Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Siapapun ahli sejarah dan kebudayaan harus mengakui bahwa Islam telah memainkan peran penting dan besar dalam menggerakan gelombang peradaban dunia dibarat dan ditimur.
Di Nusantara, peranan Islam sangat kental mempengaruh perjalanan sejarah berdirinya republik ini. Islam mengubah sistem keyakinan, cara berpikir, pola kebudayaan, struktur sosial, dan prilaku politik yang sangat penting.
Islam sebagai kekuatan politik menjadi penentu dalam tata kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, baik pada masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan sampai sekarang.
Interaksi intensif dalam bidang politik, bisa disimpulkan dengan suatu pernyataan;kekuasaan akan stabil jika penguasa mampu melakukan “kemesraan” dengan Islam.
Jujur harus kita akui, kondisi hari ini massa Islam berbanding terbalik dengan dahulunya. Islam bagai menara gading hanya dijadikan pajangan tidak mempunyai posisi berganing yang mempunyai daya tekan yang urgent dalam percaturan politik.
Bagaikan buih-buih dilautan terombang-ambing mengikuti arus yang terkadang telah mengeluarkanya dari fitrahnya sebagai rahmatanlilalamin. Suara ummat Islam menjadi rebutan, didekati, dirayu, dimanja, diimingi dengan janji-janji muluk yang mempesona menjelang pesta demokrasi.
Sejarah perjuangan politik ummat Islam di Indonesia memang mengalami babak-babak yang melelahkan sebelum akhirnya “kalah”.
Di sisi lain, fakta-fakta dapat kita amati, yaitu golongan Islam memang pernah secara politis memainkan peran yang dominan di republik ini. Pada masa lalu, mereka selalu mendapat tantangan dari sesama kalangan Islam dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis atau bahkan komunis.
Berkembangnya pemikiran bahwa Islam merupakan agama yang individual. Dengan kata lain cukuplah seorang muslim dikatakan baik bila ia sering shalat, sering puasa, sering naik haji.
Sedangkan urusan-urusannya dengan masalah politik ekonomi dan lain-lainnya tidak pernah ia kaitkan dengan nilai-nilai agama. Jadi, dengan demikian ada semacam dikhotomis antara agama dengan kehidupan duniawi.
Dikhotomis antara masjid dengan luar masjid.
Hal diatas diperparah lagi dengan unsur integritas pribadi. Dia tahu Islam mengatur masalah-masalah ekonomi, politik dan lain sebagainya, tapi tidak mempunyai keinginan untuk menjabarkannya ke dalam prilaku sehari-hari.
Jadi, belum memiliki kepribadian yang utuh yang totalitas. Dan secara kebetulan banyak politikus yang kondisi keberagamaannya demikian.
Kita mengetahui, tanpa kemampuan dan strategi politik tidak mungkin Rasullulah dulunya mampu untuk menaklukan Jazirah arab dalam kurun waktu 23 tahun dengan karakter bangsa yang jahiliyah.
Politik secara terminologis biasa diartikan sebagai the art of next possible. Seni tentang kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
Sementara secara akademis politik tentu saja adalah segala ihwal yang berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik yang dalam bahasa kita juga bisa mengandung arti konotasi pula sebuah taktik,trik,dan cara untuk mencapai tujuan sesuatu.
Dalam bahasa populer, politik adalah politik. Politik yang demikian lazimnya cenderung menghalalkan segala cara atau yang kerap disebut politik machiavelis. Dari sana lalu tumbuh pendapat umum bahwa politik adalah kotor (Politic is dirty).
Bagi orang awam pendapat umum semacam itu karuan saja menjadi makin kuat. Mereka acuh tak acuh terhadap politik. Barangkali inilah yang pantas disebut buta politik. Mereka yang bukan tidak tahu,tapi tidak mau tahu politik.
Pandangan yang mengutamakan politik di atas segalanya ini terlihat dalam perilaku sosial seseorang. Pandangan agama secara utuh, dalam hal ini dasar-dasar aqidah, tampaknya dikesampingkan.
Akhirnya, yang muncul adalah pandangan-pandangan politis yang cenderung mensimplifikasikan semua persoalan. Harap diketahui dalam dunia politik seperti itu sering yang terlihat hanyalah warna hitam dan putih alias lawan dan kawan
Sulit untuk diingkari bahwa Islam mampu menembus ruang dan waktu, Islam mampu hidup dalam masyarakat yang liberal maupun komunis sekalipun, Islam mampu menghadapi penguasa yang paling demokratis sampai yang paling dektator (Lihar Fir’un, Namrud dan Ratu Bilqis).
