Diangku: Romansa yang Tersamar Waktu di Gayo

oleh
Korpus Bahasa Gayo Digital yang Dibuat Zulfikar Aman Dio. (Ist)

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Di tengah gemericik senja yang memeluk lembah bukit barisan, ketika bayang-bayang bukit mulai menyapu ladang kopi, ada satu kata yang terpahat dalam ingatan: Diangku.

Sebuah panggilan sayang yang kini terlupakan. Diangku pernah menjadi nyanyian jiwa bagi sepasang kekasih di tanah Gayo.

Lebih dari seabad silam, sebelum dering ponsel atau pesan radio membelah udara, Diangku adalah bahasa hati yang diwariskan dari generasi ke generasi—sebuah simbol cinta yang tak terucapkan, namun menggema dalam diam.

Radio, Penjaga Kisah di Punggung Bukit
Pada 1980-an, ketika Takengon masih diselimuti sunyi malam, Radio Amor—yang kemudian bermetamorfosis menjadi Amanda—menjadi penjaga waktu.

Denting gitarnya yang klasik, mengalun syahdu lewat Romansa De Amor, menjadi penanda akhir siaran. Namun, jauh sebelum itu, radio telah menjadi sahabat para petani yang menjinjingnya ke kebun.

Digantungkan di ranting kayu, suaranya menemani irama cangkul dan sabit. Tapi ketika alunan musik khas pengumuman duka terdengar, seluruh bukit seakan berhenti bernapas.

Para petani menunduk, mendengarkan nama yang pergi, seolah kematian adalah isyarat alam yang harus dihormati bersama.

Ketika senja pulang, radio beralih menjadi gadget para remaja. Sambil pulang sekolah, kupon radio sebagai sarana pesan ditulis dengan pesan dari hati.

Beru-bujang yang malu-malu menuliskan rindu di secarik kertas, berharap suara Rudi Gagola atau Basdatiga (Basarudin) akan membacakannya.

“Bung Rudi” dengan suara cepatnya, seringkali diselingi lagu permintaan, membuat hati berbunga-bunga. Ada yang mengirim puisi cinta sepanjang kupon A4 terbagi tiga, ada pula yang hanya berani menulis nama samaran.

Pesan-pesan itu, meski tak selalu sampai, menjadi jembatan hati yang mengantarkan tak sedikit pasangan ke pelaminan. Radio, bagai kupu-kupu yang membawa pesan cinta bersemi di udara.

Diangku: Cinta yang Tersembunyi dalam Kerling Malu
Namun, jauh sebelum radio hadir, cinta di tanah Gayo memiliki bahasanya sendiri.

Diangku—panggilan sayang yang kini nyaris punah—adalah cerminan keromantisan yang tak tergantikan. Jika kini orang berbisik lewat layar, dulu cinta diutarakan melalui saudari perempuan. Mereka menjadi kurir hati, menyampaikan kabar dari kekasih yang tak berani bertatap muka.

Setiap pertemuan di sawah atau kenduri, menjadi kesempatan untuk menangkap kerlingan mata yang hanya dimaknai oleh mereka yang saling memanggil Diangku.

Tak semua kisah berakhir manis. Saat cinta terancam, tradisi neik (muneik) atau sangkan menjadi jalan terakhir—prosedur adat yang memaksa hati untuk melepaskan.

Namun, seberapa pun pahitnya, kata Diangku tetap terpatri sebagai bukti bahwa cinta di sini tak pernah sederhana. Ia adalah puisi yang diucapkan dalam diam, doa yang terbang bersama angin, dan janji yang diikat oleh adat.

Denting Cinta yang Menembus Zaman
Kini, denting gitar Radio Amor mungkin telah diganti dering notifikasi, tapi Diangku tetap hidup sebagai legenda.

Ia adalah Romansa De Amor yang tak pernah usang, mengingatkan kita bahwa cinta, dalam bentuk apa pun, selalu menemukan jalannya. Entah lewat kupon radio, atau bisikan malu di balik selendang adat, Diangku adalah jiwa dari segala kisah—abadi, meski tak lagi terdengar.

Note : definisi kata Diangku (sayang ku – kekasih ku…) bisa dilihat di https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Diang

sedangkan untuk muneik ada di https://github.com/Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo/wiki/Teik#neik

*Peneliti Sejarah dan Budaya Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.