Oleh : Dr. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*
Dalam hidup bernegara, berbangsa,bermasyarakat, berkelompok, berkeluarga, dan bersuami istri (unit terkecil dalam suatu masyarakat dan negara) kita akan dihadapkan pada problem dan tantangan hidup yang sama.
Sebangsa, senegara, semasyarakat, sekeluarga, sepasang suami istri; semua itu adalah hubungan sepaket yang tidak mungkin dipisahkan siatuasi dan keadaannya, artinya dalam apa jua keadaannnya selama imbuhan “se” masih melekat pada kata-kata itu, maka dalam semua hal mereka senasib.
Nasib bangsa Indonesia jadi bangsa konsumen, bukan produsen; negara dunia ketiga, itu artinya seluruh bangsa Indonesia yang merasakan atau yang menanggung predikat itu. Seperti apa keadaan suatu negara, bangsa, masyarakat, keluarga, pasangan itulah yang disebut dengan nasib.
Kata ‘nasib’ berasal dari bahasa Arab yang artinya bagian, jatah, peruntungan, dan sebagainya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasib diartikan sebagai sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang; taqdir.
Kita tidak tau siapa yang berkontribusi pada KBBI tentang arti nasib ini; definisi seperti ini bermuatan teologis atau condong pada teologi tertentu dalam diskursus agama. Definisi seperti ini akan membuat orang lemas dan patah semangat.
Bayangkan kalau sebangsa dan senegara Indonesia orang memegang definisi yang singkat itu, maka sebangsa dan senegara Indonesia akan lemas lunglai, berarti Indonesia tidak maju-maju karena memang sudah taqdir.
Dari aspek kebudayaan, definisi yang dibangun oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sudah harus ditinjau ulang dan dikoreksi berdasarkan capaian pemahaman teologi dan ideologis bangsa Indonesia saat ini.
Sudut pandang teologis bangsa Indonesia saat ini lebih dari satu sudut sehingga perspektif manusianya tentang nasib juga semakin terbuka, optimis, dan antroposentrik, kebalikan dari definisi KBBI yang teosentrik.
Dalam perspektif antroposentris, nasib itu adalah hasil dari suatu proses, bukan ketentuan awal. Karena hasil maka ada proses yang menentukan. Sama halnya manusia yang lahir, ada proses yang mengawalinya.
Yang ditetapkan Tuhan hanyalah alam semesta, sehingga Dia menyebut dirinya Rabbul ‘Alamin, Penentu atau Sutradara alam semesta, yang ditetapkan adalah hukum-hukum alamnya yang bersifat pasti dan konsisten. Karena sifat tetap dan konsisten (qadha) itulah alam ini bisa dipelajari manusia.
Secara ragawi atau fisik, manusia juga bagian dari hukum alam. Bagaimana fisik manusia terbentuk, lahir, besar, sakit, sembuh, menua, hingga mati adalah proses hukum alam yang bersifat qadha atau hukum alam yang tetap dan konsisten.
Pada manusia yang diberi peran sebagai khalifah itu diberi aspek ruhiyah yang disebut dengan jiwa (nafsun) dengan semua kompetensinya seperti memahami, merasa dan meyakini. Dengan kemampuan berpikir, merasa dan meyakini inilah manusia bisa menubuhkan dan menumbuhkan kebudayaannya.
Karena itulah banyak bangsa yang menubuhkan negara yang kebudayaannya (kemampuan berpikir kolektifnya) terus tumbuh dari waktu ke waktu; bahkan menjadi contoh teladan bagi bangsa lain; yang dulunya juga pernah berada dalam nasib atau kondisi yang rendah; sebut saja Jepang, Korea, Singapura, dan lain-lain.
Karena sebuah bangsa adalah gambaran manusianya, maka piranti yang ada pada manusia-manusia yang bersepakat menjadi bangsa itulah yang menentukan kemajuan dan kemunduran bangsa itu itu, piranti itu adalah jiwanya.
Sebangsa, semasyarakat, sekeluarga, sekampung semestinya adalah kumpulan manusia yang sejiwa, betapapun banyaknya hingga 1,6 Milyar seperti China dan India, tapi sejiwa itu diawali oleh sepasang manusia yang disebut suami istri (Adam dan Hawa); bukan Adam dan Adam atau Hawa dan Hawa seperti gejala destruktif yang mengglobal saat ini).
Mindset baru untuk taqdir
Pertama, konsep taqdir. Taqdir adalah ketetapan Allah yang bisa diukur atau dihitung secara ilmiah. Islam adalah agama berbasis ilmu, bukan berbasis mitos atau dongeng yang tidak bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.
Bahwa seseorang atau banyak orang bisa mati karena virus adalah ketetapan Allah, tetapi sebaliknya seseorang dalam upaya tertentu dapat dicegah dari mati karena virus juga taqdir, karena itu konsep taqdir harus dibumikan, tidak boleh melangit.
Kedua, semua ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi berbagai disiplin ilmu adalah upaya-upaya manusia untuk menjawab permasalahan hidup. Upaya-upaya itu semuanya terukur dengan baik, karena masing-masing ilmu ada disiplin, artinya ada keteraturan teori untuk menjelaskan setiap gejala alam, gejala sosial, dan gejala budaya; tiga macam gejala yang melahirkan tiga rumpun besar ilmu pengetahuan: ilmu-ilmu alam; ilmu-ilmu sosial; dan ilmu-ilmu budaya.
Ketiga, upaya berbasis ilmu itulah yang disebut dengan kasab(kasab).
Ketentuan Allah adalah mati, sehat, sakit, dan sebagainya; tetapi dengan potensi yang ada pada manusia diberi kesempatan yang sama untuk menggunakan kasab-nya (upayanya) untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik; kesehatan, kedamaian dan kerukunan, harta benda, regenerasi, keselamatan, dan sebagainya.
Keempat, percaya kepada taqdir adalah percaya pada apa yang ditunjukkan secara ilmiah karena ilmiah itu obyektif. Karena itulah Allah mengawali pewahyuannya dengan “iqra” (baca) apa yang sudah ada di alam semesta. Baca bukan lagi mengaji, bagi level kita yang sudah dewasa, semuanya harus dikaji; bukan lagi mengaji. Siapapun harus mengkaji, dan mengkaji tidak dimulai dari nol; ilmu pengetahuan telah berkembang sejak lama dan kita harus percaya dan yakin dengan kebenaran ilmiah, karena Tuhan Allah adalah Zat yang sangat ilmiah.
Upaya (kasab) manusia dalam berbagai bidang ilmu terus-menerus berkembang dari waktu ke waktu; karena perubahan yang terus terjadi. Tidak ada ilmu yang berhenti berkembang, karena itu capaian ulama dan ilmuwan di masa lalu harus dianggap sebagai tangga untuk masa depan.
Merubah Nasib
Nasib suatu negara, bangsa, masyarakat, keluarga, pasangan suami istri bisa berubah semua diawali dari menyetel jiwa (mindset)-nya. Steven R. Covey sebagaimana dikutip oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ 165-nya menyatakan bahwa semua perubahan nasib diawali dari ide atau gagasan yang merupakan fakultas jiwa.
“Tebarlah ide petiklah perbuatan, tebarlah perbuatan petiklah kebiasan, tebarlah kebiasan petiklah karakter, tebarlah karakter petiklah nasib”. Ide, perbuatan, kebiasaan, karakter adalah sikap atau respon manusia terhadap qadha Allah berupa alam semesta sumber kehidupan manusia.
Ketetapan Allah (qadha) berupa alam semesta itu wujudnya nyata, terukur dan terhitung; bisa dipelajari, diteliti, diungkap, diolah oleh manusia yang berjiwa. Upaya jiwa inilah yang disebut dengan kasab (upaya atau proses).
Jika qadha Allah tidak bisa dipelajari maka akan bertentangan dengan perintah Allah untuk berpikir, membaca, meneliti alama semesta dengan segala isinya. Konsep taqdir ini bisa saja berbeda dengan konsep taqdir dalam ilmu tauhid klasik, namun sesungguhnya bermuara pada upaya menyingkap kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. []