Partai Singa, Kisah Sang Awan Banta

oleh

Cerpen Oleh : Riski Saradi*

Semenjak siang tadi seperti tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti dan hari terus beranjak petang. Aku juga terperangkap di gubuk tua, gubuk yang sengaja dibuat untuk berteduh dikala lelah dan hujan seperti ini.

Gubuk yang berada di tengah kebun ini selalu menjadi saksi atas peluh petani kopi seperti kami. Lah, hujan mestinya juga harus disyukuri. Toh hujan bulan September hingga Desember membawa cinta dan kasih, yang bertanda panen kopi akan dimulai.

Ditengah rintik hujan aku dan kakekku selalu menghidupkan api untuk menghangatkan diri dan sambil bercerita hal-hal yang tidak pernah aku ketahui. Aku selalu senang apabila kakek selalu berdongeng tentang kehidupan hewan dalam di hutan yang menurutku tidak jauh beda dengan cerita-cerita manusia.

Aku dan kakekku memang begitu dekat. Itu bermula ketika ayah dan ibuku bercerai semenjak aku berumur 2 tahun. Aku tidak begitu ingat mengapa itu terjadi dan kakek tidak pernah ingin menceritakannya, yang aku tahu adalah aku seorang gadis kecil yang berumur 9 tahun yang bernama Salma, cucu dari kakek Banta dan kini tinggal bersamanya.

Petang ini kakek bercerita bahwa Singa sebagai raja hutan sudah mulai tidak kuasa menghadapi rakyat-rakyatnya. Hal itu disebabkan oleh kesalahannya sendiri yang telah bersekutu dengan manusia untuk memudahkan karirnya. Hal itu diketahui oleh serigala, ia dikenal sebagai hewan yang pandai mengalah, sehingga ia menempati kedudukan tertinggi di yayasan hewan bermoral.

Buntut dari kejadian itu sang raja hutan dipenjara di dalam gua dan harimau lah yang naik tahta, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil dari sang singa. Seluruh hewan menyerahkan harapannya kepadanya.

“Kek, kenapa bisa singa dan harimau berkoalisi. Bukankah kata kakek mereka berdua berbeda prinsip. Singa sebagai umara dan Harimau sebagai ulama?”, tanyaku dengan cepat memotong kakek bercerita.

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia kehewanan, Salwa. Semua bisa dilakukan untuk nafsu tertentu,” jawab kakek sambil tersenyum.
Di kepalaku masih terniang jawaban kakek. Atau mungkin hanya di dunia manusia yang telalu banyak batasan sehingga perdebatan-perdebatan seperti itu sering muncul. Ah sudahlah. Aku ingin mendengar lebih jauh dongeng ini.

Harimau punya tahta, partai Singa sudah tak punya kuasa. Hampir dua tahun lebih Ia sendirian menjalankan roda kepemimpinan di dalam hutan dan akhirnya Ia di sandingkan bersama Beruang dalam menjalankan sisa kepemimpinan.

“Kamu tahu kenapa bisa beruang yang menduduki kursi wakil, salwa?” Tiba-tiba kakek bertanya padaku sembari memasukkan sisa-sisa kayu kedalam bara api.

“Tidak kek. memangnya kenapa, apakah karena namanya. Ber-uang?”
“Tidak dong, dia dipilih secara Demokrasi oleh Dewan Perwakilan Hewan”
“Dia memang telak salwa.hahaha”.
“Kenapa kakek tertawa?”

“Lucu saja salwa, menurut beberapa hewan itu bukan pemilihan antara Beruang dengan Kelinci. Tapi antara beruang dan hati nurani”
“Hujan sudah sedikit reda Salwa. Ayuk pulang!. belum sholat Ashar”
“Alaahhhhhh. ayuk”ucapku yang merasa tidak puas dengan dongeng yang terputus di tengah jalan.

Sembari mengemas rantang nasi aku mencoba memecahkan maksud dari pemilihan wakil bukan tentang beruang dengan kelinci tapi antara beruang dan hati nurani. Kalimat itu mengangguku. Berkali-kali kutanyakan pada kakek yang sedang sibuk memadamkan api namun Ia enggan menjawab.

“Kek apa maksud dari beruang melawan hati nurani tadi kek?”
“Sudah, besok lagi kita lanjut ceritanya”
“Cepat kemas barang-barangmu. Waktu Ashar juga sudah mau habis”

Ah. menyebal sekali rasanya menyimpan sesuatu yang kuanggap penting tapi harus menunggu di hari esok. Tapi tidak apa, biar aku pecahkan sendirian kalimat itu malam nanti. [SY]

*Riski Saradi adalah seorang anak yang lahir dari cinta seorang ibu dan ayah yang bernama Siti Nurma dan Ali Sahran. Lahir di Pante Raya, 25 Desember 1995, anak ketiga dari lima bersaudara, sekarang ini berdomisili di kampung Pante Raya.

Saat ini penulis menjalani kehidupan sehari-hari seperti pemuda biasanya, sebelumnya ia adalah lulusan Strata 1 di Universita Malikussaleh Aceh, di Fakultas Pertanian Prodi Agribisnis. Ketika itu juga ia aktif di berbagai organasasi internal dan eksternal kampus, seperti Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Agribsinis (HIMAGRI), Dewan Penasehat Himpunan Mahasiswa Gayo dan Alas (DPH HIMAGA), Sanggar Emun Beriring dan lain-lain. Meskipun ia tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang Sastra, namun ia selalu tertarik dengan bidang menulis.

Hal ini membuat ia memiliki hobi menulis, salah satunya menulis puisi. Hal itu juga membuat beberapa karyanya terbit di media online, sosial, dan ia juga sering mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan puisi.

Kecintaannya terhadap puisi membawanya sering tampil dibeberapa kegiatan seni pertunjukan, perlombaan dan demo di jalanan. Kisah percintaan dan konflik anak muda dan kondisi sosial sering ia angkat sebagai tema dalam puisi-puisinya, dna ia juga berharap, karyanya mampu menginspirasi anak muda menjalani hidup dengan lebih baik. Buku Antologi Puisi Tunggalnya yang telah terbit berjudul “KEDET”, The Gayo Institute (TGI, 2021. []

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.