Oleh : Dr Joni MN*
Kajian Peri Mestike-Pragmatik Gayo
Artikel pada website Pemerintah Aceh (2 Oktober 2013), menyatakan bahwa Didong merupakan seni pertunjukkan yang dilakukan oleh para lelaki secara berkelompok (biasanya berjumlah 15 orang), dengan ekspresi yang bebas, sambil duduk bersila atau berdiri sambil mengentak-entakkan kakinya.
Mereka melantunkan syair-syair berbahasa Gayo dengan suara merdu, sambil manabuh gendang, bantal atau panci dan bertepuk tangan secara bervariasi, sehingga memunculkan suara dan gerak yang indah dan menarik.
Didong dalam kajian Peri Mestike (PM) disebut juga dengan istilah “Seni Bertutur” (Joni, 2017) maksudnya adalah di dalam seni bertutur ini memiliki tindakan, yakni Tindak tutur (speech acts) yakni gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsunganya ditentukan oleh kemampuan berbahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Fungsi tindak tutur ini, menurut Tarigan (2015) memiliki fungsi; (1) Fungsi Instrumental, (2) fungsi regulasi, (3) Fungsi Representasional, (4) Fungsi Interaksional, (5) Fungsi Personal, (6) Fungsi Heuristik, dan (7) Fungsi Imajinatif.
Kemudian menurut Muhammad Bayu Habibie (Judul: Sejarah Kesenian Didong Di Gayo, Aceh Tengah 1960-2018 M, Instituional Repository – UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) menjelaskan dalam kajian thesisnya bahwa, Konsep yang dipakai dalam didong adalah konsep asimilasi yang digunakan untuk melihat percampuran budaya Islam dengan budaya Suku Gayo terutama pada Kesenian Didong.
Menurut beliau bahwa kesenian Didong dapat dilihat pada kisaran tahun 1970-2005; Didong ini memiliki banyak unsur-unsur nilai keislaman di dalamnya, hal tersebut dapat dilihat dari segi gerakan dan syair lagunya. Adapun nilai-nilai keislaman yang terdapat di dalam Kesenian Didong tersebut anatara lain nilai aqidah, nilai akhlak dan nilai syariat, nilai-nilai tersebuat sangat berguna bagi kehidupan msyarakat.
Didong memuat pengertian yang lebih luas, artinya bukan hanya sekedar “berdendang” (Melalatoa, 2001:9). L.K Ara, (2008:131) mengatakan, Didong adalah kesenian tradisional atau tradisi lisan yang merupakan konfigurasi seni suara, seni sastra, dan seni tari berasal dari Dataran Tinggi Tanoh Gayo, Aceh Tengah.
Menurut Agung Suryo Setyantoro dalam penelitian pertamanya yang berjudul; “Mengenal Didong Gayo” yakni merupakan artikel pada Buletin HABA Edisi 71 yang diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh, beliau menjelaskan bahwa Penampilan didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah “memporak-porandakan” bentuk kesenian ini.
Pada masa itu, didong digunakan sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang.
Pada masa setelah proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Didong juga bisa dinyatakan sebagai salah satu varian dari “nyanyian rakyat” (folksong). Dengan rumusan sederhana, kesenian didong dapat dinyatakan sebagai konfigurasi ekspresi seni sastra, seni suara, dan seni tari.
Didong Gayo berdasarkan kajian Peri Mestike di dalamnya terkandung nilai etika dan nilai estetika, yang mana kedua berjalan beriring bersama, hal ini dapat dilihat dari tuturan yang digunakan bersifat halus (yupimisme), tidak langsung (indirectness) dan tidak literal (non-literal), menggunakan perumpamaan dan gerakannya juga tidak berlebihan. Kemudian bentuk tindak tutur yang umum terdapat di dalam Didong tersebut adalah Tindak ilokusi (melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu), artinya tuturan yang memiliki makna tersirat atau maknai lain yang dimaksud penutur (dalam konteks ini “Ceh”) yang tuturannya memiliki daya/ energy dalam membuat orang berpikir.
Tindak perlokusi (melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu), artinya tuturan yang dilakukan oleh penutur (Ceh) dan hal tersebut dapat memiliki efek dan daya pengaruh kepada mitra tutur atau penonton/ pendengar, jarang ditemui bentuk tuturan yang berbentuk Tindak lokusi, yaitu; tuturan yang berbentuk The Act of Saying Something atau tindak tutur untuk menyatakan sesuatu dengan cara langsung-langsung, yakni melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu.
