Catatan Masa Konflik (Bag.2) : Orang Jawa, Bambang Sriyono Jadi Pelatih GAM Wilayah Gayo Lues

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

KONFLIK menanamkan jejak kebencian yang dalam. Saat Gerakan Aceh Merdeka berkonflik dengan Pemerintah Indonesia, maka suku Jawa dianggap sebagai representasi dari musuh. Padahal yang dimaksudkan Wali Nanggroe, Tengku Hasan Tiro, dengan Jawa bukanlah suku Jawa. Bukan orang Jawa sebagai pribadi, melainkan Jawa, atau tepatnya Jakarta, sebagai pusat pemerintahan Indonesia.

Aceh, dan umumnya orang di Sumatera, memang menganggap Jakarta adalah Jawa. Itu karena letak geografis provinsi itu berada di Pulau Jawa. Padahal orang yang menetap di Jakarta, Banten, atau Jawa Barat ogah dipanggil Jawa. Yang mereka maksud dengan Jawa adalah daerah-daerah yang berada di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Apa lacur, doktrin itu kadung mendarah daging. Kebencian berlebihan kepada pemerintah merasuki kepala setiap simpatisan GAM. Seorang simpatisan GAM di Jakarta, misalnya, dengan mudah mengambil telepon genggam milik orang lain yang mereka jumpai dengan alasan itu barang milik orang Jawa. Bahkan ada seorang kawan yang mengencingi lift dengan alasan fasilitas umum itu milik orang Jawa.

Orang yang lebih tua juga bersikap sama. Kebencian itu didorong oleh pengalaman pahit di masa Presiden Soeharto berkuasa. Berbagai macam penindasan dirasakan oleh generasi Aceh yang lebih tua selama Soeharto memimpin. Mulai dari perampasan tanah, kekerasan bersenjata, hingga perampasan hasil bumi.

Seorang sahabat pengagum dan penulis buku kata-kata mutiara Soekarno asal Pidie, Muhammad Tito, sering mengutip kalimat dari buku Profesor Denys Lombard berjudul Nusa Jawa Silang Budaya kepada saya. Dalam buku itu ditulis frasa “the most javanese people are unpredictable (sebagian besar orang jawa tidak bisa diprediksi)”. Tito mengatakan, yang dimaksud sikap tidak bisa diprediksi itu adalah tidak dapat dipercaya.

 

Bambang Sriyono Kini Jadi Pedagang Buku Bekas di Jakarta. (Ist)

Kami juga sering mengutip dan memutar balik isi buku Muchtar Lubis berjudul Manusia Indonesia, sebuah Pertanggungjawaban. Dalam buku ini, banyak diceritakan tentang keburukan orang Jawa yang dianggap munafik (hipokrit). mereka enggan bertanggung jawab, berperilaku feodal, gandrung terhadap takhayul dan berkarakter lemah.

Sedikit saja hal buruk tentang Jawa segera menyebar di tengah masyarakat Aceh yang dirundung konflik. Semua itu menjadi alat propaganda untuk merusak persepsi masyarakat dan menambah kebencian pada orang Jawa. Hal yang sama juga dilakukan tentara yang sama seperti yang terjadi di Aceh. Dalam perang semua mungkin terjadi.

Namun GAM bukan tidak pernah bersinggungan dengan suku Jawa. Saat itu, seorang mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI Serpong), Bambang Sriyono alias Pang Mubarak, ditunjuk untuk melatih kemampuan tentara GAM di Gayo Lues bertahan dalam hutan. Pasukan GAM sendiri tetap mencurigai Bambang dan menganggapnya tidak bisa dipercaya. Atau jangan-jangan Bambang adalah petugas intelijen Kopassus, salah satu musuh bebuyutan GAM pada zaman konflik.

Banyak pula pejuang GAM di Wilayah Linge, Aceh Tengah dan Bener Meriah, berdarah Jawa. Tengku Siswoyo dan Tengku Aman Nanang adalah pejuang GAM sejati dan syahid di tengah perjuangan. Begitupun salah seorang pendiri GAM, Tengku Ilyas Leubee, punya saudara angkat di Kenawat Lut yang sangat setia. Saudaranya itu bernama Aman Iyem.

Konfrontasi dengan suku Jawa pada masa konflik adalah kesalahan besar dalam perjuangan GAM. Karena dari penuturan sejumlah kawan berdarah Jawa, mereka ingin berjuang untuk Aceh kalau cara dan tujuannya mulia. Ketika Panglima GAM Muzakir Manaf alias Muallim berada di Bukit Rebol, anggota TNI organik asal Jawa rela meninggalkan beras dan kebutuhan lain untuk membantu perjuangan GAM.

