Oleh : Fauzan Azima*
SECARA umum isi kitab suci dan peristiwa-peristiwa besar serta perjalanan para tokoh adalah kinayah. Tokoh, tempat, waktu dan bagaimana peristiwa itu terjadi benar adanya. Kemudian kenyataan itu dijadikan ungkapan, entah sebagai nasehat atau sekadar sindiran. Hanya saja semua catatan itu dikembalikan hikmahnya kepada diri sebagai suatu petunjuk mengenal diri. Sehingga kitab suci Alquran sebagai kinayah maka juga disebut sebagai kitab diri.
Sebagai contoh dalam QS Al-Lahab pada ayat ke 4 dan 5. Begitu pula Istri Abu Lahab yang membawa kayu bakar dan di lehernya ada tali sabut yang dipintal. Pertama istrinya sebagai orang yang selalu membawa kayu bakar dan berkalung sabut, tetapi itu juga dimaknakan sebagai tukang fitnah yang sewaktu-waktu, setiap waktu, menyemburkan fitnah dari mulutnya sebagai mana sabut yang mudah terbakar. Fakta dan makna tersirat itulah disebut kinayah.
Peristiwa menjemur padi di kampung adalah keseharian. Setiap kali pula padi dijaga agar aman dari gangguan unggas; ayam, bebek dan burung. Meskipun unggas berseliweran padi harus tetap dijemur, hanya harus dijaga. Artinya peristiwa menjemur padi dan kemungkinan padi dipatok ayam benar-benar ada, tetapi peristiwa itu dikiaskan ke dalam bentuk lain. Begitulah makna kinayah.
Ungkapan enti nyemur arapni kurik dimaknakan menjadi jangan membuka rahasia kepada khalayak ramai. Tapi secara khusus jangan bercerita tentang ilmu (doa) kepada orang banyak karena dikhawatirkan digunakan untuk kepentingan kejahatan. Bukan saja kejahatan kepada orang lain, kesialan bisa jadi dikembalikan untuk mencelakai si pemberi ilmu.
Konsekuensi dari ungkapan enti nyemur arapni kurik mulai dirasakan oleh generasi now; generasi yang semakin dahaga di tengah kering kerontang ilmu nenek moyang mereka. Yang tersisa hanyalah generasi tanpa percaya diri, merasa rendah diri bahkan tidak paham siapa dia sebenarnya.
Secara syariat kita bisa mengurai silsilah diri. Tapi tidak secara secara batin (sejati). Kita gagal memahami siapa diri kita sebelum sesi ini; siapa orang tua batin? siapa saudara batin? Apakah semua pengetahuan tentang hal itu terhijab karena kesalahan kita di masa lalu?
Beruntung kita masih mendengar cerita. Tapi bagaimana nasib mereka yang awam atau bahkan apatis? Bisa jadi kita makhluk bukan manusia tapi berwujud manusia; hal yang mungkin melatarbelakangi nasehat orang tua dulu, “jangan pernah terjebak dengan wujud.”
Para pesalik (orang-orang perjalanan) sebelum sampai ke tujuannya diuji dengan segala macam cobaan. Dari majelis zikir ke majelis zikir, dari kesepuhan ke kesepuhan, dari halaqah ke halaqah, ziarah ke makam keramat, permainan barang antik, uang ghaib, bahkan terjebak dalam praktik perdukunan sampai “gile nahu” tapi cari yang satu itu belum berjumpa. Sekali lagi alangkah ruginya kalau ceritanya saja tidak tahu.
Kinayah enti nyemur arapni kurik membuat para guru membuat perjanjian dengan murid-muridnya pada pukul 3 dini hari dengan volume suara dibatasi hanya terdengar antara mereka saja sehingga tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur. Artinya ada pembatasan pendistribusian ilmu. Sehingga saat ini kita merasakan, bukan saja kerendahdirian pribadi, tetapi juga mengalir jauh ke seluruh negeri ini dan menciptakan pribadi-pribadi tanpa harga diri.
Andai Ama Mukim Kala membagikan sedikit ilmunya kepada anaknya atau pemuda tetangganya tentu tidak begitu sulit bagi kita mencari “guru dena” maupun “orang yang tidak punya keturunan.” Begitupun andai Yusuf Menteng mau membagikan ilmunya, tentu kita tidak takut membenturkan kepala dengan kereta api dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Demikian kalau para orang tua dulu mengajarkan tentang energi tentu barangkali Tengku Daud Beureueh tampak pandai di depan Bung Karno.
Apa boleh buat, nasi menjadi bubur. Tak perlu disesali. Kepopuleran kita harus bergeser akibat terlalu banyak kesalahan yang kita dan generasi sebelum kita perbuat sebelumnya sehingga kita semakin dibutakan dari ilmu pengetahuan. Berusaha keluar dari lumpur kesalahan sulit, jika kita tidak menebus kesalahan tersebut dengan laku benar, eling dan jujur (BEJ).
Tidak ada pelaku salah yang tidak dihukum; hanya soal cepat atau lambat; besar dan kecil sesuai porsi kesalahan. Kesulitan dalam hidup bagian dari hukuman. Rupa yang jelek pun bagian dari hukuman. Sehingga rupa yang tidak elok agar tertutupi dengan kebaikan. Begitulah selalu ada penyeimbang antara keburukan dengan kebaikan.
Lakon kinayah enti nyemur arapni kurik sudah kita lalui dan konsekuensinya pun sudah kita terima. Pada akhirnya untuk bangkit tiada kata lain yang ditulis dalam hati; lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Sisa-sisa dari pernak-pernik berupa puzzle ilmu yang tercecer disusun kembali untuk dijadikan satu bangunan ilmu yang utuh dan harus segera distribusikan kepada anak cucu.
(Mendale, April 3, 2023)