Oleh : Fauzan Azima*
Sekarang saatnya sudah akan masuk ke pintu gerbang masa transisi; dari kepemimpinan hartawan menuju kepemimpinan adat. Sehingga kita di Aceh tak perlu heran, kepemimpinan adat akan kembali bangkit. Teuku Mirzuan sebagai PJ Bupati Aceh Tengah salah satu refresentasi dari skenario besar itu.
Sebagai mana kita tahu, nusantara telah mengalami lima pergiliran kepemimpin; sebelum kemerdekaan negeri ini dipimpin oleh kaum adat dengan sistem kerajaan dengan gelar Sulthan dan uleebalang, kemudian direbut oleh kaum agamawan; ditandai Tengku Daud Beureueh sebagai Gubernur militer di Aceh.
Kemudian giliran kaum intelektual menjadi pemimpin; Teungku Ali Hasyimi sebagai Gubernur di Aceh. Selanjutnya ketika Soeharto berkuasa negeri ini dipimpin oleh militer, kini negeri ini dipimpin oleh kaum hartawan.
Jokowi adalah refresentasi dari kaum hartawan. Istimewanya pemerintahan Jokowi adalah transisi dari kaum hartawan untuk kembali kepada kaum adat. Salah satu tandanya penyelenggara negara yang sering memakai pakaian adat dalam acara-acara kenegaraan.
Kaum adat pernah memimpin negeri ini, ketika sistem pemerintahan masih di bawah sistem kerajaan (kesultanan), tetapi harus tumbang karena malapetaka cinta seorang agamawan dan tersebarnya berita hoax yang memfitnah kaum uleebalang. Sehingga terjadilah pembunuhan terencana terhadap kaum adat atas dasar kebencian dan ingin merebut kekuasaannnya.
Hampir 500 tahun Aceh menjalankan sistem pemerintahan “Adat bak poeteumeureuhoem, hukom bak Syiah Kuala atau bersatunya kaum adat dan ulama (zat dan sifat yang tidak terpisahkan) harus berakhir oleh tersulutnys hawa nafsu amarah segelintir orang yang punya kuasa untuk membunuh.
Sejarah kelam itu hanya pengulangan, sebelumnya pada abad ke 16, dalam sejarah, hiduplah dengan damai dua orang penasehat raja, dulu mereka disebut mufti. Satu tinggal di barat dan satu lagi di timur. Sampai kemudian pada satu saat, penasehat raja dari timur jatuh cinta pada putri raja dan ingin melamarnya.
Bagi raja tidak menjadi soal, asal memenuhi kriteria siapa pun boleh melamar putrinya. Tentu saja raja meminta pendapat penasehat raja yang tinggal di barat yang tidak punya ambisi macam-macam. Setelah diselidiki luar dan dalam ternyata penasehat raja dari timur dinyatakan tidak berhsk menikah dengan putri raja.
Penasehat raja dari timur merasa sakit hati karena lamarannya ditolak atas dasar pendapat penasehat raja dari barat. Penasehat raja dari timur pun membuat siasat dengan mengirim pengikutnya untuk mencatat semua ceramah penasehat raja dari barat yang fokus pada kajian tentang ilmu hakikat.
Penasehat raja dari timur mengeluarkan fatwa bahwa ceramah-ceramah penasehat raja dari barat bertentangan dengan syariat dan harus dihukum mati. Terjadilah pembunuhan terhadap penasehat raja di barat beserta 300 pengikutnya dan kitab-kitabnya dibakar meski ada sebagian yang diselamatkan.
Tragedi akibat malapetaka cinta itu entah keberapa kali terulang di negeri kita. Jelasnya ia tidak berdiri tunggal. Sebagaimana hukum alam, peristiwa itu adalah pengulangan puluhan atau seratus tahun sebelumnya.
Jelas ada benarnya; dibalik kesuksesan suami ada dukungan istri di belakangnya, begitupun dibalik peristiwa besar “terselubung” cerita perempuan dalam peristiwa itu. Rencana pembunuhan terhadap Yesus Kristus, juga akibat kecemburuan raja pada waktu itu, karena Putri Magnalena jatuh cinta kepada juru selamat itu.
Berkaca dari peristiwa tersebut, di masa depan giliran kaum adat yang akan memimpin negeri ini,; T. Mirzuan dan Drs. Al-Hudri MM masih Keturunan Reje Baluntara sdalah pembuka kembali kepada kepemimpinan adat.
Pada masanya kaum hartawan akan ditinggalkan masyarakat. Harta yang melimpah bukan ukuran sebagai pemimpin karena tidak mampu mendistribusikan kebaikan terhadap masyarakat dan keseimbangan alam.
Pada masa depan kaum adat akan menjadi penguasa di negeri ini, namun beberapa catatan yang harus diingat; jangan mengulangi kesalahan masa lalu dan tetap mewaspadai eksklusifisme, apalagi membangun kasta.
Anggap kita hidup sekarang adalah penebus dosa nenek moyang masa lalu. Kalau dulu kepemimpinan kaum adat dianggap sangat peodal yang menjadi pemicu revolusi, tebuslah dosa itu dengan sikap merakyat dan rendah diri. Kalau dulu raja harus punya istana, sekarang bangunlah istana di dalam jiwa.
Dan tentu saja T. Mirzuan sebagai PJ Bupati Aceh Tengsh harus membangun istana di dalam jiwanya untuk orang Gayo.
(Mendale, Maret, 28, 2023)