Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Para ahli fiqh (Fuqaha) setelah mengkaji secara mendalam al-Qur’an dan Hadis Nabi dengan menggunakan metode atau cara yang disebut dengan Ushul fiqh merumuskan ada empat pengelompokan perbuatan, yaitu : perbuatan ibadah, mu’amalah, munakahat dan jinayah.
Masing-masing perbuatan tersebut mempunyai prinsip, ibadah mempunyai dua prinsip. 1) Kerjakan ibadah kalau ada dalil nash (al-Qur’an dan Hadis) yang memerintahkan. 2) Kalau tidak mengerjakan ibadah maka berdosa. Perbuatan mu’amalah mempunyai dua perinsip juga. 1) Kerjakan sepanjang tidak ada dalil nash yang melarang, 2) Rela. Perbuatan munakahat mempunyai dua prinsip. 1) Kasih sayang. 2) Rela.
Terakhir adalah perbuatan jinayah, perbuatan ini hanya mempunyai satu prinsip, yaitu hukuman. Perbuatan terakhir ini selanjutnya akan dibahas dalam tulisan ini.
Perbuatan jinayah dapat dikelompokkan sesuai dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan tersebut. Pertama adalah perbuatan yang dijatuhi dengan hukuman hudud, seperti : perbuatan zina, menuduh orang berzina, mencuri, mabuk dan membunuh, kedua adalah perbuatan yang dikenai hukuman ta’zir, yakni kewenangan hukuman yang diserahkan kepada pemerintah atau penguasa berdasarkan pertimbangan atau putusan hakim.
Perbuatan yang dihukum dengan ta’zir ini adalah selain dari perbuatan yang dihukum dengan hukuman hudud.
Sebagaimana disebutkan dalam prinsip di atas bahwa pelaku perbuatan jinayah harus dihukum, baik itu dengan hukuman hudud atau ta’zir, tidak ada alternatif lain selain dari pada dihukum. Kecuali dalam kasus pembunuhan, hukuman boleh tidak dilakukan setelah mendapatkan maaf dari keluarga korban.
Untuk membuktikan sebuah perbuatan dihukum dengan hukuman hudud sangat sulit karena perbuatan yang dilakukan tersebut harus pasti dan tidak boleh ada keraguan. Apabila ada keraguan walaupun sedikit maka hukuman hudud tidak dapat dijatuhkan.
Bila kejahatan yang dilkukan tidak dapat dihukum dengan hudud karena sulitnya pembuktian maka dengan sendirinya hukuman ta’zir menjadi kewajiban.
Karena dengan penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan maka pelaku kejahatan dianggap sebagai taubat, sedang bila tidak dijatuhi hukuman maka dia tidak dianggap sebagai taubat dan di akhirat kelak dikenai hukuman Allah.
Berlakunya syariat Islam di Aceh merupakan upaya penegakan hukum Allah, qanun-qanun syariat Islam memilah perbuatan-perbuatan jinayah yang diatur. Pada awalnya tahun 2002 dan 2003 lahirlah qanun-qanun tentang jinayah yang dikelompokkan kepada perbuatan mabuk, judi dan khalwat. Kemudian 2014 lahirlah qanun nomor 6 yang menambah perbuatan-perbuatan jinayah yang diatur dalam dalam qanun tersebut, diantaranya tentang qazab, liwath, musahaqah dan lain-lain.
Penegakan qanun-qanun jinayah belum berjalan secara maksimal dengan berbagai alasan, sehingga banyak perbuatan yang melanggar qanun tidak dijatuhi hukuman dan di dalam masyarakat juga masih ditemukan adanya hukuman alternatif selain dari yang telah diatur di dalam qanun.
Hukuman yang tidak terdapat di dalam qanun tersebut digolongkan sebagai hukum adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat kendati bila kita teliti dan kaji hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar tersebut bukanlah hukuman pada prinsipnya tetapi lebih kepada sekedar perbuatan menutup aib.
Sebagai contoh hukuman terhadap pelaku perbuatan zina, bagi mereka yang ketahuan berbuat zina atau tertangkap oleh anggota masyarakat lalu diserahkan kepada aparat desa, selanjutnya aparat desa menyidangkan dan setelah terbukti melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud maka apa ran desa memberikan hukuman dengan menikahkan mereka yang melakukan zina, namun sebenarnya itu bukanlah hukuman tetapi karena masyarakat telah sepakat mengatakan bahwa menikahkan itu adalah hukuman maka itu menjadi ilmu semua masyarakat.
Sebelum pelaku zina dinikahkan, masyarakat memberi denda kepada pelaku berupa uang atau hewan yang digunakan untuk makan ramai-ramai. Padahal sebagaimana dijelaskan di atas dendan yang dimaksudkan bukanlah hukuman tetapi lebih kepada penutup malu atau aib. Karena hukuman yang diberikan bukan berupa hukuman yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam maka masyarakat menganggap pelanggaran yang mereka lakukan bukanlah sebuah kejahatan.
Kasus lain yang sering terjadi di dalam masyarakat adalah kejahatan pencurian, kejahatan ini sangat mendominasi dibanding dengan kasus-kasus lain. Pencurian hanya dianggap sebagai kejahatan apabila pencurian mengambil barang dari tempat penyimpanannya, tetapi apabila pelaku kejahatan mengambil buah dari pohon, mengambil ayam dari kandang.
Apakah ini dianggap sebagai kejahatan biasa dan terkadang dianggap malah sebagai tradisi, sehingga kejahatan ini seringnya tidak pernah dihukum.
Untuk penegakan hukum maka kita harus kembali kepada prinsip bahwa setiap kejahatan yang dilakukan maka haruslah diberikan hukuman, dan apa bila tidak dijatuhi hukuman maka pelaku kejahatan akan terus melakukan kejahatannya. Dan dari sisi agama sebagaimana disebutkan mereka tidak mendapat ampun dari Allah.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh