Oleh : Wisnu Hasan (Noerwisata)*
Sejak beberapa tahun terakhir masalah sampah di Kabupaten Aceh Tengah, khususnya kota Takengon menjadi sorotan berbagai pihak, baik oleh warga setempat maupun warga luar daerah yang pernah berkunjung ke kota berhawa sejuk itu.
Dalam kesempatan ini penulis tidak ingin, dan tidak akan menyampaikan kritik dalam bentuk apapun terhadap penanganan sampah yang menumpuk di hampir setiap sudut kota. Karena sedikit banyak penulis telah memahami betapa rumitnya penanganan sampah yang mendapat sorotan tajam dalam beberapa minggu terakhir, termasuk oleh pengguna media sosial.
Minimnya biaya operasional pengangkutan sampah ke tempat pembuangan sampah (TPS) serta keterbatasan TPS membuat penanganan sampah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Adanya penolakan sejumlah warga terhadap keberadaan TPS di sekitar lingkungan mereka membuat penanganan sampah semakin rumit. Pun demikian, dalam kesempatan ini penulis mengapresiasi kinerja para petugas kebersihan yang tetap berupaya maksimal di tengah segala keterbatasan.
Sayangnya tidak semua orang memahami situasi di lapangan sehingga para petugas kebersihan yang telah bekerja siang dan malam tidak luput dari kritik masyarakat.
Kembali ke persoalan semula tentang penanganan sampah yang tak juga kunjung selesai meski Aceh Tengah telah mengalami suksesi dari Shabela Abubakar ke T. Mirzuan.
Di sini penulis mencoba menawarkan sebuah solusi sederhana, dimana solusi yang penulis tawarkan diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah mengatasi masalah sampah.
Adapun solusi yang penulis tawarkan adalah solusi “green” alias solusi hijau yang lebih ramah lingkungan sekaligus memberikan nilai ekonomi bagi sebagian masyarakat yang berkecimpung di dapamnya.
Lewat metode ini terbuka kemungkinan agar sampah yang selama ini dipandang sebagai “kotoran” yang tidak berguna diubah menjadi sebuah sumber daya baru yang memberikan kontribusi baik secara ekonomi maupun secara ekologi.
Hal tersebut memungkinkan apabila sejak awal dilakukan pemisahan terhadap aneka jenis sampah. Misalnya sampah organik dengan non organik, sampah plastik dan non plastik, dan seterusnya. Dengan demikian proses penanganan sampah menjadi jauh lebih mudah.
Terdapat aneka sampah yang sebenarnya dapat didaur ulang (recycled). Secara teoritis sampah yang dapat didaur ulang dapat diolah menjadi produk tertentu, atau setidaknya dapat dijual kembali ke penampung. Dengan demikian sampah tersebut memiliki nilai ekonomi.
Selanjutnya, juga terdapat aneka jenis sampah yang dapat diolah menjadi pupuk kompos hanya dengan perlakuan tertentu.
Dibutuhkan metode sederhana agar sampah tersebut ditumpuk, diberi cairan senyawa tertentu untuk mempercepat penguraian dan menyimpannya sementara waktu. Setelah itu pupuk kompos siap dijual dan didistribusikan kepada para petani yang membutuhkan.
Penulis sepenuhnya menyadari, mengeluarkan sebuah gagasan merupakan hal mudah, namun untuk mewujudkankannya tidaklah semudah yang dibanyangkan.
Dibutuhkan keyakinan, komitmen serta konsistensi agar sebuah ide dapat terwujud, tidak tekecuali dengan penanganan sampah di kota Takengon yang sebentar lagi dijadikan sebagai komoditas politik. []