Secara umum kalau kita lihat perkembangan Islam saat ini yang mudah dikerjai dan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di sekelilingnya itu bermuara dari dua hal.
Pertama,justru dari kebodohan atau kemalasan ummat Islam itu sendiri dalam mengkaji kembali ajaran Islam yang mereka yakin dengan bereferensi kepada Al-Qur’an/Hadits.
Kedua, adalah usaha-usaha yang dilakukan musuh-musuh Islam yang berusaha memisahkan ummat Islam dari ajarannya. Dan dari dua persoalan itulah yang menyebabkan sekarang ini massa Islam menjadi buih-buih terambang-ambing. Kita mayoritas tapi yang mengatur dan menentukan kita minoritas.
Dan jika sekarang sebagian besar ummat Islam buta terhadap persoalan politik, bukan berarti Islam tidak punya konsep tentang politik dan bukan juga berarti Islam tidak peduli terhadap masalah politik. Tetapi kesalahannya ummat Islam itu sendiri yang selalu ingin semua serba instan.
Kalau kita lihat sejarah para Nabi dan Rasul, mungkin sulit untuk diterima akal tentang keberhasilan mereka dalam memperjuangkan Islam.
Jika tidak memiliki bekal penguasaan politik (bukan politik dalam arti sempit), dengan apa mereka mampu menundukkan faham-faham yang berkembang di masa itu, dengan apa mereka menjaga/membentengi ummat Islam dari serangan-serangan para musuhnya dan dengan apa mereka mampu menghadapi para penguasa yang berkuasa saat itu ?
Kita harus mengakui bahwa tahun 2023 ini sebagai tahun politik. Dimana mulai bermunculan wajah-wajah humanis yang sok akrab, sok peduli, sok pinter, sok hebat, sok dermawan, sok kritis dan lain sebagai.
Hanya satu tujuan mereka itu supaya jangan kemana-mana menjatuhkan pilihan kita pada tanggal 14 Februari 2024 yang akan datang. Tempatkan suara anda kepartai itu dengan urutan sekian untuk legislatif dan gambar ini untuk bupati, gubernur dan presiden.
Fenomena itu sah-sah saja terjadi dan merupakan peristiwa hajatan 5 tahun sekali terjadi dinegeri kita ini.
Kita harus melek politik, tanpa politik kita akan menjadi mangsa yang empuk dimasa depan. Munculkan rasa kepedulian kita. Kita harus peduli politik. Jangan lagi ada kata ah, ngak usah urus politik, yang penting kita baik, yang penting tidak mengganggu kita.
Kita masih bisa ibadah, dan lain sebagainya. Tapi, nanti ketika mereka sudah banyak. Baru kita sadar. Baru lawan. Tidak ada artinya lagi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan ustad Das’ad Latif S.Sos, S.Ag., M.Si., Ph.D asal Sulawesi selatan.
Walaupun terkadang kita muak, sudah biasa kita lihat dalam dunia politik. Semua rela dilakukan orang. Agama bisa dianggap gampangan. Sorban bisa jadi andalan, agar dipandang religius padahal hanya pencitraan. Ayat suci dan hadist nabi dipakai untuk meyakinkan. Agama di pasar politik, di jual demi kepentingan”.
Kita harus bisa memilah dan memilih dengan mengembang literasi yang kritis, bisa memilih mana berita akurat dan tidak sembarang mengesher berita-berita tanpa bisa dipertanggungjawabkan tidak kebenarannya (Hoax) yang merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya atau memutarbalikan fakta. Jadilah pemilih yang cerdas dan kritis.
Penulis pernah membacan di media social (whatsApp) hal yang sangat menarik; sering terjadi omongan : gak usah bahas bahas politik lah di group ini ! Group ini khusus silaturahmi /bahas akademik/pendidikan. Sekilas omongan tersebut benar akan tetapi kebablasan ! (mereka tidak sadar itulah salah satu konsep komunis) menjauhkan umat dari politik.
Silaturahmi PENTING Mas ! Tapi melek Politik juga PENTING Mas ! Ini Mengingat kan Ucapan Pentolan PKI-DN Aidit : PISAHKAN AGAMA DAN POLITIK ! Nah..loe….Jadi intinya adalah KITA. HARUS MELAWAN setiap ajakan atau omongan yang menyuruh kita untuk BUTA POLITIK !
Why???????? Karena Islam memerintahkan kita untuk BER-POLITIK ! Mencontoh Rasulullah SAW.
*Penulis seorang antropologi yang berdomisi diseputaran Kota Takengon.