Kehadiran Bambang Sriyono (ayah dan ibunya lahir di Gombong, Jawa Tengah) di dalam GAM, seperti keberadaan mantan Kapten Angkatan Darat AS, Nathan Algren (diperankan Tom Cruise) dalam film The Last Samurai. Ini adalah film drama perang Amerika Serikat yang dibuat pada 2003 dan disutradarai oleh Edward Zwick. Dalam film itu, Nathan Algren membantu Kaisar Jepang menumpas kaum Samurai yang menentang kaisar Jepang yang melakukan modernisasi.

Pasukan Nathan kalah dan dia sendiri disandera kaum Samurai. Dia dibawa ke desa tempat tradisi samurai menjadi budaya hidup yang kental di sebuah kampung di Jepang. Di sini, Nathan terpincut dengan kebaikan warga kampung itu. Bahkan dia menjadi teman diskusi pemimpin komunitas itu. Dan akhirnya bergabung dengan kelompok samurai.

Tapi tetap saja keputusan itu mendapat pandangan miring. Nathan tetap dicurigai karena bagaimanapun dia berasal dari ras berbeda. Nathan masih dianggap musuh. Kepercayaan terhadap orang asing itu baru didapat setelah Nathan menunjukkan kesetiaan kepada pasukan samurai dan berhasil memenangkan sejumlah pertempuran.

Hal yang sama mungkin dirasakan oleh Pang Mubarak. Dia beberapa kali dikepung oleh pasukan Pemerintah Indonesia. Termasuk pada kejadian di Pasir Putih, tempat syahidnya Pang Manti dan Pang Perintis. Dalam kejadian itu tiga orang menyerahkan diri. Pang Mubarak memilih tetap berjuang. Bahkan dia bertahan seorang diri selama dua bulan di hutan belantara.

Dalam kesendirian itu, Pang Mubarak menggunakan seluruh pengetahuannya tentang alam liar. Dia memutuskan untuk mencari makanan ketimbang orang. Dia memanfaatkan potensi alam untuk bertahan hidup. Dia mengunakan alam untuk memulihkan kondisi tubuh yang lemah setelah berperang. Setelah merasa cukup kuat, lantas Pang Mubarak mencari orang untuk menuntunnya kepada pasukan. Sekilas kisahnya mirip peran Tom Hanks pada film Cast Away yang diproduksi pada 2000.

Hidup sebagai buruan memang tidak mudah. Pang Mubarak menghabiskan waktu sendirian dan terus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain agar tidak terdeteksi tentara musuh. Waktu berjalan sangat lambat. Sampai akhirnya Pang Mubarak memutuskan untuk menemui Rusli, warga kampung Agusen. Di sana dia menetap beberapa hari sambil mengobati ibu Rusli yang sakit akibat keseleo.

Setelah beberapa hari Pang Mubarak meneruskan perjalanan untuk mencari pasukan. Informasi yang didapati dari masyarakat di Badak Uken, pasukan bersembunyi di daerah Uning Tenesok. Kaki tangan yang membantu di daerah itu adalah Aman Rabuddin, ayah Pang Rencong.

Tetap tidak mudah bagi Pang Mubarak untuk meyakinkan Aman Rebuddin dan masyarakat kampung bahwa dia adalah bagian dari GAM. Bahasa Gayo yang keluar dari mulut Pang Mubarak tirul alias tidak fasih. Berbagai cerita dan cara dilakukan untuk meyakinkan mereka sampai akhirnya mereka bersedia mengantarkan Pang Mubarak. Mereka berencana menghabisi nyawa Pang Mubarak jika dia terbukti berbohong.

Setelah berjalan jauh, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat. Lantas Pang Mubarak memanggil nama-nama anggota pasukan, seperti Merpati, Ucak, Eges dan Thulen. Tak lama kemudian, nama-nama itu keluar dari persembunyian. Mereka saling berpelukan. Masyarakat kampung, yang awalnya curiga, akhirnya meminta maaf kepada Pang Mubarak. Sejak itulah pasukan GAM dan masyarakat percaya bahwa Pang Mubarak adalah pejuang sejati. Bukan pengkhianat atau intel yang menyusup ke teretori lawan.

Pang Mubarak juga bersama-sama pasukan saat mereka dikepung di Berhut, Penosan. Pada pengadangan yang dilakukan pagi hari itu, Pang Merpati syahid. Pang Mubarak menyelamatkan diri bersama Pang Ucak ke daerah Bukit Batu. Pada kejadian itu terliat sebuah helikopter mendarat di lokasi kontak senjata. Pang Mubarak melihat dari jarak sekitar 400 meter sejumlah anggota TNI menggotong empat kantong mayat.

