Ide dan Realita Dalam Menggapai Harapan

oleh

Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*

Antara ide dan realita telah menjadi pembahasan panjang dalam sejarah pemikiran manusia, pada awalnya para filosuf mempertanyakan tentang awal adanya alam apakah bermula dari ada (realita) atau dari tidak ada (ide), keduanya melahirkan kelompok pemikiran, yang satunya berpikir idealisme dan yang keduanya berpikir positifisme.

Tidak hanya sekedar itu, mereka juga berpikir tentang adanya agama yang identik dengan Tuhan dan materialisme yang identik dengan realitas alam.

Berpikir idealis berlanjut dengan berpikir tentang sesuatu yang tidak bisa diindra termasuk didalamnya masalah teologi dan metafisika, berpikir materilis berlanjut didalamnya tentang alam, rasional dan alam nyata.

Kebanyakan orang menganut dua aliran ini tidak dapat mempersatukan antara keduanya, sehingga mereka yang mempunyai pola pikir penilai bukan penyeimbang dan melahirkan adanya penilaian baik dan buruk terhadap kedua pola tersebut.

Mereka yang menganut aliran idealis mengatakan mereka yang berpikir materialis itu salah dan tidak betul, sebaliknya mereka yang berpikir materialis mengatakan mereka yang berpikir idealis hidup mereka sesat dan tidak benar.

Penyatuan antara idealis dan materialis belum bisa terjadi sampai saat ini kendati zaman sudah melalui tahapan-tahapan sejarah sampai tahapan modern.

Telah banyak upaya yang dilakukan untuk meninggalkan masalah toelogi (agama atau ketuhanan) dan metafisik (kekuatan di balik alam nyata) dengan berupaya mengembangkan rasionalitas (kebenaran ilmu pengetahuan), di sisi lain banyak yang berupaya meninggalkan yang bersifat materialis dengan anggapan bahwa kehidupan pola materialis adalah sesat.

Mereka yang berpikir idealis yang menganggap materialis atau alam nyata itu salah, mereka sering berucap, saya sudah berupaya hidup idealis (benar) tetapi keadaan yang mengharuskan saya mengikuti kenyataan (salah) atau banyak juga yang berucap bahwa zaman sekarang adalah zaman dimana semua orang sibuk mencari uang atau sibuk memikirkan dunia (salah).

Seharusnya mereka lebih banyak beribadah (khusus ibadah mahdah) atau perbanyaklah berpikir tentang akhirat.

Keharusan memilih satu di antara berpikir idealis dan materialis, dari satu sisi membuat para pemikir selalu berdiskusi walau diskusi tidak akan pernah akan selesai karena masing-masing dipastikan akan mencari kebenaran pendapat sendiri dan menyalahkan pendapat yang lain.

Tetapi ketika mereka bersepakat memilih satu diantara dua dipastikan kreativitas berpikir akan mati dan tidak lagi melahirkan kebenaran. Kemudian ketika pola pikir harus memilih satu diambil maka akan terjadi otoriter yang menghalangi kreativitas orang lain untuk berpikir.

Menurut Ahmet T. Kuru dalam bukunya yang berjudul “Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan” menyebutkan diantara yang menyebabkan kemunduran atau ketertinggalan adalah adanya dominasi dalam berpikir dan dalam bertindak.

Masih menurut T. Kuru penggunaan kata “ulama” yang selama ini kita anggap sesuatu yang tidak berakibat pada kemunduran ternyata menurut beliau sangat berpengaruh, kare dengan menyebut seseorang menjadi ulama maka otoritas keilmuan ada pada orang tersebut sehingga untuk orang lain tidak lagi mempunyai hak untuk menggali dan mencari ilmu melebihi ulama.

Kita bisa melihat dalam masyarakat kita bagaimana orang-orang mengagungkan kata ulama, membuat orang-orang tidak berani berdiskusi, tidak berani menegur, tidak berani memberi tau dan lain-lain dikarenakan orang tersebut adalah ulama.

Saya sering memberi tau kepada mahasiswa jangan terlalu sering mengatakan kata-kata bapak ketika Anda mengutarakan pendapat, karena kalau kamu terlalu sering mengucapkan kata-kata itu kamu sangat sulit untuk percaya diri dan kamu sangat susah untuk mandiri.

Islam secara tegas mengajar muslim untuk menggabungkan antara berpikir idealis dengan materialis, sebagai contoh kita lihat pada rukun iman kaum muslim, dimana diajarkan untuk beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhirat, dan iman kepada Qadha dan Qadar.

Dalam rukun ini diajar akan kaum muslimin untuk mengimani masalah yang ghaib yakni Allah, Malaikat, Hari Kiamat dan qadha dan qadar, sedangkan beriman kepada Kitab dan Rasul bukanlah masalah yang ghaib.

Ketika kaum muslimin menjadikan keseimbangan antara alam idea dan alam materi dalam dirinya, maka inilah yang dapat dijadikan landasan untuk menuju kemajuan dan muslim akan bangkit dari keterpurukan, kebodohan dan kemiskinan. Tetapi kalau orang Islam masih mempertentangkan keduannya maka sangat sulit untuk menggapai harapan.

*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fak. Syari’ah UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.