Dia Refresentasi Alam Semesta

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

ORANG menyatakan cinta lewat puisi, bunga dan intan permata. Yang lebih ekstrem menyatakannya dengan jumping di atas Ducati. Tidak dengan kekasihku. Dia cukup puas dengan panggilan “Permaisuri hatiku”.

“Selain ungkapan permaisuri hatiku, apakah ada request dengan panggilan keren lainnya?” Aku bertanya padanya untuk menguji kedalaman cinta dan keteguhan hatinya.

“Permaisuri hatiku adalah ungkapan yang sangat luar biasa, belum pernah terlintas. Meskipun cerita pasangan suami istri atau kekasih dengan panggilan itu. So sweet banget,” begitu balas WA-nya.

Tapi pujian itu tidak harus selalu diucapkan. Tidak semua teks WA bisa dijawab dengan phrase “Terima kasih permaisuri hatiku”. Salah-salah, kita bisa dianggap mengada-ada. Kadang aku harus memancing suasana agar keluar kalimat nasehat darinya.

“Dalam komunikasi kita hari ini, dari terbit matahari di timur sampai terbenam matahari di barat, adakah canda, tawa, sikap dan pendapat, yang membuat ‘teupeh ate’ sayangku?” tanyaku dengan agenda tersembunyi.

“Perbedaan dua insan dilatarbelakangi pengalaman, kebiasaan dan pengetahuan yang membuat. Mereka berbeda pandangan tentang satu masalah, so dalam hubungan kita bisa saja terjadi. Begitupan tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk ribut. Semua bisa didiskusikan, panglima hatiku,” dia menjawab, diplomatis.

“Terima kasih permaisuri hatiku,” tanpa jeda aku mengunci jawabannya.

Bahagia bukan dusta. Sungguh, ungkapan “panglima hatiku” juga membuat hatiku berbunga-bunga. Kata-kata itu memantik rindu sekaligus menguatkan di saat aku sering ragu dengan apa yang aku rasakan

Berdialog dengannya membuat aku merasa seperti bangsawan dari Kerajaan Brunei Darussalam yang mengisi hari hanya dengan kebahagiaan. Mereka tidak tertarik bicara tentang penderitaan. Kehidupan mereka dihiasi cerita tentang makanan, kendaraan dan pelancongan.

Aku bersaksi dengan dua mata yang normal dan modal bisa berkata-kata, aku bisa tahu melalui sorot bola matamu tentang arti kesungguhanmu berucap “panglima hatiku.”

Saling bersaksi tentang ungkapan “permaisuri hatiku” dan “panglima hatiku” sebagai paduan zat dengan sifat yang tidak terpisahkan dan menjadi “sah adat”. Lantas kemudian bermetamorfosa menjadi “syahadat”; yang tidak diragukan lagi wujud alamnya.

Selanjutnya, aku tidak kuasa menipu diriku sendiri bahwa aku selalu rindu kepadanya. Rasa selalu ingin bertemu serta tidak akan pernah jemu membayangkan dia yang telah mengarahkan fikiran dan hatiku agar hidup lebih bermakna.

Bersamanya, aku merasa cukup. Aku mengerti arti nikmat. Aku merasa kuat sekaligus lemah. Semua menjadi lengkap dan aku tidak perlu mencari-cari lagi sesuatu yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Karena dia adalah representasi dari alam semesta beserta seluruh isinya, yang diciptakan Allah hanya untukku.

(Mendale, Juni 20, 2023)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.