Pang Mubarak dan Pang Ucak bergegas meninggalkan tempat itu. Di belakang mereka, sekitar 12 orang anggota TNI menyisir lokasi untuk mencari keberadaan Pang Mubarak cs. Tidak lama. Setelah suara peluit panggilan terdengar, pasukan TNI balik kanan. Pang Mubarak dan Pang Ucak tidak meneruskan lari karena lokasinya terlalu terbuka. Mereka memutuskan berhenti di antara hutan dan sabana.

Pang Mubarak datang ke Aceh pada 1999. Dia berkenalan dengan Taufik Abda yang seolah-olah memberikan bantuan untuk masyarakat lewat Pang Mubarak. Padahal bantuan itu ditujukan pada pasukan GAM. Kemudian kembali ke Jakarta.

Lalu Pang Mubarak kembali ke Aceh pada 2001. Dia datang menggunakan bis yang dipesan oleh Azmi Abu Bakar. Nama pemuda Aceh itu populer setelah memukul bekas gubernur, Ibrahim Hasan, di Jakarta. Tujuan pertama Pang Mubarak adalah Seumirah, sebuah daerah di Aceh Utara. Dari sini, dia berencana masuk ke wilayah Alas, tapi skenario itu tidak terwujud. Di Medan dia sempat menumpang di rumah kos Robby Syahputra, bekas komisioner KIP Aceh, dan Tengku Adam Muchlis alias Pang Ali Gergel Pirak. Nama terakhir membantu Pang Mubarak sampai ke Gayo Lues.

Pang Mubarak keluar dari Wilayah Gayo Lues setelah gempa bumi dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Pada malam sebelumnya, 25 Desember 2004, juga terjadi gempa bumi. Imam kampung Badak Uken mengatakan gempa bumi itu adalah isyarat bahwa perang akan berakhir dan masyarakat Aceh bakal hidup aman.

Pang Mubarak senantiasa meyakinkan para pejuang tentang pentingnya bersikap konsisten. Sesulit apapun situasi dalam peperangan, seorang pejuang jangan pernah menyerah. Pang Mubarak meyakinkan setiap pejuang GAM yang dia temui bahwa perang pasti berakhir dengan damai. Meskipun sejujurnya dia berharap Aceh Merdeka dan dia bisa hidup selamat.

Di Badak Uken pula Pang Mubarak bertemu dengan Pang Jack Gayo yang kebetulan memiliki telepon genggam. Pang Jack meminta Pang Mubarak untuk memberikan kabar kepada keluarga di Jakarta yang menganggap dirinya telah tewas. Awalnya Pang Mubarak enggan menuruti permintaan itu. Tetapi karena selalu didesak, Pang Mubarak menerima telepon genggam itu.

“Gua Bembeng (saya Bambang), bilang ke kawan-kawan gua masih hidup,” kata Pang Mubarak. Kabar itu diterima oleh Azmi, orang yang pertama mengirimnya ke Aceh. Azmi meminta Pang Mubarak untuk kembali ke Jakarta. Meski saat itu status Aceh beralih menjadi darurat sipil, tekanan terhadap GAM semakin gencar.

Tidak mudah bagi Pang Mubarak keluar dari hutan. Sampai kemudian Pang Jack Gayo mengahubungi salah seorang kerabat bernama Iyes. Dia tinggal di Kampung Raklunung, Blangkejeren. Mereka lantas mengatur siasat untuk mengeluarkan Pang Mubarak dengan selamat.

Lalu Iyes menjemput Pang Mubarak di sebuah lokasi pada pukul 10.00 WIB dengan sepeda motor. Sekitar pukul 13.00 WIB, Pang Mubarak berangkat ke Medan dengan angkutan umum. Sialnya ternyata di perbatasan Aceh Tenggara dan Sumatera Utara, daerah Lawe Deski ada sweeping TNI/ Polri. Semua angkutan diberhentikan. Sepuluh aparat keamanan memeriksa angkutan yang dia tumpangi. Semua diminta turun dan diperiksa satu per satu. Sebagian dari mereka dipukuli karena terbata-bata menjawab pertanyaan dan tidak punya identitas. Tidak seorang pun lolos dari pemeriksaan, kecuali Pang Mubarak.

“Kalau benar perjuangan saya, maka selamatkanlah saya, namun kalau perjuangan saya salah, biarlah saya mati di sini” bisik hati Pang Mubarak.

Sesampainya di Medan, Pang Mubarak melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan bergabung dengan aktivis lain yang bersimpati pada perjuangan Aceh Merdeka. Bagi Pang Mubarak, Aceh atau Jawa hanya jarak. Aceh atau Jawa sama-sama ditindas oleh penguasa.***

(Raklunung, Juni 12, 2023)

Baca Juga ; Catatan Masa Konflik (Bag.1) : Keluarga Datok Pining, Energi Baru GAM Wilayah Gayo Lues

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.