Oleh : Fauzan Azima*
SETIAP kali saya bertemu dengan mantan pasukan GAM, kebanyakan dari mereka selalu mengeluhkan kondisi kehidupan. Sasaran utama, yang disalahkan, atas keadaan hidup mereka adalah pimpinan, terutama Wali Nanggroe, Yang Mulia Teungku Malek Mahmud Al-Haytar dan Muallim Muzakkir Manaf sebagai panglima mereka.
Bagi saya, Wali dan Muallim tidak salah. Bahkan menjadikan dua sosok penting itu sebagai pelampiasan adalah sebuah kesalahan. Mereka tidak mungkin menyenangkan semua pejuang. Mereka juga seperti kita, yang memiliki keterbatasan. Kalaupun mereka pernah duduk di dalam pemerintahan, aturan keuangan negara tidak mengizinkan mereka membagi-bagikan uang seperti membagi nasi dari panci.
Secara pribadi, saya pun tidak punya solusi terhadap apa yang mereka keluhkan. Keadaan saya pun tidak lebih baik dari mereka. Serba salah kalau saya menanggapi. Salah memberi jawaban bisa berakibat fatal. Dianggap musuh. Bahkan dicap pengkhianat; sterotif yang paling hina di kalangan pejuang. Saya hanya memberikan tanggapan kepada orang-orang yang saya kenal baik dan mengenal saya dengan baik pula.
Waktu memang mengubah kita, bekas kombatan. Satu hal yang pasti, semakin lama pamor mantan pejuang semakin luntur. Tidak ada lagi perintah yang bisa mendatangkan kesejahteraan, seperti di masa lalu. Popularitas ternyata punya masa kadaluarsa.
Mau tidak mau, kita terpaksa bekerja seperti masyarakat umum sesuai kemampuan. Kalau berbakat dalam urusan niaga, maka jadilah pedagang. Kalau hanya punya kemampuan sebagai petani, bukalah lahan dan mulailah bercocok tanam.
Waktu juga yang melupakan segalanya. Seperti melupakan ulang tahun nama yang pernah diperjuangkan dulu, sebagaimana dia pernah lupa arti bahagia seperti saat mereka berada di gunung memperjuangkan kebahagiaan.
Satu pesan saya, jangan mentang-mentang pernah berjuang lalu berharap diistimewakan. Jangan mengeluh ke mana-mana. Sampaikan saja keluh kesah itu kepada Tuhan. Lantas Allah menjawab, “Kami tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah diri mereka.”
Waktu memang mengubah segalanya. Segalanya. Jika dulu banyak pejuang yang menganggap diri sebagai pahlawan, saat ini banyak pula yang merasa perjuangan itu sebagai aib. Betapa tidak, pengorbanan masyarakat bagi pejuang belum bisa kita balas sampai pada saat ini. Layaknya aib, harus ditutupi.
Kalaulah dana otonomi khusus merupakan dana konpensasi perang, siapa yang menikmati uang itu. Saat ini, banyak cerita, terutama dari sejumlah aparatur sipil dan orang yang pandai memutar cerita, yang mem-branding diri sebagai orang paling berjasa dan berdiri di barisan paling depan saat menghadapi lawan bersenjata. Ini adalah klaim yang hanya dilakukan segelintir mantan kombatan.
Dalam proses demokrasi saat ini, misalnya, para kombatan silakan mendukung jagoan masing-masing pada pilihan anggota legislatif, pilihan presiden, gubernur dan bupati atau wali kota. Tapi jangan berharap imbalan berupa proyek atau dana kandidat yang didukung.
Jadikan apa yang kita perjuangkan sebagai ladang amal atau sedekah jariah yang tidak pernah putus walau kita sudah tiada, seperti saat dulu. Saat kita bergerilya di hutan. Kalau jagoan kita menang, lalu mereka memperjuangkan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia Aceh, setidaknya itu menjadi pahala bagi kita.
Percayalah bahwa semua yang kita lakukan memiliki makna, memiliki arti. Mungkin dianggap tidak spesial; bukan sesuatu yang istimewa. Jika dulu orang di kampung merayakan lebaran dan hari besar bersama keluarga, para pejuang Gerakan Aceh Merdeka merayakan hari istimewa itu di tengah hutan. Pejuang sejati tak pernah berharap fasilitas istimewa dari negara dan orang-orang di sekeliling.
Berbahagialah karena di segala kesulitan dan kesusahan yang menghimpit saat itu memberi kebahagiaan pada ribuan, bahkan jutaan, orang. Mungkin perjuangan itu tidak dikenang dan dilupakan, tidak mengapa. Berbahagialah karena berkat petunjuk Allah, perjuangan itu menjadikan Aceh negeri dan diri kita sebagai pribadi yang lebih baik.
(Mendale, Juli 30, 2023)