dengan anak.
Kedua, Anak itu adalah imitater ulung, Ia akan meniru apa-apa saja yang ayah bunda lakukan di rumah, dalam hal ini orang tua harus menjadi teladan yang baik untuk anak-anak di rumah.
Ketiga, anak tidak bisa membedakan mana yang salah dan benar. Maka ayah bunda harus memaklumi anak, tidak marah hingga tegang urat leher.
Keempat, anak banyak bertanya. Ini kesempatan terbaik ayah bunda untuk menanamkan aqidah yang kokoh terhadap anak, mengenalkan ia kepada penciptanya yaitu Allah SWT, agar ia menjadi pribadi yang senantiasa merasa diawasi oleh-Nya hingga timbul rasa takut untuk bermaksiat dalam dirinya.
Kelima, anak itu memiliki ingatan yang tajam. Ini mengapa anak itu disebut menjadi imitater/peniru ulung dari apa-apa yang dilakukan orang tuanya dirumah.
Keenam, anak suka di apresiasi dan disemangati.
Andai orang tua dengan pengasuhan toxic yang tidak menghargai justru malah menjatuhkan mental anak, tidak menyemangati anak maka anak akan merasa kecewa karena tidak di hargai oleh orang tuanya, dan yang terakhir adalah anak cenderung berpotensi memiliki perasaan takut, marah dan cemburu.
Karakter masa golden age tersebut harus disadari ayah bunda sehingga ayah bunda menjadi bijak dalam bersikap. Tidak mudah marah dan berkata kasar.
Sayangilah anak-anak kita, beri ia pendidikan yang baik. Kenalkan ia pada rabbnya. Sebagaimana yang pernah diajarkan Lukman pada anaknya dalam QS. Lukman:17
Allah SWT berfirman:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)
Wallahu a’lam