Menurut BC Aspala Ketua Majelis Adat Gayo Kabupaten Aceh Tengah (wawancara 23 Pebruari 2023, pukul: 16. 15 – 17.23 WIB) menyatakan bahwa didong dahulu tidak menggunakan tuturan yang blak-blakan (langsung-langsung), tidak ada nilai kemali atau tabu, tetapi didong dahulu sangat “mutetertip”, yakni taat kepada aturan adat dan yang telah disepakati bersama, setiap penampilannya teratur (dalam menggunakan kata-kata, jenis didong yang dibawakan, tepukan tangan, dll), rapi (tempat dan posisi duduk, gerakan badan dan ayunan tangan, dan juga susunan kata-katanya), dan mereka saling menghargai serta sangat dihargai.
Selanjutnya, beliau menyambung penjelasannya tentang didong, yakni tempat berdidong atau memiliki pentas/ panggung. Antara sesama ceh (pelantun lagu/ singer) dianjurkan harus saling menghargai dan saling memberi salam, meminta ma’af ketika didong telah selesai. Masing-masing grup didong dahulu sangat “mutertip”, “sopan –santun” tidak “bersi-zisen” atau tidak saling meremehkan atau tidak menghargai.
Harapan BC Aspala (Ketua MAG) Aceh Tengah tentang didong, adalah semoga didong ini dikembalikan lagi nilainya seperti sedia kala, yaitu paling kurang harus memiliki; (1) tuturannya “berkiyes” dan/ atau tamsil, (2) Enti Kices, artinya ketika grup didong sudah berada di atas pentas tidak boleh lewat di depan mereka kesana – kemari, intinya harus dihargai, (3) Enti ara sintak sedengak, artinya tidak boleh saling menyinggung gunakanlah perumpamaan dan jangan saling menyakiti hati dan melukai perasaan, dan (5) Enti tetal, gunakan “tep Onem” dan tengkah bengkuwang Gewat” atau sindiran halus dan umpamakan kepada sesuatu yang lain dan yang dimaksud yang di depan/ dekat mereka.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat ditarik benang merahnya, yakni didong adalah seni bertindak tutur dengan menggunakan nilai-nilai Islami yang berakhlak dan menggunakan tuturan tidak langsung dan tidak literal, artinya dengan bentuk tuturan “tep onem” dan “tengkah bengkuwang gewat”.
Ditilik berdasarkan perkembangan zaman dapat disimpulkan dari hasil pengkajian, wawancara dan hasil penelitian khususnya adalah didong dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni (1) didong budaya, dan (2) didong edet.
Berdasarkan analisa kajian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep yang dipakai dalam didong adalah konsep budaya yang beradat dan konsep Islami.
Berdasarkan penjelasan BC Aspala dahulu grup didong yang diundang sangat dihargai keberadaannya dan tidak ada model sawer seperti saat ini. melihat fungsi didong berdasarkan Peri Mestike Pragmatik, seperti yang dijelaskan di atas, bahwa “Ceh” atau pelantun lagu (penutur) memiliki 7 kecerdasan sesuai fungsinya, yakni 1) Fungsi Instrumental, (2) fungsi regulasi, (3) Fungsi Representasional, (4) Fungsi Interaksional, (5) Fungsi Personal, (6) Fungsi Heuristik, dan (7) Fungsi Imajinatif.
Selain dari ceh yang memiliki kecerdasan intelek yang tinggi dan didong ini juga merupakan identitas dari suku Gayo yang menjadi salah satu Icon suku Gayo.
Didong Gayo ini juga dapat mengangkat harkat dan martabat suku Gayo itu sendiri, maka tidak ada lasan suku Gayo itu menghargai klub-klub didong mereka, jangan jadikan mereka sebagai tameng sebagai seniman peminta-peminta, jika bukan suku Gayo itu sendiri yang membuat mereka berharga siapa lagi, dan jika tidak mulai dari sekarang mengembalikan harkat martabat didong seperti sedia kala ya kapan lagi.
*Penulis adalah ketua STIT Alwasliyah Aceh